Wujud cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia diimplementasikan dalam sila kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Aspek keadilan mencakup bidang politik, hukum, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sosial-budaya. Nilai vital yang terkandung di dalamnya dengan mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Memberi jaminan untuk mencapai taraf kehidupan yang layak dan terhormat sesuai dengan kodrat. Menempatkan nilai demokrasi dalam bidang ekonomi dan sosial.
Isu keadilan kerap menjadi bahan kampanye berpolitik praktis merebut kekuasaan. Oposan juga memainkan narasi ketidakadilan untuk mengajak masyarakat berbondong “memusuhi” pemerintah. Setiap kebijakan selalu dikaitkan dengan konsep keadilan tanpa parameter nilai yang jelas.
Sementara konsep keadilan menurut John Rawls adalah sebuah fairness, dengan kata lain prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat merupakan tujuan dan kesepakatan. Kesetaraan asali yang berkaitan dengan kondisi alam dalam teori tradisional kontrak sosial.
Sehingga keadilan bukan perkara kesamaan porsi dan proporsi di hadapan hukum dan sosial. Ada kondisi ideal yang semestinya disepakati antara hak dan kewajiban setiap orang. Beberapa variabel yang mempengaruhi keadilan seperti jabatan (kekuasaan), ekonomi (kekayaan), status (tanggung jawab), dan pengaruh (popularitas). Di sisi lain, kesepakatan yang disepakati (aturan/ undang-undang dasar) dipaksa adaptif terhadap perubahan zaman.
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertalite, Solar, dan Pertamax pada tanggal 3 September 2022 dialasi pemerintah sebagai kebijakan pengaplikasian keadilan, sebab dominasi subsidi malah dinikmati rakyat mampu (menengah ke atas). Setelah itu muncul isu subtitusi kompor gas menjadi listrik dan penghapusan listrik 450 VA di tengah keriuhan demo kenaikan BBM di berbagai daerah.
Ketika rakyat menuntut keadilan sesuai amanah konstitusi, kesepakatan keadilan perlu dimusyawarahkan ulang agar tidak lagi muncul kekecewaan, perdebatan media sosial, dan anarkisme sosial. Kesepakatan keadilan harus bisa membatasi otoritarian kebijakan yang dimaksudkan untuk mencapai keadilan, namun malah menambah kesenjangan sosial.
Keadilan menjadi suatu hal yang sangat sulit untuk diwujudkan ketika bentuk keadilan tidak sejalan dengan pemahaman dan penilaian tentang keadilan itu sendiri. Apalagi Indonesia merupakan negara yang majemuk dan multikultur. Bagaimana setiap elemen punya indikator keadilan masing-masing. Sementara hukum yang menjadi alat utama menciptakan keadilan masih banyak memiliki kecacatan. Keadilan legalitas dimaknai sebagai suatu kualitas yang berhubungan bukan dengan isi dari suatu tatanan hukum positif, melainkan dalam penerapannya.
Keadilan pancasila perlu disepakati kesamaan persepsi tentang keadilan yang menjadi dasar terbentuknya hukum yang ideal. Melibat rakyat bermusyawarah dan mufakat menyusun aturan atau undang-undang yang relevan terhadap perubahan zaman. Sementara wakil rakyat yang duduk di parlemen kerap membuat sensasi kebijakan yang justru memberatkan rakyat atau jauh dari keadilan. Ketika pancasila dimaknai secara fleksibel, maka anarkisme kebijakan akan sering muncul di sebuah negara yang menganut asas demokrasi.
Asas-asas keadilan dapat ditentukan dengan proses perjanjian di antara elemen masyarakat dengan mengindahkan kerjasama manusia, moralitas yang minimal, rasa keadilan, pilihan rasional, dan apa yang dinamakan primary goods (hal-hal utama yang ingin diperoleh setiap orang). Sementara konsep adil menurut Kahar Masyhur adalah meletakan sesuatu pada tempatnya, menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang, dan memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang.
Prinsip keadilan yang menyangkut distribusi dari kebebasan dasar yang sama bagi setiap orang dalam arti kesamaan. Kebebasan dasar yang utama adalah Hak Asasi Manusia yang wajib diberikan secara sama untuk setiap orang. Selanjutnya berkaitan dengan jabatan, kedudukan sosial, penghasilan dan kekayaan. Dalam hal ini terdapat asas perbedaan, bahwa kedudukan sosial tidak bisa disamaratakan akan tetapi pembagian keadilan sesuai dengan jasa atau kedudukan bagi individu orang tersebut.
Tanpa kesepakatan, keadilan akan selalu menjadi pembahasan liar di ruang publik mengenai indikator nilai yang ideal. Mayarakat akan mudah berbicara ketidakadilan dalam persepsi hukum dan ekonomi. Setiap kebijakan tidak akan pernah dilihat sebagai implementasi dari keadilan, selain sikap kediktatoran. Membiarkan mengambang konsesus keadilan akan mendorong sistem liberalisme dan kapitalisme di Indonesia.
Sementara keadilan lekat dengan pengaplikasian sistem komunisme yang masih dinilai sebagai ideologi sesat. Apalagi dilihat dari sejarah kelam Partai Komunis Indonesia yang dikontradiksikan pada konsep agama dan ketuhanan. Dari pemahaman mendasar mengenai kausalitas hukum dan keadilan, masyarakat harus memahami bahwa implementasi keadilan hukum berbeda antara orang satu dengan yang lainnya. Ketika kesepakatan dicapai, menuntut keadilan berarti mengingkari penjanjian komunal yang sudah disahkan secara hukum.
Namun moralitas hukum tidak pernah melibatkan masyarakat mendialogkan konsep keadilan yang berimplikasi pada kekacauan konsep keadilan sosial. Seolah setiap orang punya hak mendapatkan bantuan atau subsidi dari pemerintah, sementara gaya hidupnya cukup mewah. Di sisi lain, banyak masyarakat pengangguran yang tidak mendapatkan bantuan hanya karena tidak punya kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Pemerintah perlu menggodok lebih matang setiap kebijakan yang harus mengutamakan asas keadilan sebagai amanah konstitusi. Menganalisis banyak faktor mengenai kepantasan hak dan kewajiban setiap warga negara. Tentu berdasarkan nilai moralitas dan kesepakatan keadilan dalam perspektif bernegara.