Selasa, April 30, 2024

Menyuarakan Keberagaman dalam Mewujudkan Persatuan

Moh Syahri
Moh Syahri
Penulis Lepas, Mahasiswa, senang menulis tentang isu kekinian baik agama, sosial, politik dan budaya, mengkaji hubungan baik antar umat agama. Penulis buku antologi inspirator untuk Indonesia (Artidjo Alkostar Simbol Orang Madura) dan buku antologi kontribusi untuk negeri (Melatih Kacakapan Berbicara di Pesantren), Anggota Pelatihan Juru Bicara Pancasila wilayah jawa timur, Anggota Komunitas Bela Indonesia wilayah jawatimur, anggota peace train,

Bicara Indonesia tidak lepas dari bicara soal kemajemukan bangsa. Indonesia yang sangat besar dan penduduknya relatif banyak akan memberikan rekor tersendiri bagi bangsanya.

Indonesia lahir dari kesepakatan founding fathers yang cinta terhadap kemajemukan, cinta terhadap keberagaman yang terpatri dalam hati nuraninya sebagai semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Bagi saya, tidak ada alasan untuk tidak mencintai indonesia sepenuh hati dengan indahnya keberagaman yang ada.

Indonesia dan Pancasila tidak bisa dipisahkan dari kehidupan nyata, dua objek vital yang sangat menyatu dari kehidupan manusia Indonesia. Untuk memahami Indonesia, maka seyogyanya memahami ideologinya, memahami realitas kehidupan bangsanya, memahami nilai-nilai luhur bangsanya.

Akan tetapi memang, menjadi sesuatu yang semu jika melihat fakta yang terjadi, seolah-olah kita sedang berjalan dalam kegamangan. Maraknya tindakan intoleransi yang sangat massif, membuat bangsa ini terseok-seok dan kehilangan nyali.

Bangsa akan menjadi hebat manakala mampu melahirkan produk-produk unggulan yang bisa memahami dan menghormati pihak lain. Peduli kepada keumatan manusia, yaitu menghargai dan menerima manusia lain apadanya.

Banyaknyaisu politik, ditambah dengan konflik sana-sini yang melibatkan agama, ras, atau etnis kadang membuat saya meragukan negeri ini; sulit untuk tetap menegakkan nasionalime di negara yang penuh dengan guncangan mengenai perdamaian; apalagi untuk saya, salah satu dari generasi muda yang masih mencari mana yang benar atau sebaliknya.

Kami, generasi muda, masih membiasakan diri untuk tetap berpikir secara objektif tapi kritis, tidak memihak tapi mencoba memahami mana yang benar, serta berani bertindak tapi tidak gegabah; kami masih belajar. Terkadang sulit bagi kami untuk tetap berpikir positif serta menahan komentar negatif tentang mereka yang mengaku nasionalis, mengatasnamakan negara yang demokratis; tapi bertindak berlawanan dengan hak asasi. Kondisi negeri ini makin ironis.

Tapi, saya yakin, negeri ini masih kaya akan orang-orang yang penuh dengan cinta kasih. “Bhinneka Tunggal Ika” tidak diciptakan begitu saja. Masyarakat Indonesia adalah orang-orang terpilih; kita masyarakat yang penuh dengan afeksi.

Sejak dulu, kita telah terbiasa dengan perbedaan, sangat terbiasa hingga kita tidak lagi menyadari apa itu titik koma; kita semua satu gagasan, yaitu persatuan. Lalu kini, apa gunanya perpecahan?

Mungkin, konflik adalah suatu teguran, supaya kita menyadari betapa pentingnya untuk kembali mengencangkan sabuk nasionalis, bukan untuk menjadi seorang yang egois. Perjuangan kita sekarang bukan untuk memenangkan suatu identitas, kita kembali ke titik awal; berperang mempertahankan solidaritas, bukan tentang memenangkan mayoritas.

Ini bukan lagi mengenai politik, ini mengenai hati nurani. Ini mengenai kita yang diciptakan sebagai manusia, bukan sebagai suatu simbol identitas, kelompok, ras, atau status tertentu; kita makhluk berakal dan dikaruniai satu hati. Maka, bertindaklah sesuai dengan apa yang dikehendaki Ibu Pertiwi; mari kita buat negeri ini tersenyum kembali.

Mengedepankan semangat kemanusiaan dalam menjalankan ajaran keagamaan di wilayah privat maupun publik menjadi modalitas yang tidak sekadar mengimpikan pahala dari Tuhan. Akan tetapi, perlakuan yang humanis antara satu dengan yang lain diharapkan bisa berdampak pada keinginan untuk saling berlomba-lomba dalam hal kebajikan. Pada akhirnya keberagamaan akan memberikan nilai kemaslahatan yang banyak bagi tumbuhnya kehidupan yang toleran.

Pada akhirnya, Tuhan mencintai persatuan, apa pun ajarannya. Mari kita coba untuk berpikir lebih jernih sebelum berbicara, mempertimbangkan dampak sebelum bertindak, dan menelaah sebelum terlanjur percaya. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bermatabat, kita masyarakat yang kenal adat istiadat; kita berbeda, tapi di dalam, kita tetap sama.

Sikap peduli kepada umat manusia seharusnya menjadi kearifan yang mampu mengelola egosentris baik yang berkaitan dengan etnisitas, ideologi keagamaan, maupun politik.

Dengan demikian, setiap kekalahan dan kemenangan tidak diartikan sebagai ancaman ataupun peluang untuk balas dendam, tetapi sebagai kesadaran transendental yang menggerakkan hati si pemenang untuk merangkul yang jalah, dan yang kalah menghormati yang menang. Dengan cara ini, proses demokrasi bisa mengantarkan kita ke kehidupan bernegara, beragama, berbangsa dan bermasyarakat yang beradab.

Perbedaan bukanlah ajang kompetisi. Bukan, ini bukan tentang harga diri. Ini tentang kita, yang berakar dari sumbu perjuangan tahun empat lima.

Moh Syahri
Moh Syahri
Penulis Lepas, Mahasiswa, senang menulis tentang isu kekinian baik agama, sosial, politik dan budaya, mengkaji hubungan baik antar umat agama. Penulis buku antologi inspirator untuk Indonesia (Artidjo Alkostar Simbol Orang Madura) dan buku antologi kontribusi untuk negeri (Melatih Kacakapan Berbicara di Pesantren), Anggota Pelatihan Juru Bicara Pancasila wilayah jawa timur, Anggota Komunitas Bela Indonesia wilayah jawatimur, anggota peace train,
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.