Seiring berjalannya waktu perubahan dalam kehidupan masyarakat semakin bervariasi bentuknya. Selain dampak dari globalisasi yang menghilangkan sekat-sekat antar negara, pandemi covid-19 juga memberikan kontribusi atas meningkatnya urgensi pengoptimalan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berbagai diskursus mengenai sains dan teknologi bertebaran di berbagai sektor kehidupan masyarakat, baik ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Di masa depan, negara dan masyarakat dituntut untuk dapat merespon kecepatan perubahan tersebut, tidak hanya untuk beradaptai, tapi juga untuk mengantisipasi potensi masalah-masalah yang timbul.
Dewasa ini perubahan sosial tidak hanya dimaknai sebagai perubahan dalam kehidupan nyata, melainkan juga kehidupan maya. Dinamika ruang vitual dan digital belakangan ini—khususnya setelah terjadi pandemi covid-19—benar-benar menjadi pusat perhatian yang terus-menerus dieksplorasi.
Metaverse adalah salah satu diantara banyak diskursus mengenai eksplorasi ruang virtual. Metaverse digagas oleh Founder sekaligus CEO Meta—dulunya Facebook—yaitu Mark Zurckerberg yang ingin membuat dunia virtual layaknya dunia nyata. Di Amerika Serikat dan Kanada Metaverse telah diluncurkan melalui platform Horizon Worlds pada awal Desember 2021. Metaverse akan memberikan nuansa kehidupan nyata pada penggunanya melalui interaksi antar avatar tanpa perlu melalukan perjalanan ataupun pertemuan fisik.
Di Indonesia sendiri gagasan Metaverse telah dikemukakan oleh Presiden Jokowi pada Desember 2021 yang menceritakan pertemuannya dengan Zuckerberg pada tahun 2016 sembari bermain pingpong menggunakan platform Virtual Reality (VR). Selain itu, Presiden Jokowi juga kembali menekankan kehadiran Metaverse pada pembukaan Muktamar ke-34 PBNU di Lampung Tengah. Hal ini tentu mengisyaratkan bahwa Indonesia harus siap menyongsong Metaverse di masa depan.
Kesiapan Masyarakat
Dalam era globalisasi, antar negara yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Indonesia merupakan bagian dari warga dunia yang tidak mungkin menutup diri dari perubahan dan perkembangan apapun dalam sistem sosial global.
Metaverse sebagai sebuah tawaran teknologi, cepat atau lambat akan hadir di Indonesia sebagai konsekuensi dari perubahan sosial. Namun sebelum mendiskusikan kontribusi dan kebermanfaatan Metaverse bagi masyarakat, peting untuk mempertanyakan apakah infrastruktur digital di Indonesia telah mampu untuk menunjang hal tersebut?
Di sektor pendidikan, pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi covid-19 dihadapkan pada problem mendasar seperti kepemilikan masyarakat atas smartphone ataupun belum meratanya akses internet di tiap daerah. Jangankan menyongsong Metaverse, untuk sekadar mengikuti video confference ataupun mengakses learning management system masyarakat masih kesulitan. Artinya, cukup menggelitik jika Presiden berharap masyarakat mampu mengoptimalkan Metaverse, sedangkan infrastruktur digital masih belum merata.
Selain itu, hadirnya Metaverse tentu akan mengubah beberapa pola interaksi sosial masyarakat yang selama ini ada. Metaverse dengan segala fitur canggihnya tentu akan meningkatkan intensitas interaksi antara masyarakat dengan teknologi. Perlu ada pembiasaan bagi masyarakat, tidak hanya di level keterampilan, tapi juga di level sosial dan kultural. Pembiasaan ini berguna agar masyarakat tidak menjadi resisten atau mengalami culture shock.
Secara sosiologis, resistensi masyarakat atas perubahan sosial terjadi karena suatu perubahan dianggap bertentangan dengan nilai, norma, dan moralitas yang ada. Kekhawatiran mendasar dari masyarakat terhadap suatu perubahan—khususnya teknologi—adalah hilangnya nilai-nilai sosial elementer yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Tantangan Metaverse
Di awal kehadirannya, Metaverse dihadapkan pada dugaan terjadinya pemerkosaan secara virtual. Dikutip dari Detikcom (22/2/2022), Nina Jane Patel, seorang psikolog yang melakukan penelitian di Metaverse, mengaku telah mengalami pemerkosaan. Ia—yaitu avatarnya—dilecehkan secara verbal dan seksual oleh tiga atau empat avatar pria. Hal ini menunjukkan bahwa dalam ruang virtual juga rentan terjadi pelecehan seksual. Apabila masyarakat tidak siap secara sosial dan kultural, khususnya pengetahuan tentang standar-standar etika di ruang virtual, hadirnya Metaverse justru dapat menjadi episentrum baru dari tindak pelecehan seksual.
Selain itu, karakteristik Metaverse yang sangat realistis dapat memicu kematian ruang sosial. Ini adalah situasi di mana individu merasa tidak memerlukan koneksi dengan dunia nyata, karena merasa dunia virtual telah memberikan nuansa yang lebih baik. Intimasi dalam perjumpaan-perjumpaan fisik yang lebih bermakna berpotensi untuk tergantikan dengan aktivitas penggunaan headset VR di kamar masing-masing.
Sektor pendidikan formal tentu akan menghadapi masalah serius, karena kegiatan mendidik tidak hanya soal transfer ilmu dan informasi, tetapi juga soal membangun karakter, akhlak, dan etika yang sangat membutuhkan interaksi langsung—bahkan sentuhan fisik. Sejumlah aktivitas masyarakat yang telah menjadi kearifan lokal, seperti mudik, selamatan, maupun upacara pernikahan yang secara filosofis berfungsi untuk mempererat tali persaudaraan dan meningkatkan solidaritas sosial, berpotensi dipindahkan dalam Metaverse.
Pemerintah Indonesia melalui Kemenkominfo telah memiliki kebijakan untuk merespon hal ini melalui gerakan literasi digital yang di dalamnya mengandung empat pilar, yaitu digital ethics, digital safety, digital skills, dan digital culture. Empat pilar ini penting untuk dioptimalisasi guna menciptakan masyarakat yang siap secara sosial dan kultural ketika harus dihadapkan pada Metaverse. Dengan siapnya masyarakat, maka Metaverse akan memberikan kemanfaatan tanpa menciptakan permasalahan-permasalahan baru di kemudian hari.