Belakangan ini sedang ramai di media sosial soal RUU permusikan yang digagas oleh komisi X DPR RI. RUU ini menuai banyak kontra dari para musisi profesional baik dari jalur label maupun musisi-musisi independen (indie), musisi kafe, hingga para anak band yang baru memulai karir.
Bahkan mereka telah membuat petisi di situs change.org yang hingga saat tulisan ini dibuat sudah mencapai 175.500 tanda tangan dari berbagai elemen masyarakat yang peduli masa depan permusikan Indonesia.
Tak mau kalah, kalangan akademisi musik dan teman-teman mahasiswa ikut menyuarakan penolakannya melalui media sosial. Mereka beralasan bahwa seni tidak pantas diatur-atur oleh negara, biarkan kebebasan berekspresi tetap berjalan seperti adanya. Tidak ada urgensinya Rancangan Undang-undang tersebut diterapkan.
Jika dilihat sekilas, naskah Rancangan RUU itu tampak tidak ada masalah, bahkan jelas mengandung nilai positif. Akan tetapi dalam memandang dunia kesenian terutama permusikan tidaklah sesederhana itu. Musik tidak bisa dinilai secara eksakta-obyektif sehingga penalaran atas sebuah karya tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Musik bahkan seringkali bersifat abstrak. Maka pengkreasian dan hasil kreasinya tidaklah layak diatur dalam sebuah undang-undang formal.
Yang banyak menjadi sorotan adalah pada pasal 5 terutama pada kalimat yang berbunyi “menistakan, melecehkan, dan/ menodai nilai agama”. Kalimat ini rentan menjadi suatu legitimasi untuk menyerang pelaku musik yang bahkan tidak berniat untuk menistakan agama karena kesalahpahaman atas sebuah interpretasi karya. Telah banyak contoh kasus-kasus yang menelan banyak korban akibat pasal karet seperti undang-undang ITE dan UU penodaan agama.
Dalam dunia seni terutama musik, pengkreasian sebuah karya memerlukan proses pemikiran yang begitu rumit mulai dari melodi, akor, hingga lirik sebuah lagu yang biasanya menggunakan diksi yang tidak sembarangan. Acap kali sebuah lagu mengandung lirik yang kontroversial dan multi interpretasi. Barang kali inilah yang menjadikan sebuah lagu itu bermakna dan berkesan di telinga para penikmat musik.
Akan tetapi lagu yang mengandung kontroversi tersebut sangat mungkin menjadi bumerang bagi si pembuat lagu apabila RUU ini disahkan menjadi undang-undang oleh DPR. Jika pun RUU ini disahkan, maka akan bertentangan dengan undang-undang mengenai kebebasan berekspresi.
Dunia musik adalah dunia yang bebas. Para musikus bebas mengekspresikan apa yang menjadi kegelisahannya melalui musik. Sudah banyak muncul karya-karya musik yang mengandung kritik-kritik sosial, lingkungan, agama, hingga kritik kepada pemerintah. Kritikk-kritik tersebut ada yang bersifat lembut, ada juga yang keras dan frontal.
Musik-musik tersebut sangat rentan terkena pasal karet ini. lebih-lebih jika dipakai oleh pihak yang tidak menyukainya. Mungkin juga dimanfaatkan oleh kubu-kubu politik yang apabila perseteruan di tahun ini masih berlanjut hingga beberapa tahun kedepan.
Komisi X DPR yang menaungi bidang seni dan kebudayaan hendaknya lebih banyak lagi berdialog dengan pelaku-pelaku musik baik musisi kalangan atas maupun kalangan bawah mengenai apa yang menjadi kegelisahan mereka dan apa yang harus menjadi prioritas untuk dijadikan undang-undang. Tidak selayaknya soal pengkreasian sebuah seni diatur-atur apalagi dilegalformalkan menjadi undang-undang.
Yang lebih penting disoroti adalah pelaku-pelaku musik awal yang sering kali dimangsa oleh keganasan digital. Pemusik-pemusik ini tidak jarang memunculkan karya-karya yang berkualitas, bahkan dapat dikatakan bisa bersaing dengan pemusik-pemusik papan atas namun kurang mendapat tempat di masyarakat sehingga kesejahteraanya pun tidak beranjak meningkat. Padahal isu yang diangkat adalah isu sosial, lingkungan, kearifan lokal, hingga keagamaan.
Sialnya, karya-karya yang berkualitas ini sering kali “dijiplak” oleh oknum-oknum tertentu tanpa imbalan apapun kepada si pembuatnya untuk kemudian diubah ke versi yang lain dengan maksud mengejar kepopuleran sesaat yang sering kali tidak mengindahkan etika moral. Sering kali lebih diterima publik sedangkan si pembuatnya tidak dapat apa-apa. Tentu hal-hal seperti ini yang seharusnya dipikirkan oleh anggota dewan.
Satu lagi yang menjadi kontroversi adalah pasal 32 mengenai sertifikasi profesi. Pasal ini tampak aneh dan tak masuk akal. Bahwa pelaku musik baru bisa dianggap profesi setelah mendapatkan sertifikat. Hal ini aneh melihat bahwa berdasarkan fakta, musisi-musisi profesional baik dalam negeri maupun luar negeri, mereka menjalankan profesi sebagai musisi sudah bertahun-tahun tanpa melakukan uji kompetensi dan mereka dapat hidup sejahtera, serta dengan bebas meniti karirnya.
Pasal tersebut terlihat sangat mengada-ada dan tidak ada alasan yang kuat untuk menerapkan itu. Tanpa sertifikat pun para musisi sudah bisa hidup dengan musiknya. Lalu untuk apa sebenarnya fungsi sertifikat itu? Apakah mereka yang sudah lolos uji kompetensi dan mendapatkan sertifikat profesinya akan dibiayai negara?
Timbul sebuah pertanyaan, pakah sebenarnya alasan untuk menggagas RUU permusikan itu? Padahal para pelaku musik sendiri tidak memerlukan hal itu. Jawaban yang mungkin dan masuk akal adalah mereka jengah dan “panas” mendengar lagu-lagu yang mengkritik kinerja mereka sendiri.
Kesimpulannya, pengkreasian musik tidaklah perlu diatur dalam undang-undang formal. Cukuplah ia pada taraf kesadaran individu mengenai mana yang pantas dan mana yang tidak pantas untuk diekpresikan dalam karya musik. Lagi pula, jika RUU itu disahkan maka akan berapa banyak orang yang terkena kasus dan tentu banyak pula yang akan memberontak terhadap undang-undang tersebut.