Jumat, Oktober 4, 2024

Menyoal Kematian Definisi Perempuan dan Cinta Ibu

Terri Sutansyah
Terri Sutansyah
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta

Definisi atas perempuan selayaknya masih menjadi hal esensial yang perlu dibahas. Betapa tidak, munculnya pemberitaan atas kematian seorang perempuan tulang punggung keluarga dengan kondisi mengenaskan di Padang Pariaman, Sumatera Barat seolah menjadi reprensentasi atas kebangkrutan moral di era ini.

Marilah kita bertanya, apakah definisi perempuan? Serta bagaimana peran cinta ibu dalam pembentukannya?

Definisi Awal Perempuan

Sebelum munculnya Islam, tubuh perempuan merupakan ruang penindasan yang telah berdiri tegak selama berabad-abad. Bahkan, di Yunani Kuno (Athena) sekalipun yang dikenal sebagai zaman peradaban tinggi dengan ide demokrasinya pun tidak memberi ruang atas kehadiran perempuan. Perempuan pada masa ini tidak lebih dari warga kelas dua. Sehingga era ini, tubuh perempuan direduksi menjadi tiga penanda yakni, objek pelecehan seksual, istri atau ibu rumah tangga, dan objek entertainment.

Penanda perempuan baik itu objek pelecehan seksual, istri atau ibu rumah tangga serta objek entertainment ialah bentuk asimetri atas definisi perempuan. Definisi ini hadir tentu demi kepentingan laki-laki pada era ini. Sehingga kemajuan pemikiran filosofis pada era ini pun belum cukup layak dijadikan referensi atas definisi perempuan. Karena definisi ini hanya akan melanggengkan penindasan atas perempuan.

Definisi Biologis Perempuan

Pembedaan laki-laki dan perempuan secara tajam dirumuskan oleh Sigmund Freud, selaku bapak Psikoanalisis Klasik merumuskan ide bahwa pembeda antara laki-laki dan perempuan ialah dengan adanya kepemilikan penis. Freud menuduh perempuan memiliki penis kecil yang selanjutnya disebut sebagai klitoris.

Pendefinisian yang tajam mengenai siapa itu laki-laki dan perempuan oleh Freud tentu tidak dapat dilepaskan oleh zeitgeist (semangat zaman) yang berhembus saat itu. Karena pada berikutnya, argumentasi Freud atas perempuan ialah menggap bahwa kebertubuhannya mengalami dilema yang ia sebut sebagai penis envy. Munculnya dilema ini semata-mata karena perempuan mencemburui laki-laki (ayah) sehingga sepanjang hidupnya akan terus mengejar hal tersebut. Hal ini tentu menyiratkan bahwa definisi Freud melalui Psikoanalisis melihat perempuan sebagai subjek yang berkekurangan.

Perempuan dalam Media Sosial

Maraknya penggunaan teknologi dan media sosial pun belum mampu memberikan definisi yang tepat atas perempuan. Betapa tidak, sebelumnya patriarki secara tegas menetapkan definisi perempuan dalam bentuk rantai penanda yang mengabaikan dimensi emosional dan diri perempuan. Saat ini, perempuan itu sendiri muncul secara ramai melalui media sosial tidak terkecuali Tiktok, X dan Instagram menunjukan akrobat tubuhnya demi secercah likes dan comment. 

Pada Tiktok dan Instagram, tidak sedikit postingan yang memamerkan tubuh perempuan demi meningkatkan jumlah followers dan engagement. Bahkan hal ini diperparah dengan penanda buruk atas organ perempuan melalui tag, search maupun caption yang dibuat oleh kreator. Sebut saja istilah seperti nasi kfc, logo tesla hingga soto babat. Tersebarnya rantai penanda baru ini melalui sosial media tidak hanya merusak makna langsungnya saja. Melainkan turut merusak definisi perempuan itu dirinya sendiri. Karena penindasan perempuan kini telah dimediasi oleh teks dari media sosial.

Hal tragis berikutnya muncul melalui media sosial X, tidak sedikit perempuan secara vulgar menjadikan tubuhnya menjadi objek pelecehan seksual virtual. Faktor yang membentuk realitas ini ialah adanya keterdesakan keadaan ekonomi sehingga jalan pintas yang ditempuh ialah dengan menjajakan konten sensual atas kebertubuhannya.

Apa sebenarnya akar dari fenomena ini? Apakah ruang media sosial belum mampu memberikan definisi yang lengkap atas perempuan?

Apakah perempuan belum layak untuk didefinisikan secara lengkap? Hal ini merupakan pertanyaan yang perlu kita refleksikan lebih jauh. Seolah ada rantai penindasan perempuan yang terus direproduksi sehingga membuat mata laki-laki semakin sempit dalam melihat perempuan.

Kematian Perempuan

Puncak dari penyempitan definisi perempuan ialah ketika muncul pemberitaan kematian perempuan dalam kondisi terikat oleh sekelompok orang tidak bertanggung jawab. Munculnya pemberitaan ini seolah menampilkan makna, bahkan setelah menutup mata pun perempuan belum sepenuhnya mendapatkan kebebasan atas dirinya. Oleh karena itu, perlunya membuka dimensi baru dalam melihat perempuan.

Membuka penjara definisi perempuan tentu bukan hal yang mudah. Karena diperlukan teks secara interdisipliner untuk mengungkap berbagai dimensi perempuan sehingga struktur sosial tidak secara sembarangan memberikan definisi yang sempit. Ini merupakan tugas suci intelektual demi emansipasi perempuan dalam tataran wacana.

Kembali Pada Cinta Ibu

Untuk menjawab persoalan atas definisi perempuan, sudah selayaknya kita kembali pada induk kemanusiaan itu sendiri yaitu ibu. Melalui ibu, fungsi afektif berjalan demi berlangsungnya kehidupan dan kenyamanan pada proses pembentukan subjek.

Tubuh ibu tidak saja dimaknai sebagai seorang perempuan yang mengurus keperluan domestik rumah tangga untuk tujuan patriarkis. Ibu disini ialah sebagai ruang yang memberikan asupan gizi, norma sosial dan diseminasi cinta.

Julia Kristeva menghadirkan konsep Chora (rahim) dalam Psikoanalisisnya sebagai tempat munculnya segala sesuatu baik itu energi dan pribadi. Wadah ini juga menjadi perlindungan anak sehingga didalamnya dipenuhi kebutuhan gizi anak. Adanya hal ini tentu telah menyaratkan bahwa Kristeva telah mendongkrak tatanan makna atas perempuan.

Hal ini merupakan bentuk implementasi dalam menyelamatkan definisi perempuan. Perempuan tidak selayaknya dipandang dari segi kebertubuhan biologis saja. Tetapi, perlunya kita melihat perempuan selayaknya sebagai cinta ibu. Melihat perempuan melalui ruang dimensi ibu setidaknya membuka ruang cakrawala baru dalam pikiran. Perempuan memiliki fungsi sosial yang penting dalam struktur sosial, bahkan perempuan sekiranya perlu keberanian untuk menyuarakan wacananya pada ruang publik agar tercipta definisi perempuan yang komprehensif tanpa perlu membuka ruang penindasan.

Terri Sutansyah
Terri Sutansyah
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.