Kita hidup di zaman saat tulisan yang diejawantahkan dalam bentuk teks nampaknya menjadi sumber penting dalam proses sosial. Teks bahkan saat ini diyakini sebagai sebuah tradisi sosial (well educated-class). Menulis menjadi satu ssarana penting dari komunikasi sosial, sepenting memenuhi kebutuhan pokok lainnya seperti makan dan minum.
Gambaran teks secara jernih dijelaskan oleh Roland Barthes yang melihat bahwa teks merupakan konstruksi yang berlapis, ibarat bawang, yang mengartikulasikan makna-makna yang bervariasi (bahkan kerap bertentangan), yang memberikan kemungkinan teks itu sendiri sebuah proses penguraian kritisi namun tidak pernah memberi kemungkinan sebuah inti kebenaran yang solid.
Lebih jauh lagi, dalam bukunya Writing Degree Zero (1953), Barthes mengandaikan bahwa menulis sebuah teks tak pernah terikat waktu, melainkan selalu melegitimasi dan merepresentasikan ideologi-ideologi tertentu.
Misal, teks itu senantiasa terkait erat dengan dominasi borjuasi. Melalui teks itu ideologi borjuis memperlihatkan realisme dalam sebuah klaim sosial, yang disebutnya dengan obyektivitas. Melalui klaim obyektivitas inilah teks hendak mengabarkan “kebenaran-kebenaran”. Dan apa yang diandaikan dengan “kebenaran-kebenaran” itu sangat terkait dengan kepentingan (interest politic).
Sebagai suatu gambaran empiris, Muhammad Arkoun menulis panjang lebar tentang apa yang dimaksudkan oleh Barthes diatas. Dalam bukunya Rethiking Islam Today dan kemudian diterjemahkan dalam seri Indonesia yang berjudul Islam Kontemporer (2001), Arkoun mencoba membongkar selubung politis dibalik penulis korpus teks Agama (Islam). Bagi Arkoun, sejarah merupakan inkarnasi aktual dari wahyu sebagaimana ia diinterpretasikan oleh para ‘ulama dan disimpan dalam kenangan kolektif.
Wahyu memelihara kemungkinan memberi sebuah legitimasi “transenden” bagi tatanan sosial dan proses historis yang diterima oleh kelompok tertentu. Sepanjang tidak ada rasionalitas kritis yang menggantikan kemapanan berfikir lama, maka legitimasi “transenden” itu akan terus terjaga. Kenyataan inilah yang agaknya hendak dipotret oleh Julia Kristeva melalui konsep semiotike-ideologeme. Ia menyatakan sebuah bentuk “tekstual” yang dihasilkan dalam arena budaya dan sejarah tertentu melalui epos, mitos, dan cerita rakyat (Kristeva; 1974).
Jika pada masa Rasul, kenangan kolektif yang berupa cerita itu tersimpan dalam ingatan dan sumber oral Nabi Muhammad sendiri, maka pasca Rasul, apa yang disebut dengan “sumber transendensi” menjadi sedikit “problematik” dan acapkali menjadi perdebatan.
Khalifah Utsman dan generasi pemimpin Islam seterusnya mengatasinya dengan membuat mushaf. Melalui mushaf ini Utsman sebagai penguasa politik saat itu menyatakan sebagai korpus yang tertutup (official closed canon- istilah Arkoun) yang tidak boleh dikurangi, ditambahkan, dihapuskan, bahkan diintrepretasikan dengan cara yang berbeda dengan keumuman zaman itu.
Mengenai hal ini tentu jelas ada pergeseran dalam kebudayaan Islam, yakni dari tradisi oral menjadi teks. Jika telah melibatkan teks sebagai sebuah sumber, maka beberapa pemikir linguistik seperti Gadamer, bahkan Barthes sendiri memandang penting untuk menggunakan kajian linguistik dan semiotik.
Melalui metode ini pula, penulis dan penafsir Mesir yang tinggal di Belanda, Nasr Hamid Abu Zayd menggunakan metode hermeneutik dalam menafsirkan Al Qur’an. Oleh Schleiermacher, hermeneutik itu dilihatnya sebagai seni penafsiran (lihat: Andrew Edgar and Peter Sedgwick;1999).
Arkoun sendiri melihat bahwa dengan digunakannya tradisi kitab (teks) akan semakin menguatkan peran penulis. Dan tradisi tulis dalam teks (written-learned culture) itu adalah tradisi kaum terpelajar. Akibatnya, dominasi budaya kaum terpelajar terhadap budaya rakyat-lisan (oral-folk culture) menjadi tidak terelakkan. Dominasi ini akan semakin kokoh, ketika negara dan penguasa menjadi bagian penting dari relasi kelas sosial tersebut. Negara jelas akan membutuhkan arsip resmi dan historiografi formal sebagai bahan regulasi, dan hal itu didapatnya dari tradisi tulis.
Studi yang dibuat Arkoun memperlihatkan bahwa berbagai buku dan teks yang dituliskan oleh intelektual muslim (klasik) tidak serta merta sebagai sebuah aktivitas kultural dan intelektual, tetapi juga untuk merespon tuntutan resmi negara maupun masyarakat sipil (tentu golongan sipil dalam tradisi tulis).
Bagi saya, politisasi tulisan akan kian komplek lagi kemudian, ketika generasi penulis-penafsir sekunder (setelah corpus pokok) terlibat “pertempuran” klaim dan makna dari sebuah penafsiran atas realitas yang berkembang pada masa sekarang atau di hari depan.
Pemikir dan penulis Islam lainnya seperti Mohammad Said Al-Ashmawy membongkar maksud politik atas nama hukum Tuhan. Al Ashmawy mampu mencium aroma kekuasaan dibalik semangat dan getolnya kaum fundamentalis agar diterapkannya syariat Islam di sebuah wilayah sosial tertentu.
Dalam tulisannya Against Islamic Extremism (1998), Al Ashmawy melihat hanya ada 80 aturan-aturan hukum dalam Al Qur’an, sisanya mengatur wilayah-permasalahan yang bersifat personal. Bagi Ashmawy, konsep syari’ah telah disalahartikan. Ashmawy melihat bahwa syari’ah itu bukan hukum Islam, tepatnya bukan hukum Tuhan, akan tetapi hasil dari penafsiran kaum terdidik (tekstualis) terhadap Al Qur’an.
Tentu ini pun problematis adanya pada kalangan ahli terkait divine law dan jurist law untuk bagaimana memilah mana wahyu Tuhan yang transenden dan mana hasil para penulis-penafsir. Sehingga sangat tidak tepat ketika syari’ah tadi dijadikan dasar politik kenegaraan yang secara sosio kultural berkontur plural. Sebab syari’ah cenderung mengatasnamakan hukum Tuhan yang berakibat fatal bagi nilai-nilai Islam yang universal sifatnya. Lebih jauh Ashmawi melihat hal ini merupakan ancaman terhadap kemanusiaan dan perdamaian, dan merendahkan nilai-nilai Islam.
Tulisan diatas hanyalah sepenggal pengalaman kecil dari sejarah tradisi tekstualitas Islam. Melihat kenyataan ini, apa yang bisa dilakukan oleh para penulis? Bagi saya ada beberapa dimensi yang patut diutamakan dan menjadi penting bagi penulis:
Pertama, penulis harus meniatkan semangat kritis, sebab tanpa modal ini, sejatinya tekstualitas akan semakin akut serta memapankan hegemoni dan mengaburkan realitas yang ada. Maka benar apa kata Antonio Gramsci, bahwa hegemoni sebagian besar beroperasi lewat teks.
Kedua, keberpihakan penulis adalah sesuatu yang tak dapat disangkal. Sebab lewat tektualitas itu, pikiran sang penulis akan diingat sejarah. Pilihannya tergantung sang penulis, dia mau diingat sebagai pengekor kekuasaan atau penyambung suara dari budaya rakyat yang terpinggirkan. Wallahu a’lam.