Filsuf dan Sosiolog Inggris kenamaan, yaitu Bertrand Russel pernah memaparkan kekaguman terhadap Pancasila. Russel menganggap Pancasila adalah sintesis kreatif antara Declaration of American Independence (yang merepresentasikan ideologi demokrasi liberal-kapitalis) dengan Manifesto Komunis (yang merepresentasikan ideologi komunis). Namun sanjungan ini tidak membuat bapak pendiri bangsa, yaitu Sukarno untuk menyetujui sanjungan Russel. Sukarno menganggap bahwa Pancasila adalah karya yang lahir karena kesadaran berbangsa anak negeri, bukan karena diajarkan oleh asing, berikut kutipan pernyataan Sukarno.
Ahli filsafah Inggeris Bertrand Russell yang ulung itulah yang pemah berkata bahwa ummat manusia sekarang terbagi dalam dua golongan. Thomas Jefferson, Golongan lainnya menganut ajaran Manifesto Komunis.
Maafkan, Lord Russell, akan tetapi saya kira tuan melupakan sesuatu. Saya kira Tuan melupakan adanya lebih dari pada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Camkanlah, kami mengagumi kedua ajaran itu, dan kami telah banyak belajar dari keduanya itu dan kami telah diilhami, oleh keduanya itu.
Jadi, dengan minta maaf kepada Lord RusselI yang saya hormati sekali, dunia ini tidaklah seluruhnya terbagi dalam dua fihak seperti dikiranya.[1]
Penolakan Sukarno atas pendapat Russel merupakan sikap konsisten bangsa Indonesia bahwa Pancasila adalah dasar berbangsa-bernegara yang lahir bukan karena mengadopsi pengetahuan atau pengalaman bangsa asing, melainkan karena pengaruh pengetahuan dan pengalaman bangsa Indonesia yang semenjak awal sudah menganut prinsip dan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kepemimpinan yang berbasiskan rakyat dan Keadilan.
Pandangan bahwa Pancasila adalah buatan asli dari bangsa Indonesia juga dicetuskan tokoh-tokoh lain, salah satunya adalah Mohammad Hatta. Hatta menjelaskan bahwa prinsip sosial-ekonomi Indonesia merupakan manifestasi dari kondisi budaya dan sosial masyarakat Indonesia yang lebih mengedepankan nilai-nilai budaya ekonomi kerja-sama dan gotong royong yang merupakan manifestasi dari komunal-tradisional Indonesia.[2]
Heidegger seorang filsuf Jerman berpendapat bahwa hidup adalah memahami, adalah menafsir, sila ke 4 Pancasila pun tak luput dari beragam penafsiran, yang sering kali menimbulkan silang pendapat.
Kata “kerakyatan” sering ditafsirkan sebagai “Demokrasi”, dan Demokrasi Indonesia inipun ironisnya ditafsirkan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan negara barat yang dianggap sebagai rujukan utama Demokrasi. Padahal kenyataannya bangsa Indonesia memiliki sistem kerakyatan berdasarkan karakteristiknya sendiri, bukannya malah meminjam atau mencontoh demokrasi yang dijalankan oleh Negara-negara barat karena pasti tidak cocok diterapkan karena adanya perbedaan pengetahuan, pengalaman dan kebudayaan antara bangsa Indonesia dan bangsa barat itu sendiri.
Demokrasi pada umumnya dibagi menjadi dua aspek, pertama adalah bentuk formal demokrasi dan kedua adalah bentuk substansi demokrasi[3], perdebatan pelaksanaan demokrasi di Indonesia selalu berkutat pada yang formal, yaitu bagaimana bentuk demokrasi yang ideal diterapkan untuk bangsa Indonesia, misal: apakah menerapkan demokrasi presidensial atau parlementer, langsung atau tidak langsung. Padahal, pembahasan formalitas hanya terkait seberapa besar akomodasi besaran suara, tidak terkait substansi kualitas demokrasi yang berdasarkan Pancasila itu sendiri.
Sutan Sjahrir menjelaskan bahwa substansi demokrasi Indonesia jangan sampai malah meneguhkan feodalisme (sistem hirarkis/tidak merata, dimana akses kekuasaan hanya dimiliki oleh kelas bangsawan/atas) yang mengatasnamakan “nasionalisme”[4].
Realitas implementasi sila ke 4 yang secara formalitas mengikut bentukan bangsa asing (terutama barat) dan substansi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila, telah menjadi bahan evaluasi untuk kita kembali menyelami dan menjalan prinsip silake 4 berdasarkan tafsir Pancasila itu sendiri, yaitu; Ketuhanan yang maha esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam bingkai persatuan Indonesia, sehingga mampu membangun sistem Negara yang bersumber dari rakyat yang dipimpin musyawarah-perwakilan yang berasaskan nilai hikmah-kebijaksanaan, sehingga mampu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Memahami Pancasila tidak bisa secara partikular (sebagian), melainkan harus holistik(menyeluruh). Memahami dan menjalankan salah satu butir Pancasila tidak bisa dengan menegasikan butir pancasila yang lain, mengamalkan sila ke 4 harus bersandar pula pada sila pertama, yaitu Ketuhanan yang maha esa. Tan malaka berpendapat bahwa negara berpahamkan ideologi komunis (baca: asing) tidak cocok untuk masyarakat Nusantara/Indonesia, malahan masyarakat Indonesia sudah mengenal dan bisa merasakan arti penting sosialisme itu dengan Islam nya, sikap Tan malaka sama halnya dengan sikap nasionalis-relijius muslim lain yang memisahkan agama dari politik/negara, namun tetap menjadikan prinsip Ketuhanan yang maha esa sebagai sumber nilai kehidupan.[5]
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah konsekuensi dari sila pertama Ketuhanan yang maha esa. Manusia yang bertuhan adalah yang bisa menjadi cerminan Tuhan (Khilafatullah fil ardh), sehingga menjadi manusia yang adil-beradab dan kemudian membangun peradaban (kebajikan) yang melahirkan etika-moral untuk individu dan keadilan untuk masyarakat.
Prinsip berketuhanan dan berkemanusiaan antar sesama ummat manusia menciptakan rasa Persatuan, dan akan melahirkan rasa toleransi-gotong royong-bantu membantu. Jadi, persatuan yang tercipta dari prinsip ketuhanan-kemanusiaan-adil dan beradab bersifat fitrah dan universal, sehingga sila persatuan Indonesia tidaklah sebatas untuk bangsa Indonesia saja, melainkan untuk seluruh ummat bangsa dunia.
Persatuan Indonesia (Nasionalisme) tidaklah bercorak rasisme dan sempit, persatuan Indonesia tercipta dan diikat oleh kesadaran berketuhanan-berkemanusiaan yang bertujuan menciptakan sistem yang memiliki hikmah sehingga menciptakan tatanan keadilan.
Nilai-nilai universal ini tidak hanya bisa dianut oleh bangsa Indonesia, tapi segenap bangsa dunia, Sukarno menjelaskan sila ketiga adalah Internasionalisme. Antara Nasionalisme dan Internasionalisme tidak ada perselisihan atau pertentangan. Memang benar, bahwa internasionalisme tidak akan dapat tumbuh dan berkembang selain diatas tanah yang subur dari nasionalisme.
(Tapi) bukankah Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa itu merupakan bukti yang nyata dari hal ini ? Dahulu ada Liga Bangsa-Bangsa. Kini ada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Nama-nama itu sendiri menunjukan bahwa bangsa-bangsa mengingini dan membutuhkan suatu badan internasional, dimana setiap bangsa mempunyai kedudukan yang sederajat. Internasionalisme sama sekali bukan kosmopolitanisme, yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme, yang anti-nasional dan memang bertentangan dengan kenyataan.
Sukarno mengkritisi Terlalu seringnya perserikatan bangsa-bangsa dipergunakan sebagai forum untuk tujuan-tujuan nasional yang sempit atau tujuan-tujuan golongan saja. Terlalu sering pula tujuan-tujuan yang agung dan cita-cita yang luhur dari piagam PBB dikaburkan oleh usaha untuk mencari keuntungan nasional atau prestige nasional.
Internasionalisme yang sejati harus didasarkan atas persamaan kehormatan, Persamaan penghargaan dan atas dasar penggunaan secara praktis dari pada kebenaran, bahwa semua orang adalah saudara. Untuk mengutip piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa – dokumen yang seringkali dilupakan orang itu – internasionalisme itu harus “meneguhkan kembali keyakinan, berdasarkan hak-hak-yang sama bagi bangsa-bangsa, baik besar maupun kecil”.[6]
Tafsir sila ke 4 berdasarkan Pancasila
Setelah pembahasan sila ke satu sampai ke tiga, barulah kita bisa menjelaskan sila ke 4 yang memiliki relasi dan kesatuan dengan sila-sila yang lain, sila ke 4 diawali dari kerakyatan, kerakyatan disini bukanlah demokrasi yang ditafsirkan oleh asing, melainkan kerakyatan atas tafsir Pancasila, tafsir bangsa Indonesia. kenapa dikatakan kerakyatan, karena harus menjadi Ideologi masyarakat Indonesia. Yaitu,masyarakat yang memiliki kesepakatan sistem bersama yang bertujuan untuk menciptakan manusia yang bertuhan, adil dan beradab (maka disebut Kerakyatan).
Setelah mengupas bentuk ideal-politik sistem kerakyatan, kemudian pembahasan sila ke 4 masuk ke bentuk ideal filosofis-moral nya, yaitu kepemimpin perwakilan yang hikmat-bijaksana. Jadi Pancasila tidak menganut prinsip suara rakyat adalah suara tuhan (vox populus vox dei), karena tidak keseluruhan suara rakyat memiliki nilai-nilai hikmat-kebijaksanaan.
Menurut Nietzsche manusia jika bergeromblol cenderung melakukan “kegilaan”, yang oleh Aristoteles disebut sebagai Mobokrasi (pemerintahan yang dipimpin oleh rakyat, tapi rakyatnya tidak memiliki pengetahuan), dan karena suara rakyat banyak malah sering kali dianggap tidak bersandarkan nilai Ketuhanan (hikmat kebijaksanaan)[7]. Sehingga, perlu suara rakyat untuk diwakili oleh perwakilan-kepemimpinan yang memiliki nilai hikmat-kebijaksanaan, bukan kepentingan-kekuasaan.[8]
Sikap Pancasila bukan berarti membatasi suara rakyat, melainkan Pancasila tetap menjaga kedaulatan suara rakyat sebagai basis sistem kenegaraan, tapi kedaulatan suara rakyat yang dijaga oleh Pancasila tidak terkait banyak sedikit nya suara, melainkan prinsip-prinsip suara rakyat itu sendiri, apakah berdasarkan nilai-nilai Pancasila atau tidak.
Begitupula sebaliknya terhadap sistem perwakilan, Pancasila tidak menghendaki adanya tirani atau otoritarian oligarki (jalannya Negara dilakukan oleh sekelompok perwakilan yang tidak ahli dan mementingkan kepentingan kelompok, bukan rakyat secara keseluruhan), karena perwakilan (dewan ahli/pakar) menurut Pancasila harus terdiri atas manusia-manusia paripurna yang memiliki hikmat-kebijaksanaan (nilai Ketuhanan-Kemanusiaan-Keadilan), bukan kepentingan-kekuasaan.
Pendapat ini seiring dengan Plato, Aristoteles serta al-Farabi yang juga berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang memiliki kecenderungan untuk hidup bermasyarakat (bernegara) dengan tujuan di samping memenuhi kebutuhan pokok hidup juga mencapai kebahagiaan material dan spiritual di dunia dan di akhirat. Dan kriteria kepemimpinan menurut Al-Farabi adalah seorang filsuf yang memiliki karakter kenabian yaitu sifat Ketuhanan, yang jika ditinjau dari perspektif Keindonesiaan, maka nilainya sama dengan Pancasila.[9]
Dan Pancasila mengambil sikap jalan tengah, Sukarno menyebutnya sebagai demokrasi terpimpin, demokrasi terpimpin adalah sistem demokrasi berdasarkan karakteristik Pancasila/Indonesia. Yaitu kekeluargaan, tanpa anarki liberalisme dan otokrasi diktator[10]. Sikap moderat Pancasila telah mengakui kedaulatan rakyat serta kedaulatan perwakilan-kepemimpinan sebagai pelaksana nilai-nilai Pancasila, hubungan antara rakyat dan perwakilan-kepemimpinan melalui mekanisme musyawarah, Musyawarah menurut Sukarno tertuang didalam pidatonya berikut:
Tidak ada saingan antara pendapat- pendapat yang bertentangan, tidak ada esolusi-resolusi dan resolusi-resolusi balasan, tidak ada pemihakan-pemihakan, melainkan hanya usaha yang teguh untuk mencari dasar umum dalam memecahkan sesuatu masalah. Dari musyawarah semacam ini timbul lah permufakatan, suatu kebulatan pendapat, yang lebih kuat dari pada suatu resolusi yang dipaksakan atau yang mungkin tidak disukai oleh minoritet (minoritas).[11]
Musyawarah merupakan nilai luhur bangsa Indonesia, yang tertuang didalam Pancasila, musyawarah merupakan bentuk deliberasi, yang menurut Habermas didalam buku Communicative Rationality bahwa rasionalitas manusia yang kompleks saat ini hanya bisa menghasilkan hal yang positif jika dikomunikasikan sehingga tercapai tujuan bersama. menurut Honneth komunikasi yang deliberatif adalah komunikasi yang mendalam, terbuka dan setara terhadap kelompok masyarakat (publik) atau orang lain, tanpa memandang minoritas atau mayoritas.
Sehingga didalam musyawarah-mufakat pada sila ke 4 tidak ada dominasi partisipasi suara rakyat melawan suara perwakilan-kepemimpinan (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Melainkan semua suara, baik itu suara rakyat maupun suara pemimpinnya saling musyawarah (komunikasi setara) untuk menciptakan keputusan (mufakat) bersama berdasarkan asas Pancasila, sehingga tujuan sila berikutnya tercapai. Yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[12]
Referensi:
[1] Sukarno, Membangun Dunia Kembali, Jakarta, Deppen, 1960. Hlm. 16-17.
[2] Mohammad Hatta, Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia, Jakarta, Penerbit Djambatan.
[3] Kaelan, The Philosophy of Pancasila: The Way of lifeof Indonesian Nation, Yogyakarta, Paradigma Press, 2014. Hal. 226.
[4] Soetan Sjahrir, Perjoeangan Kita, Jakarta, Guntur 49, 2010. Hal. 19.
[5] Tan Malaka, Materialisme Dialektika Logika, 1943.
[6] Sukarno, Op Cit.
[7] The Concise Oxford Dictionary of Quotations, uie third edition, Oxford University Press, 1993.
[8] Kaelani, Op Cit. Hal. 246.
[9] Al-Farabi, Abu Nasr. ” Mabadi Ara Ahl Al-Madina Al Fadila”, (diterjemahkan oleh R.Walzer.” Al-Farabi on The Perfect State”), Oxford: Claendon Press, 1985.
[10] Amanat Presiden RI pada Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1960 dengan judul “Jalannya Revolusi Kita”. Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, Cetakan ke II. Departemen Penerangan, Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, Jakarta: Percetakan Negara
[11] Sukarno, Op Cit. Hal. 21.
[12] Jurgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, Massachusetts, The MIT Press, 1996.