Ali (1995:77) menyatakan bahwa bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak awal hidupnya melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungan. Hal ini menunjukkan bahasa pertama (B1) merupakan suatu proses awal yang diperoleh anak dalam mengenal bunyi dan lambang yang disebut bahasa.
Peringatan ini pertama kali diprakarsai oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 17 November 1999. Tujuan diperingatinya bahasa ibu internasional adalah untuk melestarikan keragaman bahasa yang berbasis bahasa ibu. Terlebih saat ini, Keragaman dan eksistensi bahasa ibu semakin terancam karena semakin banyak kelompok masyarakat yang mulai meninggalkan bahasa ibu sehingga lambat laut bahasa tersebut terancam punah.
Sebelumnya saya coba mengajak para pembaca untuk mengetahui sepenggal kisah asal mula penetapan hari ibu internasional. Semua bermula ketika Gubernur Jenderal Pakistan kala itu menyatakan deklarasi bahasa Urdu sebagai bahasa resmi Pakistan, tepatnya pada tanggal 21 Maret 1948. Efek dari deklarasi tersebut, banyak warga Pakistan yang tidak menyetujui bahasa Urdu sebagai bahasa resmi, terlebih warga Pakistan Timur yang menggunakan bahasa Bangla sebagai bahasa sehari-hari.
Sebagai bentuk protes, mereka bersama mahasiswa melakukan rangkaian aksi demo untuk menentang dan membatalkan deklarasi sepihak tersebut. Puncaknya pada tanggal 21 Februari 1952, demonstrasi menentang penggunaan bahasa ibu secara sepihak berubah menjadi kekacauan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Tidak sampai disitu, demonstrasi yang dilakukan oleh pengusung bahasa Bangla (Pakistan Timur) dan pendukung bahasa Urdu terus terjadi secara intens selama bertahun-tahun hingga pada akhirnya pada tahun 1971, demonstran dari Pakistan Timur memilih untuk tetap keukeuh menolak menggunakan bahasa Urdu dan akhirnya mendirikan Negara yang kemudian diberi nama Bangladesh.
Seiring berjalannya waktu, seorang kerabat korban konflik, menggagas diadakannya Hari Bahasa Ibu Internasional agar bahasa di wilayahnya dan wilayah lain seluruh dunia tidak menjadi sumber konflik, perpecahan, dan akhirnya mengalami kepunahan. Cara yang dilakukan adalah dengan mengusulkan deklarasi Hari Bahasa Ibu Internasional pada tanggal 21 Februari dengan mengacu pada peristiwa 21 Februari 1952.
Usulan tersebut akhirnya pada akhirnya disetujui oleh 188 negara dan sejak saat itu tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Jika kita melihat konteks Indonesia, Negara ini sangat kaya akan bahasa ibu (umumnya bahasa daerah) yang dimiliki dan digunakan pada masing-masing wilayah.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayan mencatat terdapat 652 bahasa dari 2.452 daerah pengamatan. Selain itu, jika didata berdasarkan akumulasi persebaran bahasa daerah per provinsi maka bahasa di Indonesia berjumlah 733 bahasa. Namun ternyata, dari keseluruhan bahasa tersebut tidak semuanya berstatus aman atau rutin digunakan oleh masyarakat setempat.
Data badan bahasa pada tahun 2016 mencatat setidaknya terdapat 11 bahasa yang telah punah, 17 bahasa terancam punah, 4 bahasa berstatus sangat terancam, dan 2 bahasa yang mengalami kemunduran. Fakta tersebut tentu saja mengkhawatirkan bagi keberlangsungan dan keragaman bahasa ibu yang ada di Indonesia.
Fenomena kemunduran yang terjadi pada umumnya disebabkan karena dua faktor. Faktor yang paling dominan umumnya berkaitan dengan pengaruh urbanisasi dan faktor globalisasi yang sering dialami oleh pengguna bahasa ibu yang notabene masyarakat pedesaan. Hijrah dari desa ke kota tentu saja membawa konsekuensi tambahan dimana harus menyesuaikan penggunaan bahasa dengan bahasa perkotaan.
Kondisi ini didasari bahwa bahasa ibu dianggap kurang menarik dan menguntungkan bila digunakan pada wilayah perkotaan. Semakin massive-nya proses urbanisasi masyarakat pedesaan, tentu saja semakin memperbesar peluang luntur bahkan hilangnya bahasa ibu. Faktor globalisasi dirasa juga turut serta terkait terancamnya penggunaan bahasa ibu.
Arus informasi yang semakin gencar ditambah dengan minimnya filtrasi oleh pihak berwenang membuat masyarakat merasa bahwa informasi yang mereka terima adalah yang paling benar untuk dicontoh dan diterapkan. Termasuk dalam hal ini adalah penyebaran bahasa gaul maupun bahasa alay yang sudah menjangkit hampir diseluruh wilayah Indonesia. Lambat laun berbagai bahasa zaman now akhirnya menggeser tempat bahasa ibu yang sudah diajarkan turun temurun.
Jika terus menerus dibiarkan, tentu saja kondisi tidak hanya mengancam bahasa ibu yang hampir punah, namun juga turut mengancam bahasa ibu yang sampai saat ini masih digunakan. Harus ada upaya nyata dari para pemangku kebijakan agar bahasa ibu tetap digunakan dan mampu dijadikan sebagai salah satu simbol keberagaman masyarakat Indonesia.
Pendidikan berbasis local wisdom dengan tujuan melestarikan bahasa ibu menjadi hal wajib yang harus tetap dilaksanakan. Pendidikan tingkat SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi dirasa wajib menempatkan pendidikan bahasa ibu sebagai salah satu kurikulum dasar yang diterapkan. Dengan penerapan pendidikan sejak dini hingga tingkat pendidikan tinggi diharapkan akan menanamkan sikap bangga terhadap bahasa dan kultur yang mereka miliki. Selain itu, secara tidak langsung akan membentuk pola berpikir positif penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai festival seni dan kebudayaan juga sudah selayaknya dijadikan sebagai agenda rutin pada tiap daerah dalam rangka mengenalkan dan melestarikan bahasa ibu kepada masyarakat lokal maupun luar daerah. Disamping cara-cara formal dan konvensional tersebut, harus ada upaya anti-mainstream untuk melestarikan bahasa ibu pada tiap daerah. Perkembangan teknologi dapat kita manfaatkan guna melestarikan bahasa ibu, khususnya kepada anak muda.
Membangun dan mengelola akun media sosial yang berisikan konten budaya dan bahasa daerah dirasa menjadi langkah yang tepat guna mengenalkan, merawat, dan menyebarluaskan bahasa ibu pada tiap daerah. Upaya-upaya tersebut yang sepatutnya menjadi perhatian bersama, tujuannya agar kekayaan dan keragaman nilai budaya yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap terjaga kelestarian dan keutuhannya.