Menduduki posisi penting dalam tatanan negara sejatinya memiliki 2 (dua) sisi. Di satu sisi, seseorang yang mendapat amanah akan memiliki kesempatan untuk lebih banyak berkontribusi pada kemajuan negara. Pada saat yang sama, segala perangai yang ia lakukan akan disorot oleh masyarakat.
Begitu kira-kira yang dirasakan anggota DPR terpilih periode 2019-2024. Pengadaan pin emas senilai Rp 5,5 Milyar menjadi sorotan publik karena dinilai pemborosan. Pro-kontra tidak hanya terjadi dikalangan masyarakat, sejumlah anggota DPR terpilih pun ikut menyuarakan aspirasinya. Ada yang menolak, tapi tak sedikit yang menerima. Bola panas soal pin emas ini bermula dari wacana pengadaan pin emas bagi 106 anggota DPRD DKI periode 2019-2024 yang dinilai berlebihan.
Sejatinya, pengadaan pin emas sudah menjadi rutinitas di Sekjen DPR setiap pergantian periode. Mekanismenya pun sama seperti pengadaan barang dan jasa pada instansi pemerintah lainnya, yakni melalui lelang.
Ada pun anggaran Rp 5,5 Milyar adalah pagu, yaitu jumlah anggaran yang dialokasikan untuk mengadakan suatu barang dan/atau jasa. Namun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) nantinya bisa berbeda, dan dipastikan sama atau kurang dari pagu yang dianggarkan.
Katakanlah harga akhir pada kontrak lelang sebesar Rp 5 Milyar, artinya setiap anggota dewan memperoleh “jatah” sekitar 8,9 sampai 9,1 juta rupiah saja. Jumlah yang biasa saja, tidak terlalu berlebihan karena dianggarkan sekali dalam 1 (satu) periode. Meskipun anggota DPR nantinya mendapat fasilitas lain, namun apa yang mereka dapat sejatinya sudah diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Tentu, fasilitas-fasilitas yang didapatkan pejabat publik termasuk anggota DPR sebetulnya sudah diperhitungkan segala aspek, mulai dari keamanan, kenyamanan, hingga masalah wibawa seorang pejabat publik, dalam hal ini anggota dewan.
Antara penghematan dan popularitas
Seiring bergulirnya bola panas, politikus-politikus mulai menyuarakan aspirasinya. Beberapa kelompok merasa bahwa rutinitas 5 (lima) tahunan ini adalah pemborosan. Sebetulnya, kata “boros” adalah sebuah kata sifat yang memiliki makna relatif. Tergantung dari sudut pandang yang kita ambil. Masyarakat awam selalu mengambil sudut pandang dari segi nilai, jumlah besar adalah boros.
Namun, ada hal yang lebih esensial lagi dari sebuah pin emas. Pin emas adalah identitas, pin emas adalah tanggung jawab. jika setiap anggota dewan menanamkan filosofi pin emas tersebut, seharusnya tidak ada lagi pro dan kontra hanya demi popularitas.
Mestinya, anggaran yang ada dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan tetap memegang prinsip hemat, yakni semakin murah semakin baik. Penghematan dilihat dari bukan seberapa besar anggaran yang dikeluarkan, namun harus dilihat juga dari segi kebutuhan. Karena dalam prinsip keuangan pemerintah, setiap Rp 1 yang dikeluarkan dari APBN adalah tanggung jawab.
Apa yang dipertontonkan anggota dewan di Senayan kepada publik justru pro-kontra yang tidak produktif. Mereka saling tarik ulur tentang setuju atau tidak. Padahal, publik butuh simpati yang memiliki esensi nyata dari pada sekadar debat kusir untuk meraih simpati publik. Debat kusir seolah sudah mendarah daging di tubuh anggota DPR.
Meski anggota silih berganti setiap periode, kebiasaan semacam ini tidak pernah pudar. Hal tersebut seolah menisbatkan kinerja anggota dewan yang selalu tidak memuaskan bagi masyarakat. Banyak RUU yang gagal diundangkan karena ketidakefektifan kinerja anggota dewan. Pada tahun 2015, DPR hanya berhasil sahkan 17 dari 40 RUU di prolegnas, sedangkan UU yang disahkan pada 2016, 2017, dan 2018 berturut-turut yaitu 19 dari 40, 17 dari 52, dan 4 UU.
Stop bermanuver
Produk yang dinanti masyarakat dari kinerja seorang pejabat publik adalah kebijakan yang berpihak bagi keberlangsungan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada tupoksi DPR, semakin banyak peraturan yang berhasil diundangkan mencerminkan produktifitas dari kinerja anggota dewan.
Selama ini, masyarakat awam lebih sering disuguhi debat kusir dari pada aksi nyata. Sering kita lihat bangku kosong anggota dewan pada saat pembahasan RUU, padahal ia baru saja muncul di layar televisi. Ironi memang, ketika popularitas merupakan tujuan politik dari seorang anggota dewan.
Masyarakat bukan sekadar objek politik, masyarakat adalah subjek politik yang sejatinya membutuhkan produk nyata dari anggota DPR sebagai representasi rakyat. Jangan sampai, 25 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia semakin sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.