Hiruk pikuk kampanye kini telah dimulai, berbagai model dan cara pun dilakukan demi mendukung calon pilihan. Nuansa kampanye tidak saja terasa pada lapisan bawah, para elit seperti pejabat negara tak ketinggalan ramai berkampanye.
Dari keriuhan masa kampanye itu, satu yang menarik akhir-akhir ini ialah cara sang pejabat dalam berkampanye. Mulai laku pejabat tingkat daerah hingga level kementerian kini sedang menjadi sorotan. Itu semua, tentu tak lepas dari dugaan adanya pelanggaran dalam berkampanye.
Di Provinsi Riau misalnya, sejumlah kepala daerah ramai-ramai mendeklarasikan dukungan kepada salah satu pasangan calon (paslon) presiden. Sementara pada pertemuan International Monetary Fund-World Bank di Bali, Menteri Koordinator Kemaritiman enggan berpose dua jari karena dianggap identik dengan nomor urutan salah satu paslon presiden. Laku ekspresi kampanye pejabat tersebut, kini pun sedang dianalisis oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk dinilai terbukti atau tidaknya terjadinya pelanggaran.
Dua Unsur Pelanggaran
Dua panorama kampanye di atas, jika dikaitkan dengan relasi hukum dan politik-etis pun menjadi kian menarik. Dari aspek hukum, misalnya dalam Pasal 547 menyebutkan pejabat negara yang sengaja melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu dalam masa kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda Rp.36 juta.
Dari ketentuan pasal tersebut, maka pejabat yang dianggap melanggar kampanye harus memenuhi dua aspek pelanggaran, yaitu adanya unsur kesengajaan dan timbulnya keuntungan atau kerugian terhadap salah satu calon.
Unsur kesengajaan, nampaknya akan menjadi aspek yang mudah dibuktikan oleh Bawaslu mengingat mustahil pejabat malakukan ekspresi atau membuat kebijakan tertentu tanpa adanya unsur kesengajaan.
Semua laku pejabat dalam berkampanye, dapat dipastikan diawali perencanaan baik spontan atau dengan waktu tertntu. Hal itu yang kemudian, dapat dijadikan aspek penilaian adanya faktor kesengajaan dalam berkampanye. Hanya saja yang kemudian menyulitkan, ialah dalam hal membuktikan ekses keuntungan atau kerugian dari kampanye yang dilakukan pejabat.
Untuk membuktikan adanya keuntungan dan kerugian, tentu harus menggunakan paramater yang mendetail. Misalnya dalam hal mengukur ekses keuntungan dan kerugian elektabilitas, maka instrumennya dapat melalui survei. Apakah pasca kampanye yang dilakukan pejabat, terjadi kenaikan atau penurunan elektabilitas pada paslon presiden tertentu.
Pada dimensi itu saja, tentu bukan cara yang mudah karena memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Karena itu, pada fase pembuktian unsur kedua tersebut seringkali mementalkan niatan Bawaslu untuk menjerat kampanye pejabat.
Tidak heran jika kemudian banyak pejabat yang dinilai melanggar kampanye, tapi kemudian diputus tidak bersalah. Itu semata karena sulitnya membuktikan adanya ekses untung atau rugi dari laku pejabat dalam berkampanye. Model regulasi demikian, tentu kurang memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan sehingga kurang baik sebagai sebuah rumusan pasal dalam peraturan perundang-undangan.
Politik-Etis
Dari segi politik-etis, praktek vulgar dukung mendukung salah satu paslon presiden pun menarik persoalan. Mestinya pejabat –terlebih kepala daerah- tidak membuat forum deklarasi secara terbuka dan menyatakan afiliasi terhadap salah satu paslon dalam pemilu presiden. Ada dua alasan, mengapa hal itu tidak etis.
Pertama, kepala daerah merupakan representasi dari birokrasi dan aparatur sipil negara yang seharusnya mencontohkan sikap netralnya. Memang kepala daerah juga insan politik yang memiliki hak pilih untuk menyatakan dukungan, namun cara penyampaian dukungan sebagai seorang kepala daerah juga perlu ditimbang baik-baik. Oleh karena itu, akan lebih etis deklarasi yang dilakukan harus mempertimbangkan ketentuan regulasi, yaitu dilakukan pada masa cuti atau hari libur.
Kedua, kepala daerah merupakan pengayom masyarakat, sehingga kepadanya melekat tanggungjawab untuk mewujudkan kedamaian di daerahnya. Lekatan tanggungjawab itu, maka kemudian mengharuskan sang kepala daerah berkewajiban untuk terus merajut relasi harmonis dengan warganya.
Deklarasi terbuka mendukung salah satu paslon presiden, justeru berpotensi mengoyak kedamaian yang telah ada di daerah. Hal itu disebabkan, minat dukungan politik warga di daerahnya pasti tidak lah homogen sehingga kepala daerah pun harus menghargai heterogenitas pilihan dari rakyatnya. Karena itu, dengan tidak secara terang-terangan mendukung paslon presiden tertentu menjadi lebih bijak.
Pada prinsipnya, dukung mendukung memang bagian dari hak asasi namun ekspresi dukungan tetap harus mengedapankan etika. Hal itu, semata-mata ditujukan demi terwujudnya pemilu yang harmoni tanpa memperuncing friksi. Semoga.