Kedua mata saya pejamkan, bersamaan dengan tangan sebelah kanan yang mengarah ke salah satu lukisan, tepat berada sepuluh sentimeter di depan batang hidung. Sedangkan tangan sebelah kiri memegang secarik kertas, berisi petunjuk (cara baca) aksara Braille. Tanpa ragu, tiap titik pin yang ditusuk-susunkan pada reglet ─ tampaknya sengaja ditempelkan pada bagian lukisan untuk maksud tertentu ─ pun saya raba perlahan. Hingga benar-benar yakin, bisa membacanya tanpa membuka mata lagi untuk melihat petunjuk. Di sana tertulis sebuah kalimat “Jadilah Mandiri Jangan Mau Dikasihani”.
Adanya upaya penggunaan aksara Braille pada pameran Seni Raba Menggambar Suara yang berlangsung 15 Juni–15 Juli 2022 di IVAA (Indonesian Visual Art Archive) membuat saya penasaran lebih lanjut. Pameran seni rupa yang dikuratori oleh Prof. Dr. M. Dwi Marianto ini menghadirkan karya-karya Muhamad Haryanto atau lebih akrab disapa dengan panggilan Nanang. Dirinya merupakan seorang seniman lukis disabilitas netra yang berasal dari Karang Waru, Yogyakarta. Selain itu, juga ada beberapa karya seperti lukisan dan wayang milik anggota Wayang Limbah Ki Samijdan, turut mendampingi pamerannya tersebut.
Melihat lukisan Nanang, mengingatkan saya dengan percakapan sederhana, ketika malam lebaran Idhul Adha di Crack! Studio, Yogyakarta. Sambil nyate-nyate dan ngemil panganan yang tersedia, saya memberanikan diri untuk bertanya serius tapi tetap santai kepada beberapa teman di sana. Namun semuanya tiba-tiba hening, seperti sedang mempersiapkan jawaban yang mudah dipahami untuk orang seperti saya. Maklumlah, sampai saat ini pun, ketika menghadiri sebuah pameran seni rupa terkadang masih membuat saya kebingungan. Bagaimana caranya agar dapat menikmati sebuah karya seni rupa dengan baik dan benar itu?
Seorang teman di sana kemudian menjelaskan bahwa, yang pasti tidak ada cara baku agar dapat menikmati sebuah karya seni rupa, baik itu dalam sebuah pameran maupun tidak. Setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk menikmati dan “berkomunikasi” dengan karya seni rupa, apapun jenisnya. Yang terkadang setiap orang punya pengetahuan dan pengalaman berbeda dalam merespon karya, sebab karya akan multi interpretasi ketika bertemu orang-orang selain penciptanya sendiri. Tanpa bermaksud mendeskreditkan, cara orang awam dan pemerhati atau peneliti seni nantinya akan berbeda, pungkasnya.
Berkaitan dengan pameran lukisan Nanang, pertanyaan lain muncul dalam benak saya. Bagaimana cara disabilitas netra seperti Nanang dapat menikmati setiap karya pada pameran lukisannya? Pertanyaan yang tampaknya kurang ramah disabilitas netra, karena memang (baca: bukankah) biasanya kita sering memberbicarakan seni rupa hanya dari perspektif orang awas (non disabilitas netra)? Apabila, jika memang menikmati sebuah karya seni rupa pada umumnya cendrung dari penglihatan dan perabaan. Maka, apakah disabilitas netra hanya (baca: harus) menikmati seni rupa dengan cara meraba saja? Mungkin ini sebuah pertanyaan klise yang jawabannya patut dibaca ulang secara bersama.
Nanang mendobrak stigma yang melekat seperti itu dalam pameran lukisannya. Dirinya berupaya berbagi banyak cerita perjalanan hidup, hingga memasuki dunia seni rupa sebagai seorang disabilitas netra. Pertama, suatu hari dirinya pernah meraba lukisan pada sebuah kanvas dan merasa kecewa karena tidak dapat membayangkan apa pun, seperti orang awas. Kedua, berangkat dari rasa keingintahuannya lebih serius terhadap seni rupa. Dirinya mempertanyakan, apakah karya seni rupa dapat dibuat dan dinikmati dengan kemampuannya; yang hanya mampu mendengar, meraba, membaui dan mencecap?
Ketiga, seni rupa menurutnya menjadi sarana mengungkapkan perasaan, pemikiran dan pengalaman sebagai disabilitas netra. Sebab disabilitas netra khususnya, sering memperoleh perlakuan yang tidak layak; dari dimanfaatkan secara tidak adil sampai mengalami penolakan karena kondisi yang dianggap merepotkan. Nanang sadar dan mengalami secara langsung kondisi demikian, melalui beberapa karya lukisannya berjudul; Jangan Putus Asa, Bahaya Tuna Rasa, Tuna Netra Tidak Bisa Rasis, Kamu Baik Maka Kamu Cantik Kamu Budiman Maka Kamu Tampan, Ajining Diri Dumunung Ing Pakarti, Hati-Hati Eksploitasi dan Jadilah Mandiri Jangan Mau Dikasihani. Dirinya memberikan jawaban sekaligus pertanyaan ulang atas banyaknya persoalan fenomena disabilitas netra yang ada.
Nanang memang tidak ingin karya-karya lukisannya hanya dinikmati oleh orang awas (non disabilitas netra) semata. Dengan adanya pemberian tempelan plastik (tidak permanen) yang memiliki pola timbul membentuk rangkaian kalimat beraksarakan Braille. Serta beberapa pin yang sengaja ditusuk-susunkan pada sebuah reglet di bagian lukisan. Nanang seakan tidak mau pilih kasih, ingin mengajak semua orang, baik awas (non disabilitas netra) maupun disabilitas netra masuk ke dunia imajiner yang didalamnya bebas bagi siapa saja berinterpretasi. Melalui cara komunikasi aksara Braille yang kemudian diberinya nama Seni Raba, menjadi pintu masuk utamanya.
Kus Sri Antoro, dalam catatannya pada katalog Pameran Seni Raba Menggambar Suara menjelaskan bahwa konsep seni raba yang dimaksud adalah sebuah alternatif untuk bisa menikmati karya Nanang, dengan cara meraba. Lebih jauh dari itu, seni raba menjadi cara dasar bagi Nanang untuk mengenali dunia seni rupa sesungguhnya, sekaligus menawarkan gagasan yang barang kali dapat dikatakan baru. Diantaranya visualisasi bunyi yang disajikan seni rupa perabaan akan menggunakan tafsir suara dalam bentuk gambar aksara. Sehingga suara-suara yang selama ini tidak terlihat menjadi terlihat, bahkan teraba dan dapat dibunyikan kembali dalam seni rupa.
Sebagai seniman disabilitas netra, Nanang ingin karya-karyanya dapat mewakili suara-suara sesama disabilitas netra yang dapat dikomunikasikan kepada siapapun. Juga merubah keadaan dan kebutuhan disabilitas netra itu sendiri, agar lebih mampu dipahami secara baik dan bijak oleh pemerintah, perusahaan serta masyarakat luas. Begitulah harapnya.