Situasi keagamaan di Indonesia belakangan ini sudah semakin mirip dengan situasi keagamaan negara-negara di Timur Tengah yang mempertontonkan intoleransi, kekerasan, dan teror. Ketika agama yang sakral dicampuradukkan dengan politik yang profan, wajah keduanya jadi berbeda. Kesakralan dan nilai-nilai religiositas agama menjadi ternoda dan mekanisme demokrasi (politik) juga menjadi tidak sehat.
Melihat permasalahan tersebut, teman-teman dari komonitas “The al-Falah Institute Yogyakarta” mengadakan seminar kepesantrenan dengan tema Mereduksi Pertumbuhan Radikalisme Agama di Indonesia, bertempat di Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dengan seminar tersebut kami (kaum muda) tentunya tidak menghendaki tragedi seperti di Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman (Arab Spring) terjadi di negeri ini. Namun, ketika melihat peta perpolitikan yang terjadi belakangan dan agama dijadikan senjata politik, sedang kekerasan terus diteriakkan, rasanya tinggal tunggu waktu Indonesia akan menjadi medan perang (dar-ur harb) seperti Irak dan Suriah. Dari rangkaian sikap intoleran, kekerasan, dan teror berlatar agama, seperti penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah, pengusiran komunitas Syiah, pembakaran gereja di Singkil, teror bom Thamrin, insiden Tanjung Balai, hingga pelemparan bom di Gereja Oikumene, Samarinda, menunjukkan bahwa kita sebagai bangsa belum bisa hidup bersama dalam pluralitas.
Dr. Syahiron Syamsuddin, sebagai pembicara pada seminar tersebut mengatakan bahwa, gerakan radikalisme itu terjadi, salah satunya karena cara pandang atau cara menafsirkan ayat-ayat perang dalam al-Quran yang salah. Semestinya dalam menafsirkan ayat-ayat perang yang ada di dalam al-Quran itu: pertama, menganalisa bahasa arabnya. Kedua, membandingkan dengan teks-teks di luar al-Quran. Ketiga, sesuaikan sejarah atau konteknya. Keempat, penyesuaian dan implimentasi pesan. Dan yang terakhir adalah makna simbolik dari ayat perang tersebut.
Sedangkan menurut AKBP Ahmad Hanafi sebagai perwakilan dari Kapolda DIY, gerakan radikalisme yang berkembang pesat di Indonesia ini disebabkan: pertama, ideologi atau pemahaman yang salah dan dangkal. Kedua, adanya webset-webset radikal, sehingga membuat orang yang pemahaman agamanya minim merasa bahwa membela agama adalah jalan yang diridhai oleh Allah. Ketiga, fanatisme golongan (aliran-aliran), dalam paham ini jika salah satu dari golongannya bermasalah maka semua siap untuk turun jalan, seakan-akan merekalah yang paling benar.
Oleh karena itu, kita harus menyadari bahwa saat ini dengan dukungan infrastruktur dan dana yang kuat, gerakan kelompok radikal lebih aktif mengampanyekan eksklusivitas, militansi, radikalisme, dan bahkan kekerasan di ruang publik. Bahkan menurut hasil survei The Pew Research Center (2015) dinyatakan bahwa 10 juta warga Indonesia berpaham radikal. Tidak heran jika agenda dua organisasi keagamaan arus utama, Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuan dan NU dengan Islam Nusantara, tenggelam oleh euforia propaganda mereka. Disinyalir, pengaruh serta gagasan ideologi dan puritanisasi mereka semakin meluas, bahkan sangat dimungkinkan sudah terjadi penetrasi di lembaga-lembaga pemerintah.
Pertumbuhan gerakan radikalisme berjubah agama tersebut tentu tidak boleh disepelekan. Sebab, agama bisa dijadikan pembentuk kekuatan dahsyat dalam membangkitkan identitas emosional massa dibandingkan identitas sosial lain. Agama bisa memicu konflik bereskalasi mengerikan dengan intensitas tinggi, yang bisa memecah belah persatuan bangsa. Oleh karena itu, beberapa upaya harus dilakukan untuk mereduksi laju perkembangan radikalisme agama di Indonesia. Beberapa hal itu di antaranya, pertama menghadirkan pemahaman keagamaan yang moderat. Ini bisa dilakukan misalnya dengan mengetengahkan mode penafsiran al-Quran yang kontekstual. Kedua, dengan memperkuat penegakan hukum atas penyebar paham radikalisme agama. Negara, dalam hal ini kepolisian harus berani memotong laju perkembangan radikalisme agama di Indonesia.
Dengan ini, kami (kaum muda) mengharapkan dapat memunculkan pemahaman keagamaan yang humanis dan bisa mematahkan pemahaman keagamaan yang menjadi basis gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Sebab jika bukan sekarang kapan lagi, jika bukan kita (kaum muda) siapa lagi.
Nurul Anam, Penggerak The Al-Kindy Institute Yogyakarta.