Mengamati berbagai persoalan yang muncul dan berkembang di lingkungan sosial masyarakat, tak ubahnya dengan mencari jarum didalam tumpukan jerami. Begitu kelit kelindan, sukar ditebak, bahkan kalau tidak sabar bisa saja menjemukan sampai pada taraf jenuh yang akut. Bagaimana tidak ? coba bayangkan saja, realitas sosial yang senantiasa dinamis, tidak memberikan waktu barang sebentar pun bagi pengamat, pengkaji maupun intelektual sosial untuk menelitinya lebih jauh. Hitung-hitung bagian dari sumbangsih kajian keilmuan terhadap nilai-nilai ideal yang harusnya berkembang di masyarakat. Sehingga terma-terma patologi sosial, amoral, dan laku penyimpangan dapat perlahan di minimalisir.
Namun, lebih jauh kedepan, Implikasi dari berkembangnya keadaan seperti ini, mengakibatkan begitu banyak friksi dan perpecahan diantara masyarakat. Terlalu mudah hasutan dan hinaan itu terucap, tak jarang berujung pada konflik horizontal dalam eskalasi yang luas. Akibatnya umum terdengar saat sekarang ini, dikotomi antara minoritas dan mayoritas, pribumi dengan non-pribumi, serta kelompok agama dan mereka yang dilabeli sebagai “kafir”.
Sebab, masihlah umum terjadi dimana masyarakat dihadapkan pada perdebatan yang mengemukakan emosional, krisis nalar, tidak menyentuh substansi dan cenderung common sense. Oleh karenanya, benih kebencian yang telah tertanam dalam worldview antar kelompok tidak pernah dapat disatukan. Hal ini dikarenakan terlalu terfokus pada bahasan yang tidak prinsipil sama sekali. Seperti halnya, menjelekkan sifat given atau sesuatu yang sudah demikian adanya dalam diri seseorang dan tidak bisa diubah, layaknya identitas, intelektualitas, ras, warna kulit, wajah, budaya, agama dsb.
Nahh,, menilik dari peliknya persoalan dalam lingkungan sosial masyarakat, penulis sampai pada hipotesis bahwasanya ada kealfaan perdebatan ideologis dan dialektis dalam masyarakat. Sebelumnya, mesti penulis perjelas dua istilah tesebut agar pemahaman kedepannya menjadi terang. Maksud dari perdebatan ideologis adalah perdebatan yang dilandasi oleh cara berpikir yang sistematis serta mampu mempengaruhi paradigma umum dalam masyarakat atau dapat dikatakan sebagai perdebatan yang sifatnya ilmiah dengan bersandarkan pada ideologi atau alur berpikir tertentu. Sedangkan perdebatan dialektis merupakan kondisi dimana antara kelompok A (tesis) berkonfrontasi dengan kelompok B (anti tesis), yang diakhiri oleh sebuah sintesis (titik tengah antara tesis dan antitesis).
Oleh karenanya, dengan mengemukakan perdebatan ideologis, diharapkan akan menggelorakan gairah untuk kembali mendalami dan menggali sumber bacaan yang ada. Ruang-ruang publik diharapkan akan diisi oleh berbagai bahasan dan diskursus yang mencerahkan demi kebaikan bersama. Sehingga, pada taraf yang luas, tingkat baca masyarakat akan meningkat, sebagai implikasi dari dibangunnya kultur sosial yang senantiasa mengedepankan diskusi, literasi begitupun aksi, aktivitas yang selalu identik dengan kegiatan kepenulisan dan bacaan. Dengan demikian, apabila kondisi tersebut sudah menjadi bagian utuh dari masyarakat, budaya saling hujat dan hina dapat ditekan, untuk kemudian dapat dihilangkan sama sekali.
Bila direfleksikan kebelakang, tepatnya pada era pra dan pasca kemerdekaan, praksis dari perdebatan ideologis mewujud didalam diri pendiri bangsa. Artinya terma ini sebenarnya bukan lah hal yang benar-benar baru, walaupun demikian, masihlah sangat relevan untuk dikemukakan kembali pada kondisi kontempore. Lihat saja polemik antara Ir. Soekarno (nasionalis) dengan M. Natsir (islamis) perihal dasar negara yang terekam dalam panji islam. Tulisan dari Soekarno saling berbalas dengan M. Natsir, sehingga menambah geliat diskursus keilmuan. Begitulah apabila pertentangan dapat disintesiskan, bukan melulu beradu otot atau emosional, namun mengemukakan intelektualitas dan ideologis.
Bahkan ketika Agus Salim dalam suatu forum menanggapi santai ejekan dari Musso. Beliau tidak terlihat emosional, bahkan dengan cerdas, beliau membalikkan ejekkan itu. Ceritanya begini, pada waktu itu, Musso mengejek Agus Salim, dengan menyebut, “saudara-saudara, hewan apakah yang pakai jenggot?”, lalu dijawab serempak oleh hadirin, “kambing”. Sadar ia sebagai sasaran dari ejekkan Musso, Agus Salim pun dengan santai membalikkan keadaan, beliau berujar “kalau yang berjenggot adalah kambing, lantas hewan apakah yang tidak berjenggot ?” “Anjing”, jawab hadirin bersamaan. Namun perdebatan itu, ya, cukup sampai di forum saja, tidak gontok-gontokkan setelah di luar.
Lain halnya dengan cerita Gus Dur seperti yang dikisahkan dalam nu.or.id tentang tamu yang mengaku bernama Husein tersebut kemudian menjawab bahwa dia mencari ayahnya. Tamu tersebut menurut Gus Dur seperti orang Indonesia lainnya, yaitu juga pakai peci. Kemudian Gus Dur yang masih anak-anak, itu memberitahukan kepada ayahnya yang sedang di dalam bahwa beliau dicari Pak Husein.
Begitu mendengar nama Husein, kata Gus Dur, ayahnya langsung bangun dan menemui tamunya sambil berpelukan mesra. Dan selanjutnya memerintahkan Gus Dur yang waktu itu masih berumur sekitar 4-5 tahun agar meminta ibunya menata hidangan.
Baru belakangan setelah Gus Dur berumur 50 tahun lebih, ibunya mengatakan kepadanya, “Kamu tahu siapa itu pak Husain, yang datang pada malam-malam dahulu, itu Tan Malaka”.
Dari pengalaman di atas, menurut Gus Dur, memberikan bekas yang sangat dalam kepada dirinya. Hal itu menambah kuatnya keyakinannya bahwa sudah dari dulu pun nenek moyang kita (bangsa indonesia) sudah demikian saling menghargai.
Gus dur mengajukan alasan, bagaimana tidak saling menghargai. “Banyangkan, Tan Malaka, anggota komintern yang dianggap tidak bertuhan itu datang berpeluk-pelukan dengan seorang kiai. Inilah Indonesia,” ungkap Gus Dur dengan nada serius.
Oleh karenanya, dengan melihat interaksi antara pendiri bangsa dahulunya. Dapat dilihat perdebatan idelogis serta dialektis yang terjalin antar mereka. Walaupun, berada pada ideologi berseberangan dan bertentangan disegala sisi, namun itu bukan alasan untuk saling menjelekkan dan menjatuhkan. Semua melebur dan menyatu tanpa memutuskan hubungan silaturahmi. Sebab, kearifan ilmu dan keteguhan hati yang kuat ditunjang oleh pengetahuan yang luas, mereka mampu menanggalkan segala atribut diri yang cenderung memecah, ego, kepentingan pribadi maupun kelompok ditekan, untuk sepenuhnya mewujud menjadi Manusia.