Perkembangan dunia digital dan teknologi`bersamaan dengan tingkat kecepatan popularitas atau trending sebuah pembahasan. Topik tertentu akan dengan mudah dan cepat menjadi pokok pembicaraan warga dunia maya melalui lini masa media sosial. Termasuk di dalamnya topik-topik tentang kegamaan. Salah satu yang sedang “viral” adalah gerakan hijrah.
Akan tetapi istilah hijrah yang sedang “viral” ini memiliki makna baru dalam pemahaman umat Islam saat ini. Hijrah dimaknai sebagai perubahan seorang muslim kepada kehidupan yang dianggap “lebih islami”. Kelompok muslim yang “terjangkit” fenomena hijrah tidak lagi memahami hijrah sebagai sebuah peristiwa historis di era Nabi melainkan sebagai perubahan gaya hidup dengan tampilan busana yang dianggap “lebih islami”.
Sehingga istilah hijrah telah mengalami pergeseran makna dari sebuah peristiwa yang historis menjadi peristiwa sosiologis sekaligus psikologis. Dianggap sebagai fenomena sosiologis, karena orang yang telah berhijrah membentuk identitas dalam sebuah komunitas sosial muslim yang membedakan dengan mereka yang belum berhijrah.
Baik dari cara berpenampilan dan berinteraksi dalam kehidupan sosial. Secara psikologis, ada semacam keyakinan bagi mereka yang telah berhijrah telah berpindah memasuki dunia yang sesuai dengan ajaran agama.
Sedangkan kalau dilihat dalam sejarah Islam, para sarjana muslim memiliki beragam pandangan terhadap peristiwa hijrah. Secara umum, hijrah dipahami sebagai sebuah peristiwa historis yang menandai perpindahan Nabi Muhammad SAW dari Mekkah menuju Madinah. Selanjutnya untuk mengkaji dan mengambil hikmah dari peristiwa hijrah, para sejarawan menyajikan perspektif yang menjernihkan dalam memahami maksud hijrah.
Tidak seperti pemaknaan hijrah pada saat ini yang cenderung mempunyai dampak perpecahan yang kuat, hijrah menurut sejarawan semacam Albert Hourani (Sejarah Bangsa-bangsa Muslim, 1991; 65) lahir dari sebuah upaya menyelesaikan konflik.
Dalam catatan sejarah, ada sekelompok orang dari Yatsrib yang datang untuk bertemu Muhammad di Makkah. Mereka dari dua kabilah besar yang sedang mengalami konflik kesukuan dan membutuhkan seorang mediator.
Dari sinilah langkah awal menuju perdamaian dimulai. Kondisi umat Islam yang semakin terdesak oleh kafir Quraisy di Mekkah beririsan dengan sebuah perjalanan mulia untuk berpindah sekaligus mewujudkan sebuah perdamaian.
Yatsrib merupakan wilayah dengan komposisi suku yang beragam dan konflik berkepanjangan antara suku Aus dan Khazraj (Yusliani Noor, Sejarah Timur Tengah (Asia Barat Daya), 2014; 58). Sehingga kedatangan Nabi ke Yatsrib (hijrah) cenderung merupakan permintaan dari 72 orang Yatsrib yang datang ke Mekkah, bukan pelarian dari kelaliman kafir Quraisy.
Kehidupan di Yatsrib telah kehilangan rasa damai. Para penduduk yang mewakili rakyat Yatsrib berduyung-duyung datang ke Mekkah menemui Nabi Muhammad. Melalui haji, mereka berbaiat setia menjadi muslim kepada Muhammad untuk saling menjaga dan tidak menebar permusuhan. Kemudian satu demi satu keluarga muslim pindah menuju Yatsrib pada tahun 622 M.
Hijrah menandai era baru dalam perjuangan Nabi Muhammad. Menurut Karen Armstrong dalam Islam: A Short History, Hijrah merupakan satu langkah revolusioner yang dipilih Nabi. Menurutnya, hal ini dikarenakan tradisi Arab pra-Islam yang menjunjung tinggi kesukuan, yang juga menjadi penyebab konflik dua suku besar di Yatsrib, menjadi sirna dengan ikatan yang disepakati tanpa adanya pemaksaan memeluk sebuah keyakinan tertentu.
Para sejarawan merekam dengan baik bahwa seorang Muhammad beserta kelompoknya (muhajirin) telah berhasil merumuskan sebuah kesepakatan yang berisi perjanjian untuk saling menjaga dan tidak menyerang antara umat Islam, kaum pagan dan Yahudi. Kisah hijrah pada dasarnya adalah inspirasi dalam menjaga perdamaian masyarakat dunia yang beragam ini. Yatsrib yang sebelum peristiwa hijrah adalah kota yang penuh konflik kesukuan berubah menjadi Madinah sebagai simbol kota yang berkeadaban.
Pemaknaan peristiwa hijrah secara historis penting dipahami oleh generasi umat Islam. Sehingga kekeliruan secara terminologis dalam memahami hijrah menemukan pemahaman yang memadai. Tingkat literasi umat Islam menyebabkan kegagalan memahami istilah secara jernih.
Kondisi keberagamaan yang merosot dengan didukung tingkat literasi yang minim membuat umat Islam terlihat gagap dan terbawa arus gerakan hijrah. Apalagi hanya karena merasa sudah berhijrah, kadang seseorang bisa sampai saling menyalahkan dan bermusuhan hanya karena model jilbab yang berbeda misalnya.
Mereka yang belum berhijrah dianggap belum menjadi muslim yang taat pada ajaran Islam. Meskipun yang dimaksud hijrah tersebut hanya sebuah perubahan yang semula tidak berjilbab menjadi berjilbab misalnya. Bahkan terkadang perbedaan atribut atau tampilan seseorang dengan mudah dapat menyebabkan seseorang menganggap salah kepada yang lain.
Disini lah letak awal persoalannya. Istilah hijrah telah menjauhi spirit kesejarahannya. Sikap menyalahkan yang lain pada puncaknya dapat menyebabkan permusuhan di antara sesama umat Islam. meskipun tidak semuanya akan mengarah pada konflik sesama, tapi ada potensi yang harus dicegah.
Hari ini, istilah hijrah dimaknai secara ahistoris. Hijrah dipersempit maknanya hanya sebagai perubahan simbolik penampilan lahiriyah. Semestinya, jika kita hendak menggalakkan gerakan hijrah, bukankah semestinya kita memetik hikmah dari sejarah peristiwa hijrah yang bermula untuk membangun jalan perdamaian. Maka, jika kita mengaku telah berhijrah, sudahkah kita menggalakkan perdamaian dalam bingkai keberagaman?