Indonesia saat ini memasuki usia 75 tahun Kemerdekaan, jika dahulu para founding father melawan penjajah dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Saat ini bangsa Indonesia menghadapi ‘musuh’ yang tak kalah menakutkan, menjelang Pilkada serentak yang diselenggarakan pada 9 Desember 2020, salah satu musuh terbesar anak bangsa saat ini adalah politik uang.
Politik uang merupakan cikal bakal dari proses regenerasi politik yang korup, transaksional politik uang akan memenangkan kelompok oligarki yang banyak mendapat keuntungan dari proses suksesi politik yang dilakukan. Melalui akses modal politik “gelap”, maka menghasilkan proses politik yang predatoris yang kemudian berdampak terlanggarnya hak-hak dasar warga negara, memperkuat praktik korupsi baik yang dilakukan secara terang-terangan seperti korupsi pengadaan barang dan jasa, hingga korupsi legislasi.
Tulisan ini mencoba menguraikan apa makna dan relevansi politik uang dan menguatnya oligarki, sedang pada saat yang sama masyarakat sangat permisif terhadap praktik politik uang, dan bagaimana resolusi politik yang perlu dirumuskan agar kedepan jalannya demokrasi di Indonesia semakin sehat, tidak menghasilkan otoritarianisme baru, dan bebas dari praktik politik uang.
Politik Uang dan Kompromistis Oligarki
Burhanudin Muhtadi didalam bukunya Vote Buying in Indonesia, menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi politik uang di Indonesia, yaitu ”..sistem politik multi-partai yang berdampak maraknya jual beli suara dan rekom. Pada tahap tersebut, terjadi transaksi politik antar-elit dan partai politik. Kemudian, desain kelembagaan politik yang berdampak pada calon mengejar personal vote dengan cara politik uang (Muhtadi, 2019).
Faktor selanjutnya adalah klientinistik dan politik patronase, yang menjadikan politik uang sebagai sesuatu yang lumrah dan membentuk budaya politik yang destruktif dan mengakar pada elektoral. Edward Aspinall dalam bukunya Democracy for Sale (Aspinall, 2017) memberikan gambaran mengenai reproduksi politik klientinisme yang akan melahirkan pemimpin yang berwatak korup, dengan kroni kekuasaannya akan menghalalkan segala cara agar mendapatkan keuntungan dari proses kepemimpinan politik yang dilakukan.
Jeffry A.Winters (Winters, 2012), menegaskan bekerjanya oligarki, yang terdiri dari kekuatan pemerintah yang memiliki otoritas dalam memberikan izin serta ditopang oleh investasi yang rakus dengan tujuan untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya tanpa keberpihakan pada menjaga kelestarian lingkungan, kemudahan investasi, dan menegasikan hak-hak dasar warga negara, bahkan jika harus dilindungi oleh perundang-undangan sekalipun.
Sistem politik yang nir-akuntabilitas menjadi potensi besar politik uang dan dukungan oligarki, sedangkan pada saat yang sama tindakan pengawasan akan mendapatkan tantangan yang berat untuk menemukan bukti-bukti keterkaitan menguatnya politik uang dan jalannya praktik oligarki, khususnya di daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah, serta berbagai industri ekstraktif maupun non-ekstraktif lainnya yang memiliki kepentingan langsung untuk mengendalikan jalannya pemerintahan.
Permisifnya Masyarakat Pada Politik Uang
Riset PUSAD UMSurabaya, pada April 2020 terkait sikap elektoral apabila diberi uang oleh calon pada Pilkada serentak di 19 Kabupaten/Kota di Jawa Timur, menyebutkan setidaknya, hanya 1,87 persen yang bersedia menolak pemberian uang untuk pilkada. Namun, dari 98,13 persen responden yang mau menerima uang tersebut masih ada 66,5% responden yang tetap memilih berdasarkan hati nurani.
Ditengah situasi pandemi COVID-19, beberapa potensi politik uang yang terjadi tidak dilakukan secara konvensional, namun dilakukan dengan model yang memalukan, semisal: (1). penggunaan simbol/foto kepala daerah yang memberi bantuan sosial penanganan COVID-19; (2). Penyalahgunaan dan salah sasaran penyaluran Bansos dari alokasi refocussing APBN/APBD untuk penanganan COVID-19 (3). Serta penyalahgunaan program-program terkait seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Anggaran Dana Desa (ADD), dsb
Permisifnya masyarakat terhadap politik uang akan menjadikan peluang bagi transaksi antara peserta dan elektoral. Tentu kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya apa yang dialami masyarakat, selain karena tingkat pemahaman, juga karena missed persepsi yang disampaikan, bahwa politik uang bagian dari shodaqoh politik, bantuan sukarela, dan berbagai sebutan lainnya.
Hal tersebut jelas bertentangan dengan prinsip dasar penyelenggaraan Pemilu yang luber dan jurdil. Apalagi, elektoral kita sudah dapat dikategorikan pemilih rasional, maka dari itu penggunaan politik uang harus dihindari sedemikan rupa, masyarakat dapat melakukan mitigasi terjadinya politik uang dengan berbagai instrumentasi sosial-kemasyarakatan, sehingga kesadaran dan budaya anti-politik uang akan tumbuh bersemai
‘Merdeka’ dari Politik Uang
Budaya politik transaksional akan menjadikan jalannya demokrasi elektoral menjadi tidak sehat, dan menghasilkan pemimpin yang berpotensi besar korup, menindas hak-hak dasar warga negara, dan menegasikan pembangunan yang berkelanjutan.
‘Merdeka’ dari politik uang merupakan resolusi politik-hukum yang harus terkonsolidasi oleh seluruh komponen bangsa, mulai dari penyelenggara Pilkada, jajaran pemerintah dan legislatif, penegak hukum, hingga akademisi dan kelompok civil-society, sehingga demokrasi semakin menguat, serta masyarakat semakin aware bahwa politik uang harus dilawan bersama karena dampak negatifnya yang akan terjadi pasca berkuasanya pemimpin tersebut.