Rabu, April 17, 2024

Menyoal (Kembali) Reforma Agraria

Aang Kusmawan
Aang Kusmawan
Mengkaji isyu-isyu pembangunan pedesaan, transparansi dan akuntabilitas publik di Perkumpulan Inisiatif (PI)

Sesudah sidang kabinet usai di akhir maret lalu, Presiden Jokowidodo berpidato singkat. Intinya, pemerintah akan segera membagikan lahan kepada rakyat secepatnya. Pernyataan Presiden tersebut merupakan bentuk tindak lanjut terbitnya Perpres No.45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2017. Dalam dokumen RKP tersebut, upaya untuk membagikan lahan kepada rakyat tersebut disebut dengan istilah reforma agraria.

Kontestasi

Upaya pelaksanaan reforma agraria dapat ditelusuri secara kronologis. Pada tahun 1960 terbit Undang-Undang (UU) Pokok Agraria, yang diikuti dengan terbitnya PP No.10 1961 tentang pendaftaran tanah, Kepres No.131 tentang pembentukan kepanitiaan land reform dan terakhir di tahun 1963 terbit  Kepres No.169 yang intinya berisi intruksi kepada seluruh instansi terkait untuk segera menyusun rencana kerja pelaksanaan reforma agraria. Namun Peristiwa politik tahun 1965 menghentikan proses reforma agraria tersebut secara total.

Selanjutnya, Pada periode awal orde baru, terbit UU No.1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing, dan UU No.6 1968 tentang penanaman modal dalam  negeri. Lalu pada tahun 1980 Presiden Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden No.55 Tahun 1980 tentang organisasi dan tata kerja penyelenggaraan land reform. Setelah itu, pada tahun 1988 terbit Perpres No.26 dan Keppres No.2 yang merupakan dasar hukum kelahiran BPN beserta tugas dan fungsinya.

Lalu, pada tahun 1990 BPN menjalankan sebuah program administrasi pertanahan dengan nama Land Administration Project (LAP). Tujuan utama program ini agar semua lahan yang dimiliki petani terdaftar secara rapih dan sistematis. Pelaksanaan program ini mendapat banyak bantuan dana dari negara-negara barat melalui lembaga donor dan pembangunan internasional.

Setelah rezim orde baru tumbang, pada tahun 1999 terbit Keppres tentang tim pengkajian land reform dan UU No. 22 tentang pemerintah daerah. Pada proses berikutnya, dua keputusan ini menjadi pendorong kuat terbitnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No.IX Tahun 2001 tentang reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Terakhir, dengan dorongan TAP MPR tersebut program pelaksanaan reforma agraria di akomodir dalam dokumen RPJP dan tiga kali dokumen RPJMN  dalam periode 2004-2019.

Mengamati dinamika upaya pelaksanaan reforma agraria di setiap periode dapat dapat dilihat perbedaan mencolok. Pada era orde lama, upaya untuk melaksanakan reforma agraria dapat dibaca sebagai upaya untuk melaksanakan reforma agraria dalam kerangka mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan. Namun memasuki era orde baru, niatan untuk mengurangi ketimpangan seperti tenggelam di makan zaman. Alih-alih sedang berupaya mengatasi ketimpangan lahan, rezim orde baru malah menyediakan “karpet merah” bagi kelompok pemodal dengan menerbitkan sederet regulasi dan melaksanakan program administrasi pertanahan. Namun sejarah mencatat pada tahun 1998 ditengah desakan aksi demonstrasi mahasiswa dan krisis ekonomi yang parah, Presiden Soeharto membacakan surat pengunduran dirinya.

Walau demikian, runtuhnya rezim orde baru tidak berarti bahwa kepentingan para pemodal akan lahan hilang sama sekali. Usaha-usaha kelompok pemodal terus berlangsung dengan mendorong dan mempertahankan peraturan yang pro terhadap kepentingan para pemodal, seperti  UU tentang Penanaman modal, UU Mineral Batubara, dan pengadaan tanah untuk pembangunan.

Melihat fenomena tersebut, usaha untuk melaksanakan reforma agraria setelah reformasi sepertinya sedang  memasuki fase hybrid. Disatu sisi, hybriditas dinamika upaya untuk melaksanakan reforma ini bisa dimaknai sebagai sebuah kontestasi antara kelompok pejuang reforma agraria dengan kelompok pemodal. Secara kronologis, salah satu puncak kontestasi tersebut terjadi ketika terbit Perpres No.32 Tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi (MP3EI) yang isinya tidak lebih dari “kapling siap pakai” bagi kelompok pemodal dan terbitnya dokumen RPJMN 2010-2014 dan 2015-2019 yang mencantumkan istilah reforma agraria sebagai salah satu sub komponen program prioritas pembangunan nasional.

Anomali

Di sisi yang lain, fenomena tersebut dapat dilihat dari realitas yang terjadi dilapangan melalui hasil dari empat kali Sensus Pertanian (SP) yaitu tahun 1983,1993,2003 dan 2013. Setidaknya ada empat hasil SP, hal yang menarik untuk didiskusikan. Keempat hal tersebut yaitu mengenai jumlah Rumah Tangga Petani (RTP), RTP pengguna lahan, total penguasaan lahan oleh RTP, rata-rata penguasaan lahan petani.

Mengenai jumlah RTP dan RTP pengguna lahan, hasil tiga SP sebelum SP 2013 menunjukan kecenderungan peningkatan yang signifikan. Namun sesudah SP 2003, total jumlah RTP dan RTP pengguna lahan mengalami penurunan yang signifikan. Namun untuk prosentase RTP pengguna lahan menunjukan kecenderungan yang tidak berbeda dengan SP sebelumnya. Sementara itu, total penguasaan lahan RTP, rata-rata penguasaan lahan petani pada tiga empat kali SP menunjukan kecenderungan positif. Dari hasil empat kali SP tersebut terlihat bahwa total penguasaan lahan, rata-rata penguasaan lahan meningkat signifikan.

Sementara itu, mengenai penurunan jumlah RTP pengguna lahan pada tahun 2013 hal ini dapat di baca sebagai sebuah fenomena dimana masyarakat pedesaan mulai meninggalkan kehidupan pertanian di desa yang dipandang tidak lagi prospektif. Selanjutnya, peningkatan total penguasaan lahan dan rata-rata penguasaan lahan memang secara sekilas dapat di baca secara positif. Namun jika dibanding dengan jumlah RTP yang menurun hal ini tidak serta merta bermakna postif.

Meningkatnya jumlah total penguasaan lahan di tengah menurunnya jumlah RTP mengindikasikan bertambahnya jumlah lahan yang dikelola oleh setiap petani. Pada satu sisi ini bisa dikatakan positif.  Namun dengan kosongnya peraturan mengenai batas kepemilikan lahan dan angka indeks rasio gini yang meningkat hal ini tidak menutup kemungkinan akan  membuat angka ketimpangan pendapatan menjadi semakin lebar. Dengan kata lain, meningkatnya jumlah penguasaan lahan di tengah menurunya jumlah RTP dan meningkatnya angka rasio gini menunjukan bahwa sedang terjadi sebuah proses menuju  anomali dalam sektor pertanian.

Pada akhirnya, ditengah kontestasi yang sepertinya masih akan berjalan panjang dan proses menuju anomali di sektor agraria, seharusnya Pidato Presiden Jokowidodo harus disambut dengan kritis. Hal ini sebagai upaya antisipatif agar kita semua tidak terjebak dalam euforia belaka

Aang Kusmawan
Aang Kusmawan
Mengkaji isyu-isyu pembangunan pedesaan, transparansi dan akuntabilitas publik di Perkumpulan Inisiatif (PI)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.