“Saya tidak setuju dengan pendapat Anda, namun saya akan membela sampai mati hak Anda untuk mengatakan hal itu” – Evelyn Beatrice Hall
Menyelenggarakan demokrasi artinya meluruskan niat untuk menjunjung hak orang lain dalam berpendapat. Dan menerima suatu pendapat atau pandangan yang berbeda di muka umum membutuhkan akal sehat.
Sebab, hanya dengan mengaktifkan akal sehat potensi tiba pada demokrasi yang subtansial akan terwujud. Namun, hari-hari ini ikhtiar untuk merawat demokrasi telah tergelicir ke dalam permainan “kriminalisasi politik” hasrat. Di mana percakapan di ruang publik yang berbasis kekuatan rasional selalu dibatalkan oleh argumen nir-nalar–akibatnya, bahasa percakapan, opini, dan diskursus di ruang publik selalu diawasi oleh mereka yang gemar membungkam pikiran dengan dalih doktrin agama.
Di sinilah terjadi praktik pendangkalan nalar, di mana narasi kebenaran dikendalikan oleh mereka yang mengkalim penjaga kebenaran–yang selalu meminjam tangan aparatur negera. Maka hasilnya, demokrasi tanpa empirisme rasional sama dengan memburuk.
Oleh karena keadaan itu, sungguh sangat ganjil jikalau harapan berubah menjadi ketakutan, hanya karena kita mempunyai pandangan yang berbeda–argumen yang berbasis logika, bukan dalil agama. Tentu kita akan hidup dalam suasana penuh kecemasan–yang dibuntuti oleh rasa ketakutan.
Karena alam demokrasi kita sekarang ini berubah: from republic of hope be republic of fear. Di mana dalam melebarkan percakapan diskusi di ruang publik telah dipasang rambu-rambu pikiran–disclaimer right. Hal semacam itulah yang mengancam kebebasan dan kemerdekaan orang berpendapat; argumen dianulir oleh kebenaran sepihak–oleh para penuntut kebenaran. Itulah penyakit endemik demokrasi kita.
Sebagaimana kasus yang menimpa seorang akademis, Rocky Gerung, bahkan ia adalah orang yang kesekian yang diperkosa hak kebebasannya dalam menyampaikan pendapat di ruang publik. Hanya karena ia memberikan satu argumen yang dinilainya melanggar rambu-rambu pikiran–yang tidak satu garis lurus dengan doktrin agama. Padahal, apa yang diajukan oleh Rocky Gerung berpotensi menjadi diskursus di ruang publik dalam pengertian yang positif.
Dulu, tahun 1943, penyair Chairil Anwar, membuat geger masyarakat lewat sajaknya yang berjudul “Aku-(Semangat)”. Tentu frasa aku ini binatang jalang masih membekas di kepala kita, bahkan hingga seratus tahun ke depan. Sebab, sajak “Aku” bagaikan dentuman maha dasyat yang mengoyak alam kesusastraan kita yang masih muda usianya.
Sajak “Aku” seakan-akan diajukan Chairil Anwar untuk menginterupsi hegemoni kebudayaan, sekaligus menguji kedewasaan nalar para sastrawan. Dalam suatu perdebatan, Rosihan Anwar memberi komentar buruk pada Chairil Anwar, kurang lebih ia mengatakan,
“…Binatang jalang? Apa saudara ini jago-jagoan begitu. Saudara bisa celaka sendiri, sauadra bisa mati digebukin orang. Aku ini binatang jalang! Binatang jalang? Ah, itu pernyataan yang memalukan! Tak ada orang yang mau menulis sajak seperti itu.”
Namun, Chairil Anwar lewat sajak “Aku” berhasil memberikan satu pikiran baru yang disodorkan ke khalayak untuk dipertengkaran secara rasional, bukan dengan emosional. Dalam pembelaannya kurang lebih Chairil Anwar menjawab, “Apa itu salah? saya ini bagian dari masyarakat saya. Maka, ketika saya bicara tentang diri saya sendiri, di dalam sajak saya, maka itu artinya saya sedang bicara tentang perasaan dan pikiran masyarakat saya.”
Argumen yang diajukan Chairil Anwar itu, kita dapat melihat kalimat yang cemerlang. Itulah tradisi intelektual: pertengkaran rasional yang berbasis kekuatan akal (logika). Namun, kini seakan-akan sudah tidak lagi membekas dalam budaya kita. Di ganti dengan pertengkaran emosional–akibatnya, sentimen melampaui rasional: demagogi. Pada satu potong kata itu; caci maki, amarah, dan dendam tumbuh di dalamnya.
Hal semacam itu membuat kita tidak dapat lagi melihat keindahan pikiran. Padahal, bangsa ini didirikan dengan peradaban “pertengkaran” yang intelektual oleh para founding fathers. Budaya intelektual semacam itu yang seharusnya kita rawat supaya tumbuh lebat sebagai tempat berteduhnya segala rupa-rupa pandangan yang menghiasi di ruang publik.
Hanya dengan cara seperti itu kita dapat memaknai demokrasi: menikmati hal yang tak sewarna, memilah warna yang tak serupa, mengajukan pendapat yang tak sama. Pada perbedaan itu justru memungkinkan kita untuk dapat melebarkan percakapan: mengkritik, menolak, dan menginterupsi argonsi.
Wiliam Ebenstein pernah mengingatkan, bahwa untuk merawat demokrasi, maka rawatlah psikologi demokrasinya. Setidaknya ada satu poin yang patut kita renungkan, sebagaimana yang saya katakan di awal, demokrasi tanpa empirisme rasional sama dengan memburuk. Empirisme rasional dibutuhkan untuk menganulir arogansi dan fanatisme (pendangkanlan nalar). Karena konsep empirisme rasional merujuk pada suatu keyakinan–akal sehat (akal budi)–nalar manusia untuk dijadikan pangkal jalannya demokrasi ke arah kualitatif, bukan sebaliknya.
Karena hanya dengan mengaktifkan akal sehat manusia dapat berpikir lurus, jernih, dan cemerlang. Ringkasnya, manusia tidak akan berbuat semena-mena dalam meyakini suatu kebenaran, terlepas dari mana pun kebenaran itu berasal. Dengan demikian, tanpa mengakifkan akal sehat–empirisme rasional, mereka alpa di hal pengetahuan (empirisme). Sebaliknya mereka akan selalu berpegang teguh, bahwa kebenaran yang mereka yakini adalah kebenaran mutlak dan final tanpa melalui perdebatan yang intelektual.
Tentu pandangan seperti itu adalah dogmatisme–anti nalar. Jika para pengadil jalanan sudah merasa menjadi orang yang paling mengetahui hakikat kebenaran, mereka dengan mudah akan memaksa orang lain untuk dipermasalahkan hanya karena mempunyai pandangan yang berbeda. Baik dengan cara demagogi, maupun dengan merongrong aparatur penegak hukum. Pada praktik itulah demokrasi tergelincir tenggelam dan hilang makna demokratisme-nya. Pendeknya, demokratisasi tanpa empirisme rasional sama dengan fiktif.