Jumat, Maret 29, 2024

Merefleksikan Inovasi Politik

M. Rizki Pratama
M. Rizki Pratamahttp://pratamarizkim.wordpress.com
Tenaga Pengajar Prodi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

Urgensi inovasi begitu tinggi, sayangnya tidak semua bentuk-bentuk institusi yang dekat dengan publik cukup sadar dengan ketatnya dunia saat ini. Eksekutif dan Legislatif sering menjadi biang keladi lambatnya kesejahteraan, faktanya di Negara kita sendiri, Indonesia, kita seringkali gagap inovasi dan disrupsi (meminjam istilah Rhenald Kasali) akhirnya lambat berubah dan terkejut dengan perubahan, kesejahteraan kita hanya begini-begini saja.

Tentu jika kita hanya mengandalkan eksekutif alias pemerintah di hari ini tentu tidak akan pernah cukup. Perlu inovasi semesta! Literatur inovasi sudah berbicara democratic innovation (Von Hippel, 2005) dan bahkan free innovation (Von Hippel, 2017) yang selalu melibatkan publik, bebas biaya, berbasis manfaat serta kadangkala tanpa paten.

Pemerintah sendiri sedang berusaha membangunkan birokrasi mereka sendiri agar lebih inovatif (silahkan cek ratusan nisiasi inovasi pemerintah daerah dan pusat yang dikompetisikan oleh Kemenpan-RB). Mari kita kritik bersama, dimana posisi politik yang diisi para anggota legislator dan partai politik sebagai representasi demokrasi yang mampu melakukan pembaruan atau inovasi politik? kita berharap semua lembaga mampu memperbarui diri, sayang politik tidak.

Aktor-aktor politik bersama institusinya masih terjebak dalam pola kekuasaan old-style, praktik-praktik representasi prosedural menjadi tumpuan tanpa ada pembaruan masif cara kerja mereka dalam politik. Padahal dengan arena demokrasi yang kondusif seperti saat ini seharusnya inovasi dapat muncul dalam arena politik, seperti dalam proses policy-making dengan awalan studi banding ke luar negeri sudah dianggap negatif oleh publik oleh karena itu seharusnya sudah ada pembaruan dalam cara-cara menggali pengetahuan kebijakan oleh para legislator. Keributan anggota DPD, tarik ulur pembahasan RUU Pemilu yang terlampau bertele-tele, hingga munculnya hak angket untuk KPK juga semakin menegaskan tidak ada kebaruan dalam arena politik kita.

Para politisi masih cenderung untuk defensif kurang berusaha memikirkan ide-ide baru bermanfaat. Debat-debat para politisi kita sangat reaktif, cenderung mengolah isu-isu jangka pendek yang menguntungkan mereka akibatnya kinerja legislasi mereka payah. Ini menjadi penyakit politik baik level nasional hingga level daerah, sebab analisis politik seringkali menjadi tak masuk akal ketika kepentingan mereka menjadi dasar pengambilan kebijakan, jarang sekali kebijakan visioner muncul dari kepala politisi, hampir-hampir ide-ide baru dan segar banyak datang dari luar arena legislasi yang kemudian sangat cepat mereka kontra ketika tidak sesuai dengan kepentingan.

Jujur saja tidak ada logika jangka panjang yang muncul semua bersumbu pendek. Sikat masalah dalam dua periode lepas itu lupakan. Akibatnya kualitas legislasi kita seringkali kalah cepat dengan perkembangan kebutuhan publik seperti regulasi transportasi online dan regulasi terorisme bahkan pemilihan umum.

Padahal publik mengharapkan lebih banyak kebijakan publik berkualitas dengan kondisi lingkungan dunia yang semakin tak menentu, publik mengalami kebuntuan akibat tidak ada pembaruan saluran aspirasi aksi politik. Kita lihat publik cenderung melampiaskan kekecewaan dan kekesalan pada berbagai saluran tak efektif seperti media sosial pribadi. Celakanya arena media sosial pribadi sering dipakai untuk menjustifkasi pilihan-pilihan suatu kelompok bahwa mereka salah atau benar yang berakibat keluarnya nalar abnormal anti perbedaan. Umpatan, makian, sumpah serapah sering diperdendangkan dalam kata-kata, makin parah sejak Pilpres 2014 hingga Pilkada DKI Jakarta.

Bahkan banyaknya berita hoax dapat menjadi indikator lesunya aspirasi substansial publik pada representasi politik mereka yang membuat mereka percaya dengan mudah tentang kepalsuan ataupun ikut serta dalam reproduksi berita hoax. Seharusnya politikus sudah jauh-jauh hari berani memikirkan saluran-saluran aspirasi politik baru bagi publik dengan cara-cara yang baru. Hampir kita tidak pernah mendengar adanya ide eksperimen politik yang menguntungkan publik.

Pakar inovasi publik Eva Sorensen (2016) menjelaskan bahwa terdapat tiga arena dalam inovasi politik, yaitu institusi, proses dan kebijakan. Tiga hal tersebut dapat menunjukkan sejauh mana inovasi politik kita dan arena mana saja yang dapat di-improve. Pertama, pernah inovasi institusi muncul ketika partai politik berani melakukan konvensi untuk menentukan calon presiden meskipun tak semua bahkan hingga kini pembaruan-pembaruan dalam tata kelola internal partai belum banyak berubah, seperti tertutupnya keuangan partai bahkan partai-partai tidak memiliki sebuah kitab manifesto garis perjuangan mereka yang rigid, semua dapat terombang-ambing tergantung kepentingan yang dimainkan. Rakyat bingung memilih partai mana yang akan membela kesejahteraan mereka.

Kedua, arena inovasi proses politik, jujur saja arena politik memiliki pola pengambilan keputusan yang sentralistis, semua Pilkada akan menunggu keputusan pimpinan partai di Jakarta, bahkan untuk semua isu berlaku hal yang sama, demokrasi masih terpusat dalam partai yang tidak kompatibel dengan logika desentralisasi selama ini. Ketiga, inovasi kebijakan, arena inovasi kebijakan yang merupakan hasil akhir nyata dari berbagai perdebatan inovasi institusi dan proses. Produk regulasi apapun yang dihasilkan tentu bermutu dengan berbagai metode inovatif untuk mencapainya, tidak ada lagi istilah undang-undang yang baru ditelurkan ternyata ketinggalan zaman seperti UU No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik atupun tiba-tiba muncul inisiatif revisi untuk kepentingan sementara seperti UU No. 5 Tahun 2014 tentang aparatur sipil negara.

Melihat Negara lain dapat menjadi refleksi bersama di tengah buntunya inovasi politik nasional. Kasus-kasus tentnag penyaluran aspirasi publik dengan cara baru. Seperti kasus Kota Utrech di Belanda ketika publik secara random mendapatkan total undangan 10.000 dalam tahap pertama untuk menanggapi isu bersama tentang masa depan iklim Kota Utrech 2030. Pada tahap akhir didapati 165 partisipan berdiskusi secara aktif memutuskan sendiri masa depan sebuah Kota dengan fasilitasi birokrasi tanpa intervensi. Kasus ini dikenal dengan “aleatoric democracy” dimana kelompok warga kota lebih berperan daripada representasi politik melalui pilihan elektoral (Meijer, van der Veer, Faber & de Vries, 2016).

Selain itu kasus Broekpolder di Belanda dapat menjadi rujukan sebagai sebuah komunitas self-organization (Edelenbos, van Meekerk & Joop Koppenjan, 2016) dimana mereka dapat memutuskan kebijakan seperti apa yang paling sesuai untuk mereka tanpa intervensi baik berupa fasilitasi ataupun kerangka kerja maupun arahan politikus hanya dengan mengandalkan kekompakan vibrant warganya untuk mampu memutuskan masa depan Broekpolder sendiri.

Entitas yang lebih mikro dan populasi yang lebih kecil tentu kasus-kasus tersebut layak untuk menjadi pertimbangan dalam konteks inovasi politik di wilayah Kota/Kabupaten di Indonesia dengan infrastruktur yang memadai selain itu entitas pemerintah Desa dengan dana desa yang berlimpah seperti saat ini juga dapat menjadi wilayah eksperimen inovasi politik. Masih banyak terdapat kasus lain, seperti jika kita membuka halaman PARTICIPEDIA akan dapat ditemukan ratusan kasus inovasi partisipasi politik dari seluruh dunia. Jika inovasi dalam direct democracy lebih menjanjikan dibanding demokrasi representatif yang amburadul saat ini tentu cara-cara konvensional dalam berpolitik jelas harus ditinggalkan, tiada lagi perang opini tanpa data antar politikus inkompeten.

Referensi
Edelenbos, Jurian, Ingmar van Meerkerk & Joop Koppenjan. 2016, The Challenge of Innovating Politics in Community Self-Organization: The Case of Broekpolder, Public Management Review.
Meijer, Albert, Reinout van der Veer, Albert Faber & Julia Penning de Vries. 2016, Political Innovation as Ideal and Strategy: The Case of Aleatoric Democracy in The City of Utrecht, Public Management Review.
Sorenson, Eva. 2016, Political Innovations: Innovations in Political Institutions, Processes and Outputs, Public Management Review.
Von Hippel, Eric. 2017. Free Innovation. MIT Press: Cambridge.
Von Hippel, Eric. 2005, Democratizing Innovation. MIT Press: Cambridge

M. Rizki Pratama
M. Rizki Pratamahttp://pratamarizkim.wordpress.com
Tenaga Pengajar Prodi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.