Ketua KPK Agus rahardjo mengusulkan agar partai politik dibiayai pemerintah. Namun perlu dibuat sistem audit agar penggunaan dana yang berasal dari pemerintah itu bisa dipantau. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua KPK saat menyampaikan pidato dalam acara International Bussines Integrity Conference di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (4/12/2018).
Sebelumnya, beberapa partai politik sudah menandatangani pakta integritas di hadapan para pemimpin KPK. Pakta integritas itu berisi komitmen sistem integritas partai politik. Beberapa parpol yang melakukan penandatanganan tersebut diantaranya adalah PKB, Partai Gerindra, PDIP, Golkar, Hanura, PAN, PKPI, PSI, PPP, NasDem, Partai Garuda, Demokrat, Partai Berkarya, dan Partai Perindo.
Usulan KPK ini cukup rasional, pasalnya terdapat irisan yang besar antara korupsi dengan partai politik. Simak saja banyak kader-kader parpol yang tersangkut kasus korupsi, bahkan banyak diantaranya adalah ketua-ketua umum partai politik. Hal ini semakin menguatkan adagium klasik Lord Acton (1834-1902) bahwa power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.
Hubungan antara korupsi dan parpol juga bisa dilihat dari indeks demokrasi dan indeks persepsi korupsi. Pada saat indeks demokrasi meningkat, idealnya indeks persepsi korupsi juga menurun. Berdasarkan data BPS, Indikasi Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2017 berada pada angka 72,11 dalam skala 0 sampai 100.
Angka ini meningkat dibandingkan angka IDI 2016 yang sebesar 70,09. Sementara menurut Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) menempatkan Indonesia di peringkat 96 dari 180 negara-negara yang diteliti. Walaupun peringkat tersebut menurun dari IPK tahun lalu yaitu peringkat 90, sejatinya Indonesia memperoleh skor IPK yang sama dari tahun lalu, yaitu 37. Data tersebut mengambarkan adanya hubungan linier positi antara IDI dan IPK pada tahun 2017.
Namun fakta bahwa masih banyak para politisi yang terlibat kasus korupsi juga tidak bisa dipungkiri. Hal inilah yang kemungkinan besar menjadi argumentasi KPK untuk mengusulkan agar partai politik di biayai oleh pemerintah.
Dalam peraturan perundangan yang ada saat ini, pendanaan parpol oleh pemerintah (baca ; APBN) dikenal dengan istilah dana bantuan parpol. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik, setiap suara sah yang diperoleh parpol mendapat Rp108, yang kemudian mengalami kenaikan menjadi Rp 1.000 sebagaimana yang tertuang dalam Surat Menteri Keuangan Nomor 277/MK.02/2017 pada 29 Maret 2017.
Konsekwensi kenaikan ini, berdasarkan catatan, Polmark Indonesia, total bantuan keuangan untuk 10 parpol yang lolos ke DPR mencapai Rp13,2 miliar. Selain itu, ada bantuan untuk parpol di daerah yang nilai seluruhnya Rp385,4 miliar. Artinya akan terjadi kenaikan 10 kali lipat jumlahnya untuk 10 parpol yang lolos ke DPR saja bisa mencapai Rp132 miliar.
Banyak negara lain memang sudah menerapkan pemberian dana pemerintah untuk parpol. Di Meksiko misalnya, pada 2012 untuk parpol diberikan bantuan dana 387 juta dolar AS. Setahun kemudian, jumlahnya turun menjadi 144 juta dolar AS. PemerintahTurki juga memberikan bantuan dana kepada parpolnya, pada 2011 disuntikkan dana 163 juta dolar AS untuk parpol. Negara maju seperti Jerman pada 2014 juga memberikan bantuan 157 juta Euro.
Dinegara-negara tersebut, pemberian dana parpol tidak semuanya linier dengan IPK. Sebut saja Meksiko, dalam IPK global tahun 2016, mencatat Meksiko berada di peringkat ke-123 dari 176 negara. Meksiko mengantongi poin 30, yang jauh di bawah rata-rata indeks yang mencapai 43 poin. Di Jerman, IPK Global tahun 2016 menyebutkan bahwa Jerman berada di peringkat ke-10 dengan nilai 81 poin. Skor ini menunjukkan bahwa tindak korupsi di Jerman termasuk salah satu yang terendah atau negara bersih dalam hal korupsi.
Hal berbeda ada di Selandia Baru, yang tidak memberikan dana kepada parpol, namun laporan IPK-nya berada di posisi ke-2 di seluruh dunia, artinya menyandang sebagai salah satu negara yang paling bersih dari praktek korupsi. Di Selandia Baru, semua dana dari para donatur tercatat disertai besaran sumbangannya buat parpol.
Fakta-fakta inilah yang kemudian menjadi kekhawatiran sekaligus pesimisme masyarakat terkait dengan usulan KPK, mengenai tidak adanya jaminan bahwa pendanaan parpol oleh pemerintah akan menghilangkan (paling tidak menguranggi) praktek korupsi di Indonesia. Pesimisme tersebut paling tidak didasari oleh beberapa pertimbangan, antara lain
Pertama, kontestasi politik di Indonesia menghendaki sistem pemilihan dilakukan dengan mekanisme elektoral. Akibatnya biaya politik baik dalam kontestasi pilkada langsung maupun pemilu presiden dan pemilu legislatif menjadi sangat besar. Alhasil, hasrat untuk mengembalikan biaya politik menjadi sebuah kewajaran.
Kedua, biaya partai politik bukan hanya menyangkut biaya politik pada saat pilkada maupun pemilu. Namun biaya politik juag dibutuhkan untuk semua kegiatan partai politik terkait dengan tugas dan fungsi partai politik sebagaimana yang diatur dalam UU Partai Politik. Dalam konteks yang demikian, sosialisasi, kaderisasi, rekruitmen, penyaluran aspirasi dan lain sebagainya menjadi kegiatan-kegiatan utama partai politik di luar kegiatan rutin pemilu dan pilkada. Dan untuk melakukan hal tersebut, besaran dananya sangat sulit untuk diukur, karena semuanya sangat bergantung dari cakupan, lokus, fokus dan frekwensi kegiatannya.
Terlepas dari itu, pakta integritas sebagaimana yang sudah ditandatangani oleh parpol di depan KPK, harus segera ditindaklanjuti dan di implementasikan dalam bentuk penandatanganan pakta integritas semua kader dan anggota-anggota parpol di depan KPK. Hal ini paling tidak menjadi solusi jangka pendek untuk menguranggi praktek korupsi yang selama ini banyak dilakukan oleh para kader parpol.
Selain itu, yang jauh lebih penting adalah komitmen bersama dari semua komponen masyarakat baik pemerintah, parpol, swasta dan masyarakat untuk tidak mentoleransi terhadap segala bentuk tindak pidana korupsi. Termasuk komitmen antara lembaga penegak hukum seperti KPK, Polri dan Kejaksaan, untuk membangun sinergi bersama dalam rangka melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Bagaimanapun, tanpa komitmen bersama yang kuat, cukup sulit untuk menghilangkan praktek korupsi, karena sudah menjadi wabah penyakit endemik disemua lapisan masyarakat.