Kembali, selama hampir satu pekan induk organisasi Negara-negara di dunia menghelat pelaksanaan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke 71, september tahun lalu (2016) . Topik dan isu yang diangkat dalam pembicaran tak beranjak dari isu seputar perubahan iklim, perdamaian dan keamanan, hingga pembangunan. Dengan dihadiri oleh lebih dari 140 pemimpin dan perwakilan Negara. Sidang Majelis Umum PBB kali ini megangkat tema “Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan: Dorongan Universal Untuk Mengubah Dunia Kita.”
Secara tersirat maksud dari tema diatas dapatlah dimaknai sebagai spirit baru dalam mengentaskan berbagai persoalan kemanusiaan (humaniter) yang terjadi dalam konteks internasional. Penulis mengamini isu yang diangkat dalam sidang PBB kali ini. Sebab dalam beberapa dekade terakhir perang saudara (civil war), masalah pengungsi dan migran, serta isu lingkungan menjadi prioritas utama untuk segera dicarikan resolusi kongkret. Berangkat dari semua isu yang ada, dapat dikatakan ranah yang kini membutuhkan perhatian lebih dari dunia Internasional adalah perihal Kemanusiaan dan Perdamaian.
Distrust terhadap Organisasi Internasional
Kengerian demi kengerian yang ditampilkan citra digital membuat hati siapapun bergidik. Banyak juga yang mengumpat. Tapi selaku individu, kita tidaklah memiliki peranan strategis sebagai aktor Internasional.
Memang didalam kajian Ilmu Hubungan Internasional, Individu memiliki peranan sangat sedikit bahkan hampir tidak ada. Apabila beranjak dari perspektif realis, individu sama sekali tidak mendapatkan ruang. Sebab, Negara (state-centric) adalah satu-satunya aktor rasional dalam HI, menurut perspektif ini.Berbeda halnya dengan realis, perspektif liberalis masih membuka kesempatan bagi individu untuk bersuara. Dilandasi atas bentuk politik dan pemerintahan yang demokratis, aspirasi rakyat perihal dinamika internasional dapat ditampung. Meskipun pada akhirnya, Negara atau aktor refresentasi Negaralah yang akan membuat keputusan (decision) untuk kemudian menjadi Kebijakan Luar Negeri (foreign policy) menyangkut persoalan internasional.
Apalagi ditengah asa akan Organisasi Internasional semisal PBB yang mulai kehilangan trust dari masyarakat Internasional. Sejalan dengan pernyataan John Mearsheimer (1994), kondisi organisasi internasional jauh dari cita-cita: bagi Mearsheimer, organisasi internasional tidak lebih dari sebuah situs kreasi negara-negara adidaya di dunia dan berperan sebagai kepanjangan tangan kepentingan negara itu. Dengan demikian, organisasi internasional adalah refleksi kuasa status quo. Arah pergerakan kebijakan organisasi internasional akan paralel dengan kebijakan negara adidaya.
Bukan bermaksud apriori dengan berbagai tindakan PBB dan Organisasi Internasional lainnya. Dari fakta-fakta berikut dapat disimpulkan sejauh mana pola relasi saling mempengaruhi Negara Adidaya dengan kebijakan yang diambil oleh organisasi Internasional.
Secara terang, adanya Hak Veto bagi lima Negara anggota PBB tidak bisa tidak dikatakan sebagai bentuk hegemoni nyata Negara adidaya. Bayangkan saja, resolusi yang akan disepakati, dapat tiba-tiba dibatalkan, apabila satu saja dari lima Negara pemilik veto menyatakan ketidaksetujuan.
Seruan ini yang disampaikan wakil Presiden Jusuf Kalla sewaktu berpidato pada sidang umum PBB lalu (23/9). Sebelumnya Presiden Jokowi juga pernah menyerukan hal serupa mendorong agar dilakukannya reformasi PBB pada pidato pembukaan Konferensi Asia-Afrika.
Bahkan paling anyar, kecaman keras presiden Filipina, Rodrigo Duterte kepada PBB yang menyebut aksinya membunuh hampir 1500 tersangka narkoba-semenjak berkuasa juni lalu- adalah pelanggaran HAM dan Hukum Internasional. Ia sampai-sampai menantang untuk keluar dari keanggotaan PBB dan akan membentuk organisasi internasional tandingan. “Saya akan undang semua negara. Saya mungkin akan undang China dan negara-negara Afrika,” tambah dia. Alasannya tak lain, standar ganda PBB dalam bersikap. Menurutnya serangkaian penembakan yang dilakukan polisi AS, namun sama sekali tak menuai kritik apa pun dari PBB.
Belum lagi, keputusan setengah hati PBB untuk menyelidiki pelanggaran HAM dalam konteks operasi militer Israel ke Paestina sejak 13 juni 2014 yang menewaskan 1938 warga Palestina dan 67 warga Israel. Namun, langkah ini ditolak Israel secara sepihak dengan menyebut penyelidikan itu sebagai “pengadilan kangguru. Segera setelahnya kita tidak mengetahui bagaimana kelanjutan penyelidikan. PBB terlihat manut dan di dikte untuk mengikuti kepentingan Israel.
Membangun Simpul Masyarakat Sipil
Untuk itulah simpul-simpul masyarakat sipil global (Global Civil Society) perlu untuk diperkuat sebagai alternatif, melalui kehadiran NGO dan INGO (Internasional Non-Govermental Organitation) yang berkutat pada dua persoalan tadi. Gerakan masyarakat sipil lumrah bersifat independen, tidak terikat pada satu entitas Negara ataupun korporasi bisnis, sehingga advokasi yang dilakukan relatif bebas dari kepentingan apapun. Apalagi dengan penganggaran yang tidak bersumber dari Negara, membuat tindakan yang diambil INGO menjadi fleksibel.
Gerakan KONY 2012 yang digalang oleh NGO “Invisible Children” adalah contoh nyata gerakan masyarakat sipil Gobal. Mereka mencoba membuka pandangan dunia atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Joseph Kony di Uganda, yang telah menculik ribuan anak-anak untuk bergabung menjadi pejuang pemberontakan.
Film dokumenter berjudul sama dengan nama NGO yang memperjuangkan penangkapan Joseph Kony, Invisible Children, menginjeksi ruang publik dengan visualisasi nyata tentang apa yang terjadi di Uganda. Jason Russell selaku pembuat video, mengimbau penonton untuk membeli stiker, brosur dan gelang tangan, barang-barang dengan tajuk aksi ‘Kony 2012’. Dengan cara ini pemimpin pemberontak Uganda itu dikenal dan pada akhirnya dapat ditangkap. Bahwa terlalu banyak orang di muka bumi ini yang tidak tahu latar belakang masalahnya, itu harus diubah.
Diurai lebih jeli lagi, aksi Invisible Children menyadur pemikiran Jurgen Habermas untuk merebut ruang publik (public sphere) melalui komunikasi massa (mass communication). Yang mengarahkan manusia untuk mencapai konsensus bersama dalam memecahkan suatu masalah atau untuk merumuskan masa depan.
Para Martir
Dilain pihak, siapa yang tidak merinding dan bergetar hatinya melihat perjuangan Rachel Corrie untuk rakyat Palestina, meskipun nyawa menjadi taruhannya. Corrie yang meninggal dilindas Buldozer Israel tahun 2003, bukanlah seorang muslim. Namun hatinya tergetar untuk ikut serta dalam solidaritas kemanusiaan Palestina. Sebagai mahasiswa, ia sampai cuti kuliah untuk memuluskan aksi kemanusiaanya, dengan bergabung dalam oganisasi non pemerintah, international Solidarity Movement (ISM).
Segera setelah peristiwa heroik dan tragis, sosok Corrie menjadi martir perjuangan rakyat Palestina. Simbol dari dunia yang tak mengenal perbedaan. Semua satu untuk kemanusiaan dan perdamaian. Oleh karenanya, sebagai individu kita memang tidak mendapatkan proporsi yang besar untuk bersuara di forum internasional. Namun juga bukan berarti hanya berpangku tangan kepada PBB, UE, NATO, APEC dan sebagainya, semua masyarakat internasional yang telah tersadarkan mesti membuat simpul untuk melawan kesewenang-wenangan.
Begitu pula cerita pilu Iqbal Masih, nama yang belum banyak dikenal. Ia tidak akan dikenang dalam sejarah apabila dia tidak melakukan perjuangan sama sekali. Namun siapa sangka, sosok Iqbal Masih yang masih seusia anak-anak mampu menjadi simbol perjuangan rakyat Pakistan dan Dunia untuk melawan eksploitasi terhadap anak-anak. Awal dari gerakan Iqbal adalah saat dirinya aktif bersuara melalui corong Front Pembebasan Buruh Budak Pakistan. Sama halnya dengan Rachel Corrie, Iqbal Masih tidaklah berumur panjang. Tepat tahun 1995, sekembalinya ke Pakistan, Iqbal Masih meninggal dunia, akibat diterjang peluru.
Sejatinya mereka berdua adalah martir bagi negara dan simbol kekuatan individu -yang terlibat dalam gerakan masyarakat sipil internasional- dalam merubah paradigma masyarakat Internasional agar segera bergerak dan bertindak atas persoalan kemanusiaan dan perdamaian yang tak pernah kunjung tercapai.