Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 menjadi momen penting yang diingat oleh bangsa Indonesia. Peristiwa serangan serentak secara besar-besaran terhadap pasukan Belanda di wilayah Yogyakarta tersebut berhasil memperkuat Indonesia dalam perundingan di Dewan Keamanan PBB serta membuktikan bahwa kekuatan militer Indonesia masih ada dan tidak melemah seperti yang Belanda pikirkan.
Jika membahas tentang keberhasilan peristiwa tersebut, maka jangan lupakan Soeharto, sosok dalam sejarah yang digembor-gemborkan sebagai penggagas dalam peristiwa itu. Namun, apakah benar hanya Soeharto yang berperan penting dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949? Bagaimana peran pelaku sejarah lainnya seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX?
Faktanya, sejarah memang tak pernah lepas dari konstruksi dari fakta masa lalu. Dengan kata lain, Serangan Umum 1 Maret 1949 memang terjadi dan bukan rekayasa. Tak bisa dielak juga bahwa Soeharto memiliki peran sebagai pemimpin dan telah berkontribusi besar dalam peristiwa tersebut. Strategi yang dipimpin Soeharto pun mendapatkan pujian dari sejarawan dan dokumen militer Belanda. Namun, adanya konstruksi yang dibuat pada peristiwa tersebut juga menjadi polemik tersendiri antar sejarawan dan peminatnya ataupun pengidola dan pencela Soeharto.
Mengapa polemik tersebut bisa terjadi? Pasalnya, ketika Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia dalam kata lain pada masa Orde Baru, Soeharto tergoda untuk melebih-lebihkan perannya dan memilih abai pada peran pelaku sejarah lain dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Soeharto juga menganggap dirinya sebagai penggagas serangan tersebut melalui film dan juga buku-buku sejarah.
Melalui film Janur Kuning (1951) dan juga Serangan Fajar (1981), Soeharto berusaha meyakinkan rakyat bahwa dirinya adalah sosok pemberani yang memiliki peran besar dalam menyelematkan negeri ini bahkan melebihi Jendral Soedirman maupun Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Ironinya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang lebih memantau politik luar negeri melalui radio saat itu menjadi dipinggirkan. Sejarawan Asvi Warman Adam (merdeka.com) bahkan meyakini penggagas sesungguhnya dari Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Selain itu, Serangan Umum 1 Maret 1949 dilakukan setelah Letnan Kolonel Soeharto telah mendapatkan persetujuan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan kata lain, Sri Sultan Hamengku Buwono sebenarnya memiliki peran penting dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
Pos Komando serangan tersebut ditempatkan di Desa Muto. Serangan dilakukan sekitar kurang-lebih pukul 06.00 pagi. Dalam serangan ini, Soeharto memimpin pasukan dari sektor barat hingga Malioboro, sektor selatan dan timur Mayor Sardjono, dan sektor utara dipimpin Mayor Kusno. Sektor kota sendiri dipimpin oleh Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki. Serangan tersebut berakhir pukul 12.00 siang ditandai dengan pasukan TNI yang mengundurkan diri sesuai dengan strategi semula. Walaupun serangan terbilang berhasil, banyak juga korban yang berjatuhan pada peristiwa tersebut. Berdasarkan sejarah, tercatat sebanyak 300 prajurit TNI tewas, 53 anggota polisi tewas, dan sisanya merupakan rakyat yang tewas menjadi korban (Kronologi Serangan Umum 1 Maret 1949).
Tak hanya melakukan propaganda dalam peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Serangan Umum 1 Maret 1949 melalui film dan buku, Soeharto juga menyangkal fakta bahwa Ia bertemu dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebelum serangan tersebut dilakukan.
Padahal, Marsoedi sebagai anak buah Soeharto membeberkan telah terjadinya pertemuan tersebut. Marsoedi pun mengaku Ia yang telah mengantar Soeharto menemui Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Keraton Yogyakarta.
Penyangkalan Soeharto tersebut membuat kita berpikir jika Sri Sultan Hamengku Buwono IX lah yang menjadi penggagas ide Serangan Umum 1 Maret 1949 sebenarnya. Bahkan di dalam film Janur Kuning, pertemuan dengan Sultan digambarkan terjadi setelah serangan tersebut dilakukan.
Dari semua konstruksi dan propaganda peran yang dilakukan Soeharto, maka akan timbul pertanyaan, mengapa Soeharto melakukan hal tersebut?
Pertama, Soeharto ingin seolah-olah menebus kesalahannya saat Belanda melakukan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, karena saat itu Yogyakarta dapat direbut dengan mudah oleh Belanda.
Kedua, untuk memperkuat legitimasi. Untuk mendapatkan kekuasaan dan legitimasi, seringkali seseorang berusaha meracik sejarah. Menguasai tafsir sejarah dengan melakukan konstruksi sejarah adalah salah satu cara yang dilakukan, baik dengan cara manipulasi ataupun kebohongan.
Polemik akan eksistensi Soeharto dan Serangan Umum 1 Maret 1949 sampai saat ini pun belum menemukan kebenaran yang pasti. Persoalan terkait penggagas masih saja menjadi hal yang diperdebatkan. Padahal, jika membahas terkait keberperanan, maka baik Soeharto, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Jenderal Soedirman, dan pelaku sejarah lainnya sama-sama memiliki peran dan telah berkontribusi banyak dalam menjaga eksistensi Indonesia di mata dunia.
Yang perlu kita lakukan adalah dengan tidak terlalu menonjolkan satu pihak dalam sebuah peristiwa. Pemerintahan saat ini juga perlu untuk berhenti menjadikan sejarah sebagai alat propaganda untuk melayani kekuasaan dan secara tidak langsung melupakan makna sejarah sebagai pengungkap kebenaran.
Pemerintah serta masyarakat perlu untuk berkomitmen dalam meluruskan sejarah dan berhenti mengupayakan kebohongan yang dilestarikan. Hal tersebut akan membantu kita dalam menghentikan konstruksi sejarah yang dibuat penguasa di masa lalu dan menjaga kebenaran untuk generasi mendatang.