Suara Henry Yosodiningrat yang mengusulkan pembekuan KPK memancing polemik. Henry menilai KPK seharusnya melakukan tugasnya secara bersih dan tidak tebang pilih. Pendapat Henry itu, menurut yang bersangkutan sendiri dilandasi oleh temuan-temuan Pansus Angket KPK.
Pendapat itu segera dikaitkan dengan kecurigaan bahwa DPR memang bermaksud melemahkan KPK. Namun, seharusnya boleh juga kita membuka pemikiran untuk menerima suara-suara yang mengritik KPK, termasuk dari DPR yang memang lembaga representasi rakyat yang sah. Suara DPR yang patut dipertimbangkan itu adalah: Pertama, KPK dianggap belum cukup berhasil memberikan dampak yang signifikan dalam pemberantasan korupsi. Indikatornya setidaknya ada dua, yaitu belum kunjung tuntasnya kasus-kasus besar korupsi seperti kasus BLBI dan makin merajalelanya kasus korupsi di berbagai sektor dan di seluruh wilayah Indonesia. Dalam hal ini baik pada aspek pencegahan maupun pada aspek penindakan nampaknya KPK memang belum sesuai yang diharapkan.
Kedua, perlu lembaga penyeimbang dan pegawas KPK. KPK selama ini dikesankan menjadi lembaga super (super body) yang tidak jelas pertanggungjawabannya. Memang ada beberapa lembaga yang berfungsi juga sebagai “pengawas” KPK. BPK misalnya mengawasi KPK dari sektor anggaran. PPATK dan lembaga penegak hukum lainnya untuk mendeteksi kemungkinan adanya penyimpangan jabatan oleh oknum KPK dan lain sebagainya. Namun, nampaknya perlu juga adanya mekanisme pengawasan untuk menilai sejauhmana keberhasilan KPK secara lebih terukur.
Pembentukan KPK
Menurut UU No.30 tahun 2002 KPK dibentuk untuk melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Terdapat perdebatan apakah KPK merupakan lembaga ad interim atau bukan. Komisoner KPK 2011-2015, Zulkarnaen mengatakan bahwa jika melihat redaksi UU No. 30/2002 tersebut tidak ada satupun kata yang menyebutkan bahwa KPK lembaga yang dibentuk untuk sementara (ad interim). Dari situ ia menyimpulkan bahwa KPK adalah lembaga yang permanen.
Namun jika dilihat dari sejarahnya, nampaknya pendapat Zulkarnain itu harus diperbandingkan dengan pendapat yang lain. KPK didirikan karena korupsi di Indonesia dianggap sudah sangat merajalela sehingga perlu “langkah luar biasa” untuk memberantasnya. Sebagian pihak menganggap bahwa setelah kasus korupsi tidak lagi semerajalela seperti yang selama ini terjadi, maka KPK bisa dibubarkan. Fahri Hamzah misalnya, memandang bahwa masa depan pemberantasan korupsi bukan ada di KPK. Dari pendapat Fahri ini memang ada sebagian masyarakat Indonesia yang melihat bahwa KPK adalah lembaga sementara. Sementara lembaga yang seharusnya melakukan pemberantasan korupsi adalah kepolisian, kejaksaan dan beberapa lembaga terkait lainnya baik yang di bawah kementerian maupun lembaga negara lain.
Dari dua pendapat itu jelaslah ada perbedaan pandangan mengenai eksistensi KPK. Di satu pihak memandang bahwa KPK adalah lembaga permanen dan satu pihak lagi memandang KPK sebagai lembaga interim atau sementara. Perbedaan pendapat itu berimbas pada bagaimana sikap mereka terhadap kinerja KPK khususnya. Selain itu, perdebatan itu, ditambah dengan perdebatan lain- seperti soal kedudukan KPK- berimbas pada perbedaan pandangan soal bagaimana memperlakukan KPK dalam kerangka sistem penyelenggaraan negara.
Format Baru
Ada plus minus dari dua pendapat tersebut. Jika KPK memang diarahkan untuk menjadi lembaga permanen, maka yang harus dipertanyakan adalah bagaimana arah institusionalisasi KPK sebenarnya. Dalam hal ini benar kata Fahri Hamzah, bahwa tanpa pengawasan yang ketat KPK bisa menjelma menjadi lembaga superbody yang bisa dipergunakan penguasa untuk menindas lawan politiknya. Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.
Tapi, jika KPK hanya bersifat sebagai lembaga sementara, maka mungkin KPK akan menghadapi kendala-kendala strategis dan teknis dalam melaksanakan tugasnya. Tugas penegakan hukum bisa memakan waktu yang sangat lama. Mengingat kasus korupsi yang demikian luas dan banyak di Indonesia, maka kesementaraan KPK justru bisa membuat upaya pemberantasan KPK menjadi tidak efektif.
Menurut hemat penulis, reformasi KPK bisa mengambil jalan tengah dari dua kutub itu. yang dimaksud jalan tengah itu adalah sebagai berikut: pertama, bahwa pemberantasan korupsi yang dianggap sebagai “kejahatan luar biasa” harus menjadi agenda nasional yang fokus bebannya tidak hanya diletakkan pada KPK. Jadi, patut dipertimbangkan adanya satu lembaga nasional yang bersifat independen dan terbuka di luar KPK untuk menetapkan agenda pemberantasan korupsi. Lembaga ini bertugas menetapkan strategi pemberantasan korupsi. Termasuk dalam tugas lembaga ini adalah menetapkan kasus-kasus prioritas untuk ditangani khususnya yang berdampak signifikan terhadap agenda pemberantasan budaya korupsi.
Format lembaga ini boleh disusun sedemikian rupa dengan melibatkan legislatif, pemerintah dan civil society. Keputusan lembaga ini harus didasarkan pada perangkat perundangan yang kuat agar dipatuhi dan didukung oleh semua pihak. Untuk mengimbangi kekuasaan lembaga ini, maka klausul keterbukaan dan akuntabilitas harus ditekankan.
Kedua, KPK ditempatkan sebagai pelaksana dari tugas yang diberikan oleh lembaga yang disebutkan di butir pertama. KPK akan dimintai pertanggungjawaban dari pelaksanaan tugas itu dalam jangka waktu tertentu, misalnya dua tahun sekali atau jangka waktu lain sesuai dengan konteks kasus maupun faktor kondisional lainnya.
Ada beberapa tujuan yang ingin diwujudkan dari alternatif tersebut, yaitu: pertama, ada keterbukaan mengenai agenda pemberantasan korupsi sehingga tidak ada kecurigaan bahwa agenda pemberantasan korupsi dilakukan dengan tebang pilih. Kedua, ada mekanisme checks and balances sehingga mengurangi potensi KPK menjelma menjadi lembaga superbody yang tanpa kontrol dan meminimalkan kemungkinan KPK menjadi alat politik. Ketiga, memperjelas arah pemberantasan korupsi dan kemungkinan dampaknya bagi perwujudan sistem politik dan pemerintahan yang bersih. Keempat, memberikan beban pemberantasan korupsi pada lembaga dan aktor lain, termasuk kepada DPR. DPR dan pemerintah diberikan beban untuk menetapkan agenda pemberantasan korupsi.
Penutup
Penulis termasuk orang yang tidak setuju dengan pembentukan Pansus Angket KPK. Tetapi pada saat yang sama, penulis melihat pula ada masalah dengan KPK yang memang perlu dicarikan jalan keluarnya. Yang harus menjadi komitmen bersama seluruh Bangsa Indonesia seharusnya adalah penguatan agenda pemberantasan korupsi, bukan semata-mata penguatan KPK. Oleh karena itu, keterbukaan pikiran untuk menerima pendapat dari pihak yang mengritik KPK perlu ada.
Alternatif yang penulis usulkan memang merupakan solusi khas institusionalisme. Fokusnya pada pengaturan kembali format dan beban pemberantasan korupsi. Tentu saja, ada kelemahan dari alternatif ini. Namun, sebagaimana ditulis di muka, tulisan ini diharapkan bisa membuka diskusi bagaimana mereformasi KPK; atau, lebih tepatnya mereformasi agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.
sumber gambar: