Merdeka adalah sikap selain mental. Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang mempunyai sikap dan mental kuat untuk melepaskan diri dari segala bentuk ikatan apapun. Salah satu anak bangsa yang mempunyai sikap dan mental merdeka adalah Soe Hok Gie. Ia menjadi inspirasi bagi kaum muda sekarang.
Selain aktivis saat menjadi mahasiswa, ia juga seorang penulis produktif yang rajin mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah orde baru yang berseberangan dengan kepentingan rakyat. Tulisannya bernas, tersebar di beberapa koran nasional dalam rangka keberpihakannya pada rakyat. Anak muda ini sangat pemberani meski ia juga harus pasrah mati muda. Sikap dan idealismenya tergambar dalam bukunya Catatan Seorang Demonstran, ia menulis: “Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tapi, aku memilih untuk jadi manusia merdeka.”
Perayaan kemerdekaan yang dilaksanakan warga negara Indonesia secara masif dengan aneka perlombaan agustus-an sesungguhnya bertujuan mengenang semangat perjuangan para pendiri bangsa. Dari situlah kemudian kecintaan terhadap tanah air (nasionalisme) tumbuh dan berkembang. Jiwa nasionalisme tersebut akan kuat dan teguh karena lahir dari solidaritas sosial yang dimotivasi oleh ideologi yang sama.
Bung Karno pernah bertutur “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.” Pernyataan Bung Karno tak meleset sedikit pun. Apa yang kita lihat dan rasakan hari ini benar adanya. Penjajahan dalam bentuk baru itu yang disebut dengan korupsi.
Koruptor adalah penjajah baru yang merampok uang rakyat. APBN dan APBD menjadi objek bancakan para pejabat di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tengok saja data terakhir operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap beberapa kepala daerah periode Januari-Agustus 2022, antara lain: Wali Kota Bekasi, Bupati Penajam Paser Utara, Bupati Langkat, Bupati Tabanan, Bupati Bogor, Wali Kota ambon, Eks Wali Kota Yogyakarta, Gubernur Riau, dan Bupati Pemalang (11/8/2022)
Jelas, mereka adalah musuh rakyat, pengkhianat kemerdekaan. Sejatinya di tangan merekalah kue kemerdekaan bisa dicicipi setiap potongannya dengan suka ria oleh rakyat. Kepala daerah mengemban amanat untuk membawa rakyatnya ke dalam situasi dan kondisi yang aman, tenteram, damai serta tercukupi segala kebutuhan ekonominya. Bukan sebaliknya.
Cukuplah Yunani menjadi contoh bagi bangsa ini untuk bercermin. Sebuah negeri yang agung, dihuni oleh para dewa dan pemikir (filosof) hebat pada zamannya, kini ia bangkrut karena ulah elitnya yang korup, melakukan penyalahgunaan kewenangan (abus de droit) dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) hingga akhirnya rakyat menderita. Rakyat selalu menjadi korban perilaku elitnya.
Selain perilaku korup oknum kepala daerah, kondisi negeri kita juga diperburuk oleh perilaku penegakan hukum yang tebang pilih. Hukum yang dijalankan tajam ke bawah tumpul ke bawah. Rakyat kecil, di sini, selalu menjadi objek penderita. Kondisi demikian sangat memengaruhi persepsi publik terhadap aparat penegak hukum.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi, mengatakan persepsi buruk dari masyarakat terhadap aparat penegak hukum meningkat usai adanya kasus Sambo yang terjadi pada 8 Juli lalu. Hasil surveinya menunjukkan persepsi publik terhadap aparat penegak hukium pada awal Juli atau sebelum ada kasus Sambo yakni 25,8 persen. Sementara itu, pada Agustus persepsi buruk itu meningkat menjadi 37,7 persen. Polri menjadi lembaga yang paling banyak tidak dipercaya oleh publik. Sebanyak 26 persen responden kurang percaya Polri dan 13,1 persen tidak percaya sama sekali (CNN Indonesia, 25/8/2022)
Skenario jahat dan busuk Eks Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo dan anak buahnya, dalam insiden pembunuhan ajudannya, Brigadir J, sangat menodai perayaan kemerdekaan ke-77 RI. Ia memberi kado pahit bagi institusinya. Di mana nurani kemanusiaannya? Di mana integritas kepolisiannya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan rakyat? Melihat perilaku bejatnya, rasa-rasanya ia bukan seorang jenderal polisi teladan rakyat. Lebih tepatnya ia adalah musuh bagi institusinya juga musuh bersama bagi rakyat Indonesia.
Kasus lain yang memalukan institusinya adalah Rektor Unila, Karomani, yang diduga menerima suap dengan total Rp7,5 miliar terkait penerimaan mahasiswa baru (Kompas.com. 21/8/2022). Lembaga pendidikan sejatinya jauh dari urusan korupsi, kolusi dan nepotisme. Di sekolah atau kampuslah kita diajarkan oleh guru atau dosen soal etika, norma dan akhlak, selain ilmu pengetahuan.
Tak tanggung-tanggung perilaku tak terpuji Karomani yang jauh dari norma dan agama tersebut dibantu oleh Warek 1 Bidang Akademik, Ketua Senat dan lainnya yang nota bene adalah kumpulan orang yang memiliki pengetahuan (akademisi) dan jabatan tinggi. Sebuah persekongkolan sistematis yang luar biasa bermotifkan libido materi dan kekayaan.
Nalar dan moral mereka terlempar ke titik nadir. Sama sekali tak beradab, jauh dari nilai-nilai pendidikan. Jika oknum rektor dan pejabat kampus lain seperti dosen, kajur, dekan, ketua senat perilakunya demikian, bagaimana nasib aset-aset bangsa, penerus negeri ini di masa mendatang? Bubarlah negeri ini jika lembaga pendidikan diurus oleh manusia-manusia seperti itu. Siapa yang bertanggung jawab? Apa kabar kampus-kampus lain? Adakah perilaku serupa dilakukan oleh rektor-rektor lain?
Potret perilaku tak terpuji dan tak beradab di atas pernah disinggung oleh Mochtar Lubis jauh sebelumnya. Dalam orasi budayanya, Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban, (06/04/1977) Lubis mengatakan: “Mental manusia Indonesia cenderung hipokrisi yang ciri utamanya suka berpura-pura, lain di muka, lain pula di belakang, lain di kata lain pula di hati. Pendeknya manusia Indonesia alah manusia yang hobi berbohong dan menggadaikan keyakinan sebenarnya.”
Bacaan Mochtar Lubis yang sangat keras dan menohok terhadap mental manusia Indonesia di atas seharusnya dibaca oleh manusia Indonesia masa kini sebagai titik balik untuk mengubah citra negatif mental manusia Indonesia menjadi lebih baik. Manusia Indonesia yang mencintai tanah airnya bisa dipastikan setiap perilakunya akan menjunjung tinggi komitmen berbangsa dan bernegara, misalnya dengan mengimplementasikam nilai-nilai nasionalisme serta mengimplemetasikan nilai-nilai antikorupsi dalam kehidupannya sehari-hari di mana pun ia berada, di mana pun ia bekerja.
Mari kita rayakan kemerdekaan ini dengan terus berkomitmen diri untuk tidak melakukan korupsi, tidak menzalimi anak buah, tidak bekerja sama mencari kesempatan dalam kesempitan orang lain. Berikan kado terbaik untuk 77 tahun kemerdekan Republik Indonesia. Jayalah negeri kita!