Jumat, Maret 29, 2024

Menyoal Delapan Guru Besar yang Dipermasalahkan Bawaslu

Hasbi Rofiqi
Hasbi Rofiqi
Pegiat Indonesia Voters Institute. Peneliti pada Center for Election and Political Party FISIP UI.

Pada akhir bulan Desember 2017 yang lalu, Bawaslu Provinsi Sulawesi Selatan melakukan investigasi terhadap beberapa guru besar dari berbagai perguruan tinggi. Penyelidikan tersebut terkait dugaan pelanggaran asas netralitas yang dilakukan oleh delapan guru besar karena menghadiri kegiatan yang diselenggarakan oleh salah satu pasangan bakal calon gubernur–wakil gubernur Sulsel.

Bawaslu daerah kemudian menyimpulkan bahwa delapan guru besar tersebut telah melanggar asas netralitas sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam pilgub Sulsel. Kesimpulan tersebut didapat setelah melakukan pemanggilan dan investigasi. Hasil simpulan diteruskan ke Komisi Aparatur Sipil Negara untuk ditindaklanjuti.

Selama ini kampus dan para guru besarnya dianggap sebagai sumber pengetahuan, pemilik otoritas keilmuan, lambang intelektualitas dan bila meminjam istilah Plato mereka ini adalah kelompok yang sudah mencapai level virtue. Namun mereka harus menghadapi kenyataan bahwa para guru besar tersebut harus mendapatkan “pengadilan” oleh Bawaslu.

Langkah Bawaslu Sulsel “mengadili” para guru besar tersebut mungkin baru satu-satunya yang pernah dilakukan di Indonesia, dan itu sangat menarik untuk dibahas lebih jauh. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi?

Birokasi dan ASN yang seksi

Birokrasi memiliki potensi yang sungguh besar. Bila dimanfaatkan sebagai alat suksesi politik, maka akan sangat efektif. Administrasi, akses terhadap keuangan, sumberdaya manusia, jaringan sampai ke bawah, sistem, wewenang, mobilisasi massa dan semacamnya merupakan kekuatan yang dimiliki oleh birokrasi. Maka dari itu birokrasi beserta ASN yang ada didalamnya ini selalu dipandang seksi untuk dilibatkan dalam pusaran elektoral.

Padahal dalam berbagai literatur akademik, para sarjana menyebutkan bahwa birokrasi yang ideal adalah birokrasi yang profesional dalam menjalankan tugas pelayanan terhadap negara, salah satu aspeknya adalah netral dari kepentingan politik pragmatis. Politik yang dijalankan oleh birokrasi adalah politik kenegaraan. Diantara beberapa sarjana yang berpendapat demikian adalah Max Weber, Farel Heady, Martin Albrow, Henry Mintzberg dan masih banyak lagi.

Pada era reformasi para ASN dituntut menjadi lebih profesional. UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara telah mengatur sedemikian rupa hingga diharapkan para ASN menjadi profesional yang salah satu aspeknya menjunjung tinggi netralitas. Aturan turunannya yang lebih teknis pun telah dibuat oleh pemerintah.

Namun demikian, pelanggaran ASN terhadap asas netralitas dalam politik praktis masih mudah ditemukan. Ketua Bawaslu periode lalu, Muhammad, membeberkan bahwa terdapat 19 laporan ketidaknetralan ASN yang melibatkan 53 oknum dalam proses penyelenggaraan pilkada serentak 2017. Jabatan para oknum tersebut bervariasi mulai dari sekretaris daerah, kepala dinas, camat dan bahkan sampai aparat desa.

Setiap tahun menjelang pelaksanaan Pilkada, pemerintah melalui kementerian PAN-RAB (Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) tak jemu mengingatkan agar para ASN tetap menjunjung netralitas. Pada tahun 2016 KemenPAN-RB mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE/06/M.PAN-RB/11/2016 tentang Pelaksanaan Netralitas dan Penegakan Disiplin Serta Sanksi Bagi ASN pada penyelenggaraan pilkada serentak Tahun 2017. Kemudian pada tahun 2017 dikeluarkan lagi surat edaran nomor B/71/M.SM.00.00/2017 tentang Pelaksanaan Netralitas bagi ASN pada penyelenggaraan pilkada serentak Tahun 2018, Pileg dan Pilpres 2019. Besar kemungkinan kasus yang dialami oleh para guru besar di Makassar tersebut disangkutkan dengan dua surat edaran diatas.

Gagal paham

Pada surat edaran tahun 2017 ada beberapa hal yang sungguh menarik –bila tidak mau dikatakan aneh- dalam merijitkan makna netral. Pada huruf C nomor 1 diantaranya; pada huruf e disebutkan bahwa PNS dilarang mengunggah, menanggapi (seperti like, komentar, dan sejenisnya) atau menyebarluaskan hal-hal yang terkait dengan calon kepala daerah melalui media online maupun medsos; pada huruf g disebutkan PNS dilarang menjadi pembicara/narasumber pada kegiatan pertemuan partai politik.

Dua pasal tersebut merupakan bentuk kegagapan dan pendefinisian netralitas yang tidak komprehensif. Pemerintah sepertinya lupa bahwa profesi dosen atau peneliti di kampus-kampus banyak yang berstatus PNS. Mereka juga menjadi objek dari SE tersebut.

Bayangkan, bila ada kandidat melalui media sosialnya menyampaikan data yang salah, visi-misi yang ngawur atau opini yang berpotensi menyesatkan opini publik. Hal tersebut tidak bisa secara langsung ditanggapi melalui komentar atau sejenisnya oleh dosen atau peneliti yang berstatus PNS. Padahal mereka inilah sebagai kaum akademis yang mempunyai otoritas keilmuan yang paling memungkinkan untuk melakukan counter opini menjelaskan bagaimana kondisi sebenarnya.

Kemudian, dari mana partai akan mendapatkan sumber pengetahuan apabila para dosen/ peneliti yang ASN tidak diperbolehkan mnejadi narasumber? Padahal partai harus diberi masukan dari kalangan akademisi agar dapat maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Bila netralitas diatur sesempit itu, bagaimana dengan para akademisi ASN yang berasal dari rumpun keilmuan sosial-politik? FISIP terlebih Ilmu Politik? Siapa yang akan memberikan pengetahuan tambahan tentang praktek politik kenegaraan kepada para fungsionaris partai?

Apabila para begawan keilmuan semakin dijauhkan dengan praktek politik praktis maka dikhawatirkan para kandidat dan partai politik tidak mendapatkan tambahan inovasi dan value yang selama ini dikembangkan dalam dialektika akademik.

Seharusnya partai politik didorong agar mau menjalin kolaborasi dengan kampus. Kampus bisa memberikan input kebijakan. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh partai politik tidak hanya berdasarkan pada kepentingan politik pragmatis semata, Namun didasarkan pada hasil penelitian dan kebaikan bersama. Dosen dan peneliti lah yang paling ideal untuk memberikan input tersebut.

Mustinya pemerintah tak perlu takut bahwa kampus akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis. Di kampus selalu ada mahasiswa yangcepat tanggap bergerak untuk menjaga marwah kampusnya sebagai institusi pengembangan peradaban.

Bila hanya berdasar pada SE Menteri PAN-RB Nomor B/71/M.SM.00.00/2017 apa yang dilakukan oleh Bawaslu terhadap para guru besar dapat dimaklumi. Sebagai bentuk penegakan terhadap aturan. Namun bila ditinjau lebih luas, menjauhkan para dosen, peneliti dan kampus dengan praktek politik praktis sangat tidak tepat. Padahal kampus merupakan tempat netral dimana segala hal dibicarakan secara akademis.

Pemerintah perlu membuat aturan baru yang lebih komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan. Netralitas dan profesionalisme ASN jelas harus dijaga agar tidak disalahgunakan dalam politik elektoral. Terlebih pada pos pelayanan publik, pos yang memiliki akses pada sumberdaya pendanaan dan mobilisasi massa. Namun, memposisikan dosen termasuk juga guru besar dan peneliti yang ASN sama dengan ASN administrasi/ pelayanan publik jelas tidak tepat.

Hasbi Rofiqi
Hasbi Rofiqi
Pegiat Indonesia Voters Institute. Peneliti pada Center for Election and Political Party FISIP UI.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.