Sabtu, April 20, 2024

Merefleksikan Konflik Rusia-Ukraina

Nicholas Dennis Kurnia
Nicholas Dennis Kurnia
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Akhir bulan Februari lalu, tepatnya pada 24 Februari 2022, Presiden Vladimir Putin mengumumkan operasi militer terhadap Ukraina. Sejak hari itu, seluruh media di dunia sibuk memberitakan perang Ukraina-Rusia ini. Mulai dari mainstream media seperti CNN, BBC, Reuters, Kompas, hingga influencer di media sosial. For your page (FYP) di akun TikTok saya pun hampir didominasi oleh isu Rusia-Ukraina.

Lantas, apa yang bisa kita perbuat? Sebagai rakyat biasa, apalagi dari negara berkembang yang secara geografis jauh dari medan pertempuran, kita tidak bisa berbuat banyak aksi untuk mencegah perang dan mewujudkan perdamaian dunia. Untuk mereka yang berkecimpung di dunia akademis dan jurnalistik, mungkin anda dapat membuat diskusi publik, menulis berita, hingga menulis analisis melalui sudut pandang ilmu tertentu. Tapi, bagi kita yang “biasa-biasa saja” dari golongan akar rumput, apakah kita hanya sekedar menjadi penggosip dan penikmat berita?

Maka, sebagai sesama rakyat biasa, saya mengajak kita semua untuk merefleksikan konflik Rusia-Ukraina, minimal di tataran pribadi kita masing-masing. Semenjak beberapa hari ini mengamati apa yang terjadi di Ukraina, ada beberapa poin refleksi yang ingin saya bagikan.

Pertama, apa yang menjadi penyebab konflik Rusia-Ukraina? Menurut saya, jawabannya sangat sederhana, yaitu “ego”. Ego dapat diterjemahkan sebagai kepentingan diri atau gengsi. Rusia memiliki banyak kepentingan atas Ukraina, antara lain letak geografis Ukraina sebagai wilayah penyangga yang berbatasan langsung dengan Rusia, sebagai wilayah penyalur gas menuju ke Eropa, dan juga hubungan erat dalam bidang politik, sejarah, dan sosial budaya. Kepentingan ini sangat terancam jika Ukraina bergabung dengan NATO. Dalam konteks sejarah, NATO adalah aliansi pertahanan Eropa dengan Amerika Serikat dibawah kapitalisme barat, yang merupakan musuh politik dari Uni Soviet. Jika Ukraina bergabung dengan NATO, maka NATO akan menempatkan instrumen militer di wilayah Ukraina sebagai perlindungan anggota. Hal ini akan sangat mengancam Rusia, karena Ukraina berbatasan langsung dengan Rusia. Maka, wajar jika Rusia sangat marah dan sensitif bila mendengar kabar Ukraina akan menjadi anggota NATO.

Sebagai negara besar yang kuat secara ekonomi dan politik, tentunya Rusia tidak berdiam diri. Jika Rusia berdiam diri, Ukraina sangat mungkin bergabung dengan NATO. Maka, untuk menunjukkan kekuatannya, Rusia melakukan operasi militer terhadap Ukraina. Tidak peduli berapa banyak sanksi dan dampak yang dihasilkan, Rusia tetap melakukan operasi militer demi kepentingan diri.

Dari pola diatas, dapat kita lihat bahwa sebuah negara akan melakukan cara apapun demi mencapai kepentingan nasionalnya, egonya, gengsi nya. Jika kita lihat lebih dalam, siapakah negara itu? Tak lain adalah seorang individu pengambil keputusan. Maka, tesis diatas saya kira tepat untuk merefleksikan diri kita. Kita akan berjuang melakukan segala hal, bahkan hal yang sulit, absurd, dan gila sekalipun, untuk memperoleh kepentingan kita. Sama seperti pemimpin dunia yang memutuskan maju berperang, semakin kita tersulut emosi dan merasa panas, semakin tidak rasional seseorang dalam mengambil keputusan. Pertanyaannya, kepentingan apa yang sekarang sedang kuperjuangkan? Tindakan apa yang kulakukan untuk memperolehnya? Semoga keputusan yang kita ambil rasional, bijaksana, dan tidak merugikan banyak pihak.

Kedua, saya tertarik untuk mencermati media internasional yang meliput konflik ini. Sebagian besar mainstream media, seperti BBC, CNN, Reuters, cenderung menampilkan dengan jelas kejahatan Rusia terhadap Ukraina dan menyalahkannya. Begitu juga dengan media massa Indonesia yang saya selama ini saya perhatikan. Setelah direnungkan, saya sadar bahwa mainstream media tersebut dipengaruhi oleh kapitalisme barat, yang notabene adalah musuh politik Rusia. Tak heran, apabila media tersebut memberitakan kejahatan Rusia, supaya masyarakat dunia terusik dan menganggap Rusia adalah biang kerok dari konflik ini.

Saya kira menarik juga jika kita menterjemahkan pola ini dalam kehidupan sosial kita. Seringkali, kita asik menggosip, membicarakan orang lain dari perspektif kita. Secara manusiawi, kita cenderung senang jika membicarakan dan mengungkit keburukan orang lain. Itulah yang menurut saya dilakukan oleh mainstream media terhadap Rusia.

Sebagai warga negara Indonesia, kita menganut prinsip politik luar negeri bebas dan aktif. Artinya, tidak bijaksana jika kita menyalahkan Rusia secara sepihak. Bebas aktif bukan berarti politik netral, tapi politik rasional. Saya semakin kagum dengan prinsip politik luar negeri Indonesia yaitu bebas dan aktif. Betapa prinsip ini mencerminkan kedewasaan dalam bersikap. Andai saja seluruh warga Indonesia juga menganut prinsip ini dalam hidup sosialnya. Saya yakin, kata sudzon, julid, gosip perlahan-lahan akan hilang.

Ketiga, mari kita coba memposisikan diri sebagai Ukraina. Dari kapasitas militer, kita semua mengetahui bahwa Rusia jauh lebih unggul. Hingga awal Maret, Ukraina hampir terkepung dari segala penjuru. Kemenangan Rusia atas Ukraina hanya menunggu waktu. Rusia dapat kita ibaratkan sebagai orang dewasa berbadan kekar. Sedangkan Ukraina, hanyalah seorang anak kecil, yang sekarang sedang merasa frustasi, sendirian, kesepian, dan terancam.

Ukraina bukanlah anggota Uni Eropa maupun NATO. Di satu sisi, Uni Eropa maupun NATO tidak memiliki kepentingan khusus untuk membela Ukraina. Bisa dibayangkan juga kerugian besar yang diakibatkan jika negara-negara Uni Eropa maupun NATO membela Ukraina. Perang dunia akan segera pecah, krisis ekonomi dunia akan terjadi.

Seringkali, kita menjumpai sosok Ukraina dalam hidup kita sehari-hari. Sosok yang sedang frustasi, sendiri, lemah dan kesepian. Kita juga sering menjumpai sosok Rusia ataupun Amerika Serikat yang kuat, berkuasa, “kekar”. Sosok itu bisa kita jumpai dalam diri teman, keluarga, orang tua, hingga diri sendiri.

Mempelajari hubungan internasional sama dengan mempelajari manusia, masyarakat, diri sendiri. Kerap kali kita bersikap seperti Rusia yang merasa kuat, bertindak menguasai, bahkan menindas orang lain demi memperjuangkan kepentingan pribadi kita. Kadang juga, kita ada di posisi Ukraina, yang merasa kecil, frustasi, kesepian, bahkan nyaris putus asa. Maka pertanyaannya adalah, bagaimana sikap kita saat berada di posisi aktor-aktor tersebut?

Hidup ini adalah sebuah pilihan. Jika kita memposisikan diri sebagai pemimpin Ukraina, kita bisa memilih mau tetap tinggal di Ukraina dan ikut bertempur, atau dengan mudah mengundurkan diri dan kabur ke negara lain mencari perlindungan. Jika kita memposisikan diri sebagai Rusia, kita juga bisa memilih, mau tetap menyerang Ukraina habis-habisan demi kepentingan politik semata, atau mengusahakan perdamaian demi kepentingan bersama?

Semoga dari konflik Rusia dan Ukraina ini, minimal kita bisa berefleksi atas diri kita. Seraya kita mendoakan, semoga perdamaian antara Ukraina dan Rusia dapat segera terwujud.

Nicholas Dennis Kurnia
Nicholas Dennis Kurnia
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.