Sabtu, April 20, 2024

Menyoal Menteri Menjadi Caleg

Eko Setiobudi
Eko Setiobudi
Dr Eko Setiobudi, SE, ME Dosen di STIE Tribuana Bekasi

Tercatat ada 7 (tujuh) menteri Kabinet Kerja yang mendaftarkan diri sebagai Calon Anggota Legislatif (Caleg) pada Pemilu 2019. Mereka adalah Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly dari PDI Perjuangan.

Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri, Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo dari PKB. Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin dari PPP dan dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi, Asman Abnur dari PAN.

Restu dan izin Presiden Jokowi kepada ke-tujuh menteri tersebut sudah didapatkan. Selain memberikan restu dan ijin, Presiden Jokowi juga memberikan penekanan agar para menteri tetap fokus dan memprioritaskan tugas-tugas kementerian dan mewajibkan mengambil cuti pada saat pelaksanaan kampanye.

Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 mengenai Pemilu memang tidak mengatur tentang larangan menteri menjadi caleg. UU Pemilu hanya mewajibkan kepada ASN, TNI, Polri, serta direksi, komisaris sampai karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan badan lain yang sumber anggarannya dari keuangan negara, termasuk kepala desa untuk mengndurkan diri jika menjadi caleg.

Bagitupun dengan peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) 20/2018, tidak mengatur secara khusus mengenai mekanisme menteri yang akan menjadi caleg. Pasal 7 aturan terkait mengatur persyaratan bakal caleg tidak mencantumkan ketentuan untuk menteri.

Menteri-menteri yang menjadi caleg juga bukan kali ini saja. Pada pemilu-pemilu sebelumnya sudah banyak menteri yang sekaligus menjadi caleg, baik pada pemilu 2009 maupun pemilu 2014. Dengan demikian, munculnya desakan-desakan publik agar menteri yang menjadi caleg untuk mengundurkan diri semata-mata hanya dalam terminologi etika politik.

Desakan dalam termonologi etika ini mengemuka didasari atas kekhawatiran publik terkait potensi abuse of power atau penyalahgunaan wewenang. Sebut saja terkait potensi penyalahgunaan penggunaan fasilitas negara, baik dalam bentuk keuangan negara maupun mengarahkan program-program kementerian ke Dapil masing-masing caleg. Atau potensi mengarahkan infrastruktur dan suprastruktur kementerian untuk mempengaruhi pilihan politik masyarakat.

Pada sisi lain, fakta politik yang tidak bisa dipungkiri bahwa para menteri yang berasal dari parpol adalah kader-kader terbaik yang direkomendasikan untuk menjadi menteri. Posisinya sebagai kader terbaik, linier dengan peran menteri untuk menjadi foodgetter atau pendulang suara pada pemilu 2019 nanti. Artinya, tugas dan amanah partai agar menterinya menjadi mesin pendulang suara juga melekat dalam diri menteri tersebut.

Pelaksanaan pemilu secara serentak, baik Pileg maupun Pilpres, dipastikan akan menguras energi caleg dan parpol. Oleh sebab itu, penyusunan strategi dan penyelelarasan program kampanye caleg dan parpol baik dalam pileg maupun pilpres harus dirumuskan dengan matang dan komprehensif.

Karena prinsipnya semua caleg dan partai politik ingin mendapatkan hasil yang maksimal dalam pileg maupun pilpres. Atas dasar tersebut, strategi  menjadikan menteri sebagai caleg dalam konteks mesin pendulang suara bukanlah sesuatu hal yang salah.

Demokrasi electoral sebagaimana yang dianut di Indonesia saat ini, memang menempatkan partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi. Keinginan untuk berkuasa, termasuk menyusun kekuasaan – sudah sangat lekat dengan parpol. Bahkan kemudian dilegalisasikan dalam peraturan perundang-undangan.

Sebut saja ketentuan mengenai  Presidential Treshold.  Dengan tidak adanya parpol sebagai pemenang tunggal atau mayoritas pemenang pemilu, maka koalisi menjadi wajib hukumnya guna memenuhi persyaratan Presidential Treshold. Dengan demikian menempatkan kader-kader partai untuk berada di kursi menteri, menjadi sangat lazim untuk dilakukan.

Pola demikian bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Jerman, misalnya, seorang menteri diangkat dari wakil parpol yang berkoalisi membentuk pemerintahan. Di Inggris, seorang menteri harus berasal dari anggota parlemen, dan jika ada menteri yang bukan anggota parlemen, maka harus disetujui atau memenangi suara ketika dipilih menjadi anggota parlemen. Hal yang sama juga banyak terjadi di negara-negara lain seperti Australia, AS, Jepang dan lain sebagainya.

Yang banyak membedakan antar negara hanya mengenai latar belakang serta persyaratan untuk menjadi menteri. Seperti latar belakang pendidikan dan pengetahuan, kompetensi, profesionalitas yang semuanya menjadi ukuran kualitas calon menteri yang berasal dari parpol.

Di Indonesia, menteri yang berasal dari parpol biasanya dilakukan atas usulan atau rekomendasi dari parpol kepada presiden. Mekanisme fit and proper test dengan model pemanggilan calon menteri baru dilakukan oleh Presiden SBY. Sementara Presiden Jokowi mengunakan KPK untuk memotret latar belakang calon menteri.

Alhasil, kompetensi, keahlian dan profesionalisme para calon menteri yang direkomendasikan kepada presiden tidak pernah muncul ke permukaan. Atau bisa jadi memang belum pernah ada persyaratan mengenai hal itu. Akibatnya, masyarakat berasumsi bahwa kompetensi para calon menteri yang berasal dari parpol hanyalah kompetensinya sebagai politisi. Oleh sebab itu;

Pertama, untuk meminimalisir kekhawatiran-kekhawatiran publik mengenai abuse of power sebaiknya dalam penyusunan kabinet hasil pemilu 2019, presiden menyaratkan kualifikasi khusus yang harus sesuai dengan tupoksi kementerian, sebagai indikator untuk mengukur kualitas calon menteri. Sebut saja kompetensi yang harus dimiliki, latar belakang pendidikan, latar belakang keilmuan dan pengetahuan, serta persyararatan profesionalitas yang wajib dimilikinya.

Hal ini sejalan dengan tujuan etika politik menurut Telchman (1998), yang menyebutkan etika politik memiliki tujuan untuk menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya, dengan standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan umum.

Jika hal ini berjalan, maka potensi abuse of power akan bisa diminimalisir. Mengingat kompetensi dan profesionalitas seseorang akan menjadi parameter untuk mengukur responsibility dan awarness seorang menteri pada saat yang bersamaan juga maju menjadi caleg.

Kedua, upaya lain yang bisa dilakukan untuk meminimalisir abuse of power adalah melalui (a) optimalisasi fungsi dan peran inspektorat di tingkat Kementerian untuk melakukan monitoring dan audit terkait dengan pengunaan keuangan negara baik dalam bentuk program maupun fasilitas-fasilitas negara yang selama ini melekat dalam jabatan menteri, (b) mengoptimalkan fungsi Bawaslu yang notabene adalah lembaga negara yang bertugas dan berwenang melakukan pengawasan pemilu, khususnya pada masa-masa kampanye pemilu. Baik menyangkut jadwal cuti, pelaksanaan kampanye, termasuk potensi penggunaan keuangan dan fasilitas negara.

Jika semua hal tersebut bisa dilakukan secara kontinyu dan komprehensif, bukan tidak akan mengubah persepsi masyarakat manakala ada menteri yang sekaligus maju menjadi caleg.

Eko Setiobudi
Eko Setiobudi
Dr Eko Setiobudi, SE, ME Dosen di STIE Tribuana Bekasi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.