Minggu, Oktober 6, 2024

Meredupnya Ideologi Partai di Indonesia

Jacko Ryan
Jacko Ryan
Mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Airlangga, Surabaya. Dapat dihubungi di jacko.ryan-2017@fisip.unair.ac.id.

Pertemuan antara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) pada Rabu (11/12) silam tampak menjadi pertemuan yang bersejarah. Pandangan tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari persepsi masyarakat hingga ideologi PKS yang bernuansa keagamaan Islam yang kuat.

PKS dipandang sebagai salah satu partai di Indonesia yang berusaha memperjuangkan nilai-nilai Islam ke dalam perundangan-undangan dan kebijakan-kebijakan negara (formalist islamic parties). Secara ideologis tentu bisa dipastikan bahwa keduanya–PKS dan PGI–merupakan hal yang berbeda dan saling bertolak belakang.

Lantas itu pula yang menjadi pertanyaan publik hingga membentuk suatu opini bahwa kunjungan tersebut dilandasi kepentingan politik praktis. Terlebih pada Rapat Kerja Pimpinan Fraksi PKS se-Indonesia tersiar kabar bahwa PKS membuka peluang untuk mengusung calon kepala daerah yang bukan beragama Islam pada Pilkada 2020 mendatang.

Namun opini tersebut dibantah Presiden PKS Sohibul Iman. Sebagaimana dilansir dalam berbagi media, ia menampik bahwa pertemuan kedua pihak ini bermuatan politik terlebih membicarakan Pilkada 2020. Menurutnya, PKS tidak akan membicarakan hal-hal bermuatan politik jika bertemu dengan organisasi masyarakat.

Fenomena ini tentu menarik untuk dibahas. Berbeda dengan apa yang terjadi di banyak negara lain (misalnya Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat), di Indonesia sendiri berbagai partai politik menunjukkan sifat keterbukaannya. Itu ditunjukkan dengan munculnya relasi kuat dengan partai lain dan organisasi lain yang bertolak belakang secara ideologis. Hal tersebut terjadi dilatarbelakangi banyak motif dan salah satunya demi meraup keuntungan elektoral.

Dilema Partai

Pasca Orde Baru, berbagai partai politik telah menunjukkan perkembangan yang signifikan baik secara kuantitas maupun kualitas. Berbagai persoalan kontemporer juga muncul sehingga menjadikan kehidupan perpolitikan di Indonesia masa kini bergerak secara dinamis.

Salah satunya yakni dikotomi antara kepentingan politik praktis dan nilai ideologi partai. Hal tersebut secara eksplisit terlihat pada definisi partai politik yang disebutkan Budiarjo (2008) sebagai suatu kelompok yang terorganisasi, anggota-anggotanya memiliki  orientasi nilai-nilai yang sama untuk memperoleh kekuasaan dan merebut kedudukan politik agar dapat melaksanakan programnya karena  kekuasaan dan kedudukan politik diperoleh secara konstitusional untuk mempengaruhi dan  melaksanakan kebijakan umum (public policy).

Dari definisi tersebut terlihat dilema yang dihadapi partai politik saat ini yakni antara perjuangan ‘orientasi nilai-nilai yang sama’ (ideologi) dengan kekuasaan dan kedudukan politik (kepentingan politik praktis). Di satu sisi, kepentingan politik praktis menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi agar partai politik tetap berjalan dengan baik dan lestari. Namun di sisi lainnya, nilai ideologi partai juga harus tetap dihayati sebagai identitas utama partai dan usaha menjaga nilai historis yang diwarisi dari founding fathers masing-masing partai.

Benturan diantara keduanya acapkali menjadikan berbagai partai politik justru kehilangan identitas. Alih-alih menjaga nilai ideologi, berbagai partai politik kerap cenderung mengedepankan kepentingan politik praktis sehingga nilai ideologi partai menjadi terbaikan. Hal ini tentu menghasilkan dampak yang fundamental dalam tubuh partai.

Keterbukaan partai politik dengan tujuan agar dapat mewadahi semua pemilih menjadikan ideologi tidak menjadi acuan dalam kehidupan partai: misalnya saja dalam pengambilan keputusan internal di dalam partai itu sendiri ataupun dalam penyusunan kebijakan di pemerintahan.

Keterbukaan partai pada hal yang tidak sejalan dengan ideologinya tentu dilandasi banyak faktor, salah satunya kebutuhan dukungan atau suara. Hal tersebut didukung pula oleh sistem kepartaian multipartai yang dianut Indonesia sehingga persaingan antara partai politik pasti menguat dan diperlukannya berbagai strategi agar keberadaan partai politik tetap eksis.

Dampak yang Dirasakan

Fenomena meredupnya ideologi partai politik ternyata tidak selalu bermakna negatif. Sartori (1976) setidaknya memandang bahwa fenomena partai politik yang semakin pragmatis dalam upaya mendapatkan kekuasaan dan jarak ideologi di antara partai-partai politik yang semakin menyatu (centripetal tendencies) adalah tanda bahwa demokrasi dalam negara tersebut sudah terinstitusionalisasi secara baik.

Hal lainnya yakni munculnya penghayatan partai pada hal-hal yang inklusif. Contoh nyata terlihat dalam nuansa inklusif yang terlihat dalam pertemuan PKS dan PGI. Pertemuan tersebut dipandang sebagai suatu jalan moderasi dan dialogis yang baik. Alih-alih membangun citra partai yang ekslusif, pertemuan tersebut menunjukkan bahwa ada langkah yang dibangun untuk nemukan kesamaan serta kersajama dalam menghadapi ancaman egoisme, invidualistis, konsumtif, dan berbagai keserakahan yang dapat memecah belah bangsa.

Namun tidak menutup juga bahwa pasti muncul dampak yang negatif. Tentu ideologi merupakan hal yang penting dan merupakan fondasi bagi bangunan suatu partai politik. Ideologi sejatinya dijadikan standar bagi posisi tawar-menawar (bargaining position) dalam kontestasi terlebih sebagai acuan yang menentukan posisi partai dalam persaingan yang dinamis dan sengit.

Karenanya tidak dapat dibenarkan bahwa ideologi partai diabaikan begitu saja demi tujuan perolehan massa dan suara. Partai politik harus mengerti bahwa persaingan politik yang didasari oleh penempatan ideologi politik yang tidak jelas justru membingungkan masyarakat secara luas karena tidak ada sekat yang jelas antara partai-partai yang ada dan terlebih nilai-nilai yang akan diperjuangkan oleh partai itu. Dampak itu yang kemudian menegasikan tujuan dari partai politik untuk mau bersifat terbuka.

Langkah Strategis

Kebingungan yang timbul di masyarakat harus segara ditangkap oleh partai politik yang ada. Karena jika tidak, bukan hal yang mustahil jika itu berdampak pada menurunnya partisipasi politik masyarakat.

Sehingga, jikalau ada partai politik yang mulai berkembang menuju ke arah pragmatis, maka penting untuk menciptakan komunikasi politik yang baik juga kreatif. Itu dipandang sebagai bagian dari strategi politik yang bertujuan agar partisipasi politik masyarakat tidak mengalami penurunan.

Juga dengan motivasi keterbukaan partai politik itu sendiri. Inklusivitas partai yang bertujuan untuk memperoleh dukungan dari masyarakat secara lebih luas tentu harus dipraktikkan secara universal di tubuh partai itu sendiri. Itu terwujud misalnya dengan konsolidasi yang berkesinambungan di tingkat internal maupun eksternal partai serta perombakan rekruitmen politik yang sesuai dengan semangat keterbukaan yang diusung partai politik.

Jacko Ryan
Jacko Ryan
Mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Airlangga, Surabaya. Dapat dihubungi di jacko.ryan-2017@fisip.unair.ac.id.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.