Jumat, Maret 29, 2024

Merindukan Mahaguru Bangsa

Dadan Rizwan
Dadan Rizwan
Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Ketua Umum Forum Intlektual Muda Nahdliyin (FIMNA)

Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalo kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu. Begitulah kata Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Melalui kalimat tersebut, Gus Dur ingin mengingatkan kita semua, bahwa dalam kehidupan ini kebaikan tidak pernah memandang suku,ras, atau agama apapun.

Meski telah sepuluh tahun KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wafat, namanya terus dikenang dan diperbincangkan. Dalam berbagai forum, Gus Dur masih sering disebut-sebut baik oleh peneliti, pakar, maupun mahasiswa. Gus Dur juga disebut-sebut di angkringan, warung kopi, kafe, dan ruang-ruang diskusi. Gus Dur seakan dirindukan oleh semua orang dan golongan.

Semasa hidupnya, Gus Dur dikenal sebagai kyai, esais, kritikus, politikus, aktivis gerakan sosial, dan pembela HAM yang senantiasa menggelorakan semangat pluralisme sebagai pengejawantahan Bhinneka Tunggal Ika. Konsistensinya dalam membela kelompok minoritas membuat Gus Dur mendapat banyak julukan, seperti “bapak pluralitas”, “guru bangsa”, termasuk “bapak-nya orang-orang Tionghoa dan Papua”.

Gus Dur dan Kebangsaan Kini

Kalau kita coba lihat kondisi Indonesia saat ini, soliditas keberagaman yang telah diperjuangkan oleh Gus Dur mengalami banyak pergeseran. Isu sektarianisme, radikalisme keagamaan, kebhinekaan, dan ujaran kebencian, kerap kali menjadi pemicu atas terjadinya perpecahan ditengah-tengah masyarakat yang multikultur. Konflik tersebut selanjutnya berkembang menjadi konflik SARA yang nyata, sehingga sering sekali muncul aksi-aksi yang menggalang solidaritas golongan tertentu untuk melawan golongan lainnya.

Hal ini persis dengan apa yang diramalkan oleh Huntington dalam Clash of Civilization, Remaking the World Order bahwa “Pasca perang dingin, benturan antar peradaban dan agama akan menjadi penyebab sebuah konflik”. Banyak sekali konflik sosial yang disulut oleh isu etnik ataupun agama dalam hubungan antar masyarakat, baik secara nasional maupun global.

Dalam sebuah esai yang berjudul “Antara NKRI dan Federalisme” yang dimuat di www.gusdur.net/ pada 6 April 2007 silam, Gus Dur mengatakan “sekarang pola dialog tentang UUD selalu “kemasukan angin” dan kita selalu berdialog dengan menggunakan istilah yang berbeda-beda. Sebenarnya, kerancuan dialog inilah yang harus kita mengerti, bukannya salah sambung yang terjadi antara kita sendiri.”

Apa yang ditulis oleh Gus Dur sesuai dengan kondisi yang terjadi saat ini. Dimana perdebatan tentang konsepsi negara belum sepenuhnya tuntas. Di tiap tikungan sejarah, selalu saja ada kelompok yang berteriak lantang menggemakan idiologi lain selain Pancasila. Meski konsepnya tidak sepenuhnya komprehensif, mereka senantiasa bergerak masif mengkampanyekan kepada publik dengan dalih Pancasila sudah tidak lagi relevan untuk diterapkan.

Bagi bangsa Indonesia, idiologi dan konstitusi harus diterima sebagai fakta kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Pancasila lahir sebagai hasil kesadaran konstruksi filosofi masyarakat terhadap kenyataan-kenyataan yang ada di konteks sosialnya. Karena ia lahir dari sebuah kekayaan filosofi masyarakat, maka sesungguhnya tidak ada seorangpun atau komunitas apapun yang berhak melakukan intervensi, intimidasi, atau menghancurkannya.

Celakanya, percobaan perubahan terhadap konstitusi negara ini bukan hanya selalu dilakukan oleh masyarakat bawah, tetapi juga oleh elit politisi. Dimana baru-baru ini, publik diramaikan dengan rencana Amandemen kembali terhadap UUD NRI Tahun 1945. Hal-hal penting perihal amandemen konstitusi ini, terkait penghidupan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN), isu MPR menjadi lembaga tertinggi kembali, juga soal model amandemen itu sendiri.

Dalam dinamika hukum dan politik Indonesia, proses amandemen UUD 1945 yang sudah dilaksanakan sebanyak empat kali itu adalah salah satu implementasi dari reformasi. Sebuah semangat yang muncul pasca-tumbangnya kekuasaan Orde Baru untuk menghasilkan Checks and Balances antar Lembaga Negara. Jika wacana menjadikan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi, itu sama saja mengubur kembali amanat reformasi dan demokrasi.

Jika demokrasi kelembagaan di masa pemerintahan Orde Baru tidak membawa pemerintahan yang benar-benar demokratis, maka “demokrasi prosedural” yang berjalan di negeri kita dewasa ini juga tidak menunjukkan adanya demokrasi yang sesungguhnya. Beberapa pembuatan kebijakan oleh Pemerintah maupun DPR, seringkali tidak mempertimbangkan masukan dari publik. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkanpun asal-asalan dan cenderung memberatkan rakyat sebagai penguasa syah kedaulatan.

Hal ini persis dengan apa yang disampaikan oleh Gus Dur dalam Esainya berjudul “Idiologi, Prikemanusiaan, dan Manusia” bahwa “reformasi sudah dicuri orang, yang atas nama demokrasi hanya mementingkan golongan mereka sendiri dan lupa kepada tujuan semula.” Alih-alih menyediakan kesetaraan dalam kebebasan, kebijakan pemerintah kita justru menghasilkan kebijakan-kebijakan yang mengancam kesetaraan dalam kebebasan.

Mengais Pemikiran Gus Dur

Dari sepenuh renungan kebangsaan diatas, kita bisa mengingat Gus Dur sebagai sumber hikmah bagi kita semua untuk mengais makna. Gus Dur harus diakui sebagai tokoh yang berkontribusi besar dalam gerakan sosial di Indonesia, ide-idenya tentang Islam, demokrasi, HAM dan civil society menjadi angin segar bagi diseminasi gagasan-gagasan perubahan sosial yang transformatif.

Salah satu gagasan transformatif seorang Gus Dur adalah tentang pemberdayaan masyarakat yang terdiri atas tiga elemen penting: Pertama, membangun kesadaran masyarakat melalui gerakan intelektual. Kedua, meningkatkan modalitas sosial masyarakat melalui pengembangan sumberdaya manusia. Ketiga, menciptakan usaha ekonomi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat kecil.

Ketiganya merupakan satu batang tubuh pemberdayaan yang utuh, sebagaimana sembilan nilai utama Gus Dur, yakni; ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekesatriaan dan kearifan tradisi, yang kesemuanya saling berkelindan dan mengikat satu dengan yang lain. Jika diperas, kesemua nilai-nilai itu bermuara pada ikhtiar menciptakan kemaslahatan.

Kemaslahatan bagi rakyat banyak selain dapat diupayakan melalui tangan negara lewat kuasa pemimpin sebagaimana kaidah “tasharruful Imam ‘ala raiyyah manutun bil maslahah (Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan)”- juga sangat bisa diusahakan melalui gerakan pemberdayaan yang terstruktur, seperti yang telah Gus Dur teladankan dan tentu dengan sumbangsih berbagai pihak.

Dengan demikian, sistem kenegaraan yang diwariskan founding fathers, perlu disegarkan kembali. Bukan dirombak sepenuhnya, atau dirobohkan dengan mengganti sistem baru. Akan tetapi, berusaha mengkontekstualkan sistem permusyawatan, sekaligus menyegarkan kembali nilai-nilai Pancasila yang menjadi fondasi dari sistem kenegaraan kita.

Dadan Rizwan
Dadan Rizwan
Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Ketua Umum Forum Intlektual Muda Nahdliyin (FIMNA)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.