Minggu, November 24, 2024

Menyoal Etika Akademik: Tantangan Perilaku Mahasiswa di Kampus

Ivan Wahyu Nugroho
Ivan Wahyu Nugroho
Mahasiswa Informatika, Universitas Sebelas Maret
- Advertisement -

Entah sudah berapa kali saya melihat perilaku seperti itu di kampus. Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan banyak mahasiswa. Mungkin, memang terlihat sepele, hanya menyontek dan titip tanda tangan saja. Namun, bukankah itu adalah bibit-bibit tindakan korupsi dan sejenisnya?

Sempat terbesit dalam benak saya, jangan-jangan sebenarnya inilah budaya kita, sebuah kebiasaan turun-temurun yang sudah terjadi sejak lama. Hanya saja kita yang tidak mau mengakuinya.

Kaget saya ketika mendengar sebuah tagline “Mahasiswa sebagai agent of change” di kampus. Bukan bermaksud apa, tetapi masih banyak PR mahasiswa yang harus diselesaikan sebelum terjun menjadi agen perubahan. Saya rasa tagline itu masih jauh bila dibandingkan dengan kebiasaan-kebiasaan `apik` mahasiswa saat ini.

Menjadi mahasiswa tentu adalah hal yang dianggap keren oleh sebagian orang. Menjadi mahasiswa adalah impian bagi sebagian besar pelajar di Indonesia. Masyarakat juga menganggap mahasiswa adalah generasi intelektual. Namun sayang, generasi intelektual ini kini patut dipertanyakan. Bukan soal intelektualitasnya, melainkan soal etika akademiknya.

Semua yang saya tulis ini berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan. Ini semua adalah budaya-budaya mahasiswa yang terus diwariskan dan masih dilakukan hingga kini. Takperlu kaget karena ini sudah menjadi hal lumrah di kampus-kampus.

Terlambat masuk kelas masih dianggap wajar bila terjadi satu dua kali. Namun bila terjadi berkali-kali, itulah tanda tidak bisa mendisiplinkan diri. Namun tenang saja, kan ada teman yang bisa dihubungi. Soal tanda tangan presensi, ada teman yang bisa dititipi.

Ketika kuliah, tugas kelompok tidak jarang diberi. Harapannya, mahasiswa bisa berkolaborasi. Ternyata tidak semua anggota kelompok berpartisipasi. Bahkan, ada pula kelompok yang hypercarry. Namanya juga kerja kelompok, satu orang bekerja, yang lainnya hanya berkelompok.

Tugas di kampus biasanya presentasi. Materi presentasi cuma copas dari Google. PPT isinya hanya tulisan saja.  Menyedihkannya, ketika presentasi masih pula melihat HP, membaca materi tanpa ada interaksi sama sekali.

Tak hanya sampai di situ, plagiasi adalah hal biasa. Mereka tidak peduli menjiplak tulisan milik orang lain. Kalau ternyata ada cek turnitin, panggil saja tukang joki untuk menurunkan plagiasinya. Mudah, ada fulus semua mulus.

Namun, ada satu hal yang mengherankan. Soal terlambat ternyata bukan hanya ketika masuk kelas, bahkan terlambat juga ketika pengumpulan tugas. Tugas berbulan-bulan lalu mereka kumpulkan menjadi satu. Rupanya, kebiasaan begadang selama ini karena mengerjakan tugas yang telah berlalu. Bahkan, ada juga yang kaget ketika diberi tahu ada tugas, entah apa yang mereka perhatikan ketika di kelas.

- Advertisement -

Belum lagi soal maraknya AI sekarang ini. Tugas-tugas bisa dengan mudah diselesaikan dengan instan. AI bisa menyelesaikan soal matematika, bisa mengarang esai, bahkan bisa ngoding. Ini semua adalah pengaruh digitalisasi, tetapi tak seharusnya teknologi mengurangi esensi proses belajar di perguruan tinggi. Memang AI sangat bermanfaat jika digunakan dengan tepat, tetapi di balik itu semua, dalam dunia akademik, AI penuh dengan risiko.

Ketika masa-masa ujian datang, sistem kebut semalam adalah metode belajar yang paling terkenal di kalangan mahasiswa. Sebenarnya ini bukan kebiasaan baik, tetapi mau bagaimana lagi. Kurang menantang rasanya kalau sudah belajar jauh-jauh hari. Hari ketika ujian, mereka akan datang pagi-pagi ke kelas. Apa mereka semangat sekali untuk ujian? Tentu saja, mereka datang pagi-pagi supaya mendapatkan kursi di bagian belakang. Harapannya mereka leluasa komunikasi dengan sebelahnya. Ya, mau bagaimana lagi, dari persiapannya saja sudah minim. Di negeri kita kan menyontek bukan hal yang dianggap tabu seperti di Negeri Sakura.

Ironisnya, ada juga mahasiswa yang katanya “agent of change” suka demo soal penegakan hukum dan isu korupsi, tetapi ketika ujian, masih juga suka `mencuri`. Bagaimana ingin menegakkan hukum di negeri ini, sedangkan kedisiplinan belum bisa ditegakkan dalam dirinya sendiri. Malu rasanya, tatkala tak bisa berkaca pada pundak sendiri, tetapi suka menghakimi.

Nilai mereka adalah nilai palsu. Mereka bisa mendapatkan A-, A untuk nilai mata kuliahnya, tetapi minus untuk etika akademiknya. Hal-hal semacam ini memang terlihat sepele, tetapi sedikit demi sedikit menggerus nilai-nilai pendidikan. Pantas saja, kualitas pendidikan kita tertinggal jauh dibandingkan negara tetangga. Rupanya, inilah kebiasaan kecil, tetapi masif adanya.

Memang sudah seharusnya kita perlu berbenah diri. Memulai kebiasaan baru, kebiasaan yang diisi dengan kedisiplinan diri. Kita harus menjadi “agent of change” yang hakiki. Bukan menjadi mahasiswa yang suka plagiasi dan hanya mengandalkan Chat GPT.  Mahasiswa kini adalah pemimpin bangsa di masa nanti. Berhenti melakukan kebiasaan yang merusak citra pendidikan dan biasakan untuk melakukan kedisiplinan.

Kuliah bukan hanya tentang nilai dan IPK, melainkan juga tentang seberapa berguna ilmu yang kita punya. Negeri ini tidak krisis akan orang cerdas, negeri ini krisis akan orang jujur dan ikhlas. Yakinlah! Apapun tindakannya pasti akan ada balasannya. Tindakan kita mencerminkan jati diri kita sendiri. Sudahi kebiasaan buruk selama ini dan menjadi mahasiswa yang lebih baik lagi.

Ivan Wahyu Nugroho
Ivan Wahyu Nugroho
Mahasiswa Informatika, Universitas Sebelas Maret
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.