Rabu, April 24, 2024

Menyoal Rambut di Tengah Pandemi Covid-19

Iip Rifai
Iip Rifai
Penulis Buku "Persoalan Kita Belum Selesai, 2021"| Alumnus : ICAS Paramadina University, SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, Pascasarjana UIN SMH Banten, Sekolah Demokrasi Serang 2014.

Sudah hampir satu bulan, saya, bahkan Anda juga, menjalankan imbauan pemerintah, bekerja dari rumah (work from home) karena pandemi Covid-19. Tak hanya soal kerja, ibadahpun—termasuk salat lima waktu plus ibadah  jumat—saya tunaikan di rumah.

Bukan bermaksud menjauhi Tuhan dengan menghindari masjid sebagai rumah-Nya, tapi lebih dilatarbelakangi oleh tindakan prioritas, yaitu mengutamakan keselamatan bersama. Dalam kaidah ushul fikih dikenal dengan dar’ul mafâsid muqoddam ‘alâ jalbil mashalih, mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengupayakan kemaslahatan.

Apa yang Anda rasakan jika terlalu lama berdiam diri (stay at home too long)? Tentu, perasaan Anda dan saya sama-sama jenuh, bosan, boring dan seterusnya. Tak bertatap muka dengan rekan kerja, ngobrol, bercanda, makan siang bareng dan sejumlah aktivitas lainnya, dalam kurun waktu lumayan lama, jelas menambah kerinduan untuk segera merayakan kebersamaan. Meski sesekali berkomunikasi via zoom, bisa melihat rekan kerja, teman dekat dan sebagainya, namun saya tak mendapatkan situasi yang “hidup” seperti di alam nyata.

Sungguh sempit dan sumpek berada dalam situasi di atas. Kecanggihan teknologi tak bisa menggantikan kebersamaan. Bertemu dan berkomunikasi antarindividu secara langsung, dalam konteks ini, merupakan anugerah Tuhan yang paling mahal.

Coba kita bayangkan, di tengah susahnya untuk bertemu, hanya sekadar ingin ngobrol dan bercengkrama, pemerintah pusat dan daerah membuat kebijakan dengan melarang setiap kita untuk mudik. Menambah beban rindu yang sudah membiru. Biasanya, pra-ramadan, sebagian bahkan hampir merata, warga Indonesia yang berada di Jawa Barat dan Banten merayakan “munggahan”.

Munggahan adalah tradisi masyarakat Islam suku Sunda untuk menyambut datangnya bulan ramadan yang dilakukan pada akhir bulan Sya’ban (satu atau dua hari menjelang bulan Ramadan). Bentuk pelaksanaannya bervariasi, umumnya berkumpul bersama keluarga dan kerabat, makan bersama (botram), saling bermaafan, dan berdoa bersama. Selain itu, ada pula yang mengunjungi tempat wisata bersama keluarga, berziarah ke makam orang tua atau orang saleh, atau mengamalkan sedekah munggah, yaitu sedekah pada sehari menjelang bulan puasa (www.wikipedia.org).

Momentum munggahan sebagai media silaturahmi antarkeluarga tak bisa dilakukan karena alasan pandemi Covid-19. Bahkan tatacara ibadah di bulan Ramadan dan Syawal (idulfitri) pun diatur oleh Kementerian Agama dalam Surat Edaran Menteri Agama Nomor: SE.6 Tahun 2020 Tentang Panduan Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H di Tengah Pandemi Wabah Covid-19, mulai dari tak diperbolekannya buka puasa bersama, tarawih  berjamaah, sahur bersama (sahur on the road) dan sejenisnya, yang bersifat kumpulan.

Selain sebagai pemeluk agama yang taat, kita juga sebagai warga negara yang baik, dan taat hukum, akan selalu tunduk terhadap ketentuan yang ada. Langkah yang diambil pemerintah di atas menjadi pilihan terbaik utuk kemaslahatan bersama. “Badai pasti berlalu”, selama kita disiplin mengikuti anjuran pemerintah dalam rangka menghindari wabah virus ini.

Ihwal Rambut

Ada satu hal kecil namun sangat menganggu penampilan kaum Adam, baik anak kecil, remaja, dewasa hingga yang berusia tua, di tengah pandemi Covid-19 ini. Tak lain adalah urusan rambut. Rambut merupakan bagian tubuh manusia yang yang tumbuh di kulit dan mengandung banyak keratin, biasanya bentuknya menyerupai helaian benang, ia muncul dari lapisan epidermis atau lapisan kulit terluar.

Masa “stay at home” yang cukup lama, membuat bulu-bulu yang tumbuh di badan saya semakin panjang dan tak terawat, terutama rambut, janggut, dan jambang.  Biasanya, jika rambut saya mulai terlihat panjang dan saya merasa tak nyaman, saya langsung pergi ke tukang pangkas rambut di pinggir jalan dan meminta untuk segera merapikannya. Selain soal kenyamanan, juga menyangkut penampilan.

Tapi di masa pandemi Covid-19 ini, saya merasa ragu, selain ‘parno’ (baca: paranoid) menemui pemangkas rambut, tak lain karena ketakutan berlebih terhadap virus tersebut. Kebijakan physical distancing (jaga jarak fisik) dalam menghindari virus ini juga yang membuat saya semakin yakin tak mau memotong rambut di tempat umum, karena pasti jarak antara saya dan pemangkas rambut sangat dekat sekali. Di samping sejumlah alasan lain yang tak rasional dan ilmiah secara medis, yang selalu menghantui saya.

Alhasil, kini rambut saya di bagian sisi kanan-kiri dan bagian belakang kepala dibiarkan terlihat panjang dan tak teratur. Bagian depan kepala saya tak ada masalah dengan rambut. Seiring  usia yang semakin dewasa, rambut bagian depan saya rontok permanen alias botak (genetik). Mungkin ini juga sebagai penanda (signifier) bahwa saya akan menjadi profesor, karena biasanya para profesor juga mayoritas tak memiliki rambut depan. Tapi bukan poin terakhir itu yang ingin saya bahas dan dalami.

Rambut, jika kita teropong dalam perspektif fikih (hukum Islam) diklasifikasikan menjadi tiga bagian, salah satu hukum adalah mubah. Rambut yang boleh dihilangkan atau boleh dibiarkan pada badan kita, yaitu rambut kepala. Dalam konteks ini, ada satu riwayat yang disampaikan sahabat Nabi, Anas bin Malik, yang menyatakan bahwa rambut Nabi mencapai setengah telinganya.

Riwayat di atas menunjukkan bahwa membiarkan rambut hingga panjang hukumnya mubah, karena Rasulullah pun pernah membiarkan rambutnya hingga mencapai setengah telinganya. Tapi ada satu riwayat lain yang menjelaskan anjuran atau semacam perintah untuk merapikannya. Demikian sabdanya: “Barangsiapa yang memiliki rambut, hendaknya dia memuliakannya” (HR.Abu Dawud)

Memuliakan rambut menurut Imam Al Munawi adalah dengan merapikan, membersihkan dengan cara membilasnya, memberinya minyak rambut dan menyisirnya. Tidak membiarkan rambut acak-acakan dan terlihat kusut (Al-Allamah Al Munawi, Faidul Qadir Syarh Al Jami’ush Shagir, Mesir, Mushthafa Muhammad, 1352, Juz 6, hlm. 208)

Dalam kesempatan lain, selain merapikan rambut, Rasulullah juga merapikan janggutnya, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syarhu Al-Sunnah:3164, bahwa  “Rasulullah sering meminyaki rambutnya dan menyisir jenggotnya dan sering memakai tutup kepala, hingga bajunya seperti baju penjual minyak“.

Dari dua keterangan di atas, hal ini memberikan pembelajaran kepada kita, khususnya kaum laki-laki, untuk merawat dan merapikan rambut dalam segala situasi dan kondisi, termasuk di tengah pandemi Covid-19 ini. Tak ada alasan membiarkan rambut panjang berantakan, tak terurus dan bau keringat; menelantarkan kumis “nyongcrog” (baca: bulunya keras mengarah ke depan), mendiamkan jambang dan janggut memanjang tak karuan, tak sedap dipandang.

Gunakanlah akal sehat untuk menentukan kapan keluar rumah dan di tempat mana Anda harus merapikan rambut dan bulu-bulu yang lain. Membersihkan dan merapikan rambut serta bulu-bulu lain, di samping bagian dari perilaku yang sesuai dengan aturan agama, juga akan mendapatkan nilai plus dari pasangan Anda.

Terlebih jika Anda wangi dan ganteng, niscaya Anda akan lebih diperhatikan, dicintai, disayangi, dan didambakan pasangan Anda selama Anda berada di rumah, di tengah pandemi Covid-19 yang dahsyat ini. “Akrim sya’raka”, rapikan rambutmu !

Iip Rifai
Iip Rifai
Penulis Buku "Persoalan Kita Belum Selesai, 2021"| Alumnus : ICAS Paramadina University, SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, Pascasarjana UIN SMH Banten, Sekolah Demokrasi Serang 2014.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.