Senin, Oktober 7, 2024

Merambah Jalan Demokrasi

Ryan Ryanardiansyah
Ryan Ryanardiansyah
Penulis Lepas

Iklim budaya di Indonesia menjadi cuaca yang sangat ekstream, kita tidak pernah menyangkal bahwa kita sedang mengalami kebinggungan besar bagaimana memutar kipas demokrasi ini. Seperti yang kita ketahui bahwa era Reformasi sebagai tanda sebuah kurun sejarah baru yang memberikan angin segar, dikarenakan merupakan pergantian tampuk kekuasaan yang lebih demokrasi ketimbang zaman Orde Baru yang menjadikan peran negara menjadi sentral dibawah kekuasaan Soeharto.

Begitu pula sama di zaman sebelumnya Orde Lama menjadikan semua pemerintah terpusat di diri Soekarno. Hal ini tercermin dalam sikap Soekarno yang menyingkirkan lawan-lawan politiknya dengan membubarkan Konsitute, PSI,  dan Masyumi. Berbeda dengan Orde Lama, tampuk kekuasaan Orde Baru merubah habbit bangsa Indonesia yang corak egaliter, dan demokratik digantikan sistem corak feodalistik yang berupaya menyatukan komando antra negara dan militer serta penyingkiran politik massa.

Lantas apakah Reformasi menjadi sebuah perubahan yang memberikan angin segar pada sistem bernegara? Nampaknya kita lihat bahwa demokrasi hanya terlembagakan di dalam sebuah lembaga ketimbang mengacu pada tata nilai demokrasi.

Bagaimana Demokrasi menjadi Bisu?

Adanya keterbukaan infomasi tidak bisa kita pungkuri ini menandakan bahwa perkembangan teknologi sudah tumbuh begitu pesat. Dengan adanya keterbukaan infomasi juga bagian adanya sebuah hubungan antara manusia dan dunia secara terbuka. Hakikat manusia tidak bisa dihandiri karena perannya sebagai penentu dan penganti dalam gerak sejarah, akan tetapi semua ini tergantung dalam manusia itu sendiri bagaiamana menangkap kecenderungan zaman dan mengintegrasi dirinya.

Kita hidup dalam sebuah dunia yang dipenuhi rasa ketimpangan dan kesenjangan. Negara-negara maju , warga hidup lebih sehat, harapan-harapan lebih panjang, dan pendidikan lebih bermutu. Sedangakan negara-negara berkembang sebaliknya. Jangankan lingkup negara batas antara desa dan kota ada hal ketimpangan dan kesenjangan. Singkatnya ini adalah tentang teori ketidakadilan dunia.

Masa transisi Reformasi cukup amat lama, akan tetapi berbagai paradox sering kali membuat kita mengeja ulang dan bertanya secara kritis tentang apakah transisi ini bisa kita lalu atau sebaliknya kita gagal sehingga muncul sistem otoritarian dan militeristik? Tapi disatu sisi juga muncul elite kecil sebagai pendatang baru yang menjadi social control, yaitu para oligariki

Pada masa transisi pasti melibatkan perubahan, namun disetiap perubahan tidak memunculkan sebuah transisi. Kehendak manusia tidak hanya dituntut untuk berintegrasi dengan realitas. Namun ini memunculkan sebuah pertanyaan yang ada yaitu Apakah pada masa transisi reformasi ini kita sudah melakukan integrasi dengan realitas yang ada?. Semua hal ini tercermin dalam sikap masyarakat kita dengan tidak adanya dialog antara massa dan elit..

Di dalam kondisi pandemic-19 yang merupakan bagian kecil dari masa transisi memberikan kebinggungan sejarah umat manusia, hampir seluruh kegiatan politik diungsikan dari dunia nyata ke dunia maya. Seperti yang kita ketahui kehidupaan politik sangat bertopang pada kekuataan mobilisasi rakyat. Akan tetapi Pandemi-19 menjungkirbalikan dunia politik kita.,

Baik elite besar atau elite kecil dengan masa tidak lagi terintegrasi dengan realitas hari ini, kaum elit makin “melayang” diatas dan masyarakat semakin “tenggelam”.  Hal ini berkaitan dengan hegemoni kekuasaan yang dilakukan oleh sejumlah elite, dan disertai persetujaan melalui pemimpin dan ideologis.

Biasanya terjadi dalam bingkai media bagaimana slogan-slogan dan isu propaganda membius hati masyarakat sehingga dapat diterima di hati mereka, sehingga melahirkan kebeneran yang bias. Seperti apa yang dikatakan oleh Gramsci “hegemoni menciptakan cara hidup yang konsumtif, di mana ideologi bekerja menggangu pandangan dunia seseorang”. Dalam hal ini medan perang pikiran menjadi hal fundamental yang harus di menangkan untuk mengembalikan masyarakat  yang terbuka.

Dalam kondisi yang cuaca ekstream akibat pandemic-19 membuat kondisi demokrasi kita menjadi bisu, dikarenakan adanya variable tentang bagaiamana turunnya angka politik hak sebagai hal mendasar. Dalam artian bahwa segala Hak Asasi Manusia dikurung dalam sikap anti-demokrasi dengan dalih sikap darurat, hal ini tercermin bagaimana peretasaan data pribadi, dan pembatasaan kebebasan berpendapat. Dengan kata lain apakah sikap anti-demokrasi menjaga keberlangsungan dari demokrasi itu sendiri?.

Pada dasarnya kepala pemerintah juga memiliki wewenang untuk melakukan apapun untuk menyelamatkan negaranya. Dan masyarakat pun mempunyai dan hak wewenang atas kebutuhan dirinya dalam kondisi darurat. Lantas adakah tawaran yang menggiurkan dalam cuaca pandemic-19 yang menggerogoti kehidupan demokrasi kita. Sudah banyak kebijakan dan permintaan terkait untuk mengadapai covid-19 mulai dari mengedepankan soal kesehatan (Vaksin), kemudian ekonomi (Bansos).

Tanpa sadar ini membentuk imajinasi yang sesaat sehingga masyarakat tidak mengkritis realitas yang ada dan mengggap bahwa satu-satunya jalan bahwa adaptasi merupakan alternative akan tetapi sebaliknya merupakan suatu usaha yang sangat rapuh kedepannya, andai keseimbangan antara kesehatan badan dan akal terjaga, kita akan dapat melalui hal yang sama jika di kemudian hari ada sebuah situasi yang serupa dengan Pandemi-19.

Keberlangsungan demokrasi bukan hanya terletak pada lembaga-lembaga pemerintah akan tetapi yang menjadi fundamenatal adalah sikap “Masyarakat Terbuka” hingga melahirkan dialog yang menghasilkan demokrasi yang sehat. Seperti yang kita ketahui dalam sejarah demokrasi bisa menjadi mati oleh di tanggan jendral, seperti yang terjadi di Myanmar beberapa bulan silam-tapi ada yang tidak kalah epiknya bagaimana demokrasi bisa bisu atas pemilihan pemimpin.

Perlu digaris bawahi yang menjadi keberlangsungan kedepannya adalah masyarakat itu sendiri. Karena pada prinsipnya demokrasi “dari rakyat untuk rakyat”. Akan tetapi terkadang terjadi penyelengwengan kekuasaan sehingga terjadi pejabat korup atau kebijakan yang tidak sejalan dengan rakyat.

Sebelum pandemic-19 menyerang tingkat kesadaran kita dalam keterlibatan demokrasi agak kurang dalam, hal ini disebabkan pada masa transisi ini yang akan menjadi penentu arah perkembangan kurun-kurun sejarah adalah pendidikan demokrasi tidak diasah setajam mungkin sehingga tidak menimbulkan sebuah integrasi dengan realitas.

Ryan Ryanardiansyah
Ryan Ryanardiansyah
Penulis Lepas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.