Sabtu, April 27, 2024

Metamorfosis Keistimewaan Yogyakarta

arief azizy
arief azizy
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Perubahan tagline dari Jogja Never Ending Asia menjadi “ Jogja Istimewa” yang sempat diresmikan oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam rapar koordinasi rebranding di Kantor Gubernur DIY pada (5 Februari 2015). Suatu kebanggan tersendiri jika mempunyai suatu daerah yang di “Istimewakan” bukan begitu ?. Pergantian tagline tersebut harus dimaknai sebagai penghargaan tertinggi serta harus diimbangi dengan semangat untuk menghidupkan kembali roh kebudayaan di Kota Yogyakarta.

Kata “Istimewa” bukan hanya sekedar embel-embel belaka. Namun, dibalik itu semua harapan yang tersirat sangatlah dalam dan luas. Bukan sembarangan tagline, pemilihan kata “istimewa” adalah bentuk pelestarian (nguri-nguri) kebudayaan jawa yang ada di kota Yogyakarta.

Kesadaran untuk menghidupkan kembali khasanah kebudayaan yang ada di Jogja, bukan lah perkara mudah. Persoalan itu sangat penting untuk segera disadari, karena Yogyakarta cenderung berkembang menjadi kota yang akrab bagi kaum kapitalis. Pembangunan di kota yogya yang di dominasi tumbuhnya pusat – pusat perbelanjaan, mall, hotel, kawasan ekonomi dan pusat-pusat perkembangan kebudayaan populer. Perkembangan itu menunjukkan, yogya tengah menuju masyarakat industri.

Metamorfosis kultural yang terjadi seolah olah meninggalkan semangat dan mentalitas kebudayaan jawa. Memberi uang bagi para pelaku usaha untuk berinvestasi sah – sah saja, tapi keterjagaan kebudaay dan mentalitas kolektif sebagai pilar kehidupan pembentukan manusia bermartabat, tak boleh dilupakan.

Keistimewaan Yogya tidak terletak pada jumlah mall, hotel mewah dan megah, kafe – kafe atau tempat hiburan malam yang penuh glamor, namun terletak pada kelestarian budaya serta mental kolektif masyarakatnya. Oleh sebab itu, keberlangsungan dan kelestarian peradaban yang ramah terhadap sesama manusia harus terus diperhatikan. Harus seimbang dengan perkembangan industriakusasi, jumlah ruang publik harus ditambah, event – event budaya harus didukung sepenuhnya dan fasilitas penunjang pendidikan bagi siswa perlu ditingkatkan, sehingga kebijakan-kebijakan yang berujung pada pembangunan citra perlu ditinggalkan.

Terkikisnya mental dan kuktur kolektif yang diiringi perubahan sosial menuju masyarakat industri tidak hanya terjadi di Yogyakarta, namun semua itu dapat diminimalisasikan asalkan ada kebijakan yang berorientasi pada nilai-nilai budaya dari pihak pemerintahan.

Masyarakat Industri 

Barangkali sebuah lirik lagu Kla Project berjudul Yogyakarta yang liriknya berbunyi “tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna” mengingatkan kita mengenai sebuah arti “istimewa” bagi Yogyakarta. Jika lirik itu ditafsirkan, keistimewaan yang ditujukan terletak pada mental kolektif masyarakatnya. Pertanyaannya adalah masih samakah situasi di dalam lirik lagu itu dengan realitas sosial masyarakat Yogya yang dimaksud Kla Project dalam lagu itu ?

Tampaknya, pengertian terakhirlah yang menjadi jawabannya, karena fenomena yang ditujukkan mental dan kultur kolektif masyarakat Yogya saat ini tengah beralih menuju masyarakat industri. Mental dan kolektivitas kultural masyarakat kota ini di dalam aspek tertentu memang masih tampak, tetapi tengah mengalami degradasi masif.

Sebuah contoh kecil mengenai lunturnya mental dan kultur kolektif yang menandakan ketidakpedulian sosial ketika kita memperhentikan tingkah masyarakat di tempat umum misalnya, seseorang akan lebih asyik dengan gadget atau telepon genggamnya dari pada beramah-tamah dengan orang disekelilingnya. Keramahan masyarakat pun sudah berbeda dibandingkan satu dasawarsa lalu. Munculnya pemukiman pekerja yang tidak mengenal satu sama lain di lingkungan sekitarnya menandai adanya sebuah komunitas semu yang tidak di ikatkan oleh ikatan primordial, sehingga tidak memiliki kolektivitas kultural yang kuat. hal ini menurut Marx adalah sebuah konsekuensi logis yang harus diterima sebagaimana dikutip Franz Magnis Suseno dalam Pemikiran Marx : dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (1999), bahwa kapitalisme dan industrialisasi selain menghadirkan konflik kelas juga menghadirkan keterasingan di masyarakat.

Diskursus mengenai perubahan masyarakat menuju industrialisasi yang tengah dihadapi Yogya saat ini adalah berkembangnya pusat-pusat kebudayaan populer. Hal ini yang harus di waspadai dari budaya populer menurut Chris Barker dalam Cultural Studies : Teori dan Praktik (2013) adalah selalu menjadi alat bagi kaum kapitalis untuk mengeruk keuntungan, apa pun cara yang harus ditempuh. Berkaitan dengan hal itu, perubahan tagline seharusnya juga diiringi sebagai sebuah kesadaran kultural untuk terus menjaga mentalitas dan kultural kolektif sebagai sebuah semangat keistimewaan.

arief azizy
arief azizy
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.