Kini, populasi Muslim dunia kian meningkat. Kondisi demikian bisa jadi dua sisi yang kontradiktif. Bisa jadi poin plus sekaligus musibah. Poin plus karena sederhananya dengan mudah dapat ditemui kerabat Muslim. Pastinya juga dengan mudah dapat ditemukan masjid. Negatifnya, bisa jadi beban masyarakat. Wajah Islam pastinya dirundung malu. Maka bila demikian yang terjadi, saatnya berbenah demi wajah Islam yang lebih anggun.
Baru-baru ini, Pew Research Center (2017) merilis hasil risetnya, “The Changing Global Religious Landscape”. Pada pokoknya, laporan itu mengabarkan bahwa periode 2010-2015 lalu, agama Kristen masih dengan populasi tertinggi, 223 Milyar (Kristen) dan 213 Milyar (Muslim). Namun untuk tahun 2035, jumlah kelahiran Muslim akan berbalik jauh lebih besar daripada kelahiran agama Kristen.
Bahkan, pada periode 2055-2060, angka kelahiran Muslim menjadi 36 persen dan kematian 25 persen, kelahiran Kristen 35 persen dan kematiannya 31 persen, serta agama lainnya 9 persen kelahiran dan 16 persen kematian. Sudah barang tentu angka itu menandaskan populasi Muslim masa depan akan sangat besar. Namun Muslim dunia perlu hati-hati. Sebab, jumlah yang bejibun—meminjam istilah Buya Syafii Maarif—justru bisa jadi polemik. Jika di tahun 2015 lalu jumlah Muslim baru mencapai 1,8 Milyar, maka pada 2060 diprediksi berubah menjadi 3,0 Milyar. Angka yang sangat fantastis.
Rupanya hasil perhitungan itu selain dipengaruhi faktor kelahiran tinggi, juga faktor pindah agama (switching religion). Pew Research Center menyebut, periode 2015-2020 diperkirakan 1,3 juta orang masuk Islam dan 880 ribu orang keluar Islam. Maknanya bertambah 420 ribu orang. Kalkulasi itu berkebalikan dengan Kristen yang minus 8,1 juta orang. 4,9 juta orang masuk Kristen dan 13,1 juta keluar Kristen.
Namun lagi-lagi kalau berdasar Pew Research Center, Muslim akan tumbuh jauh lebih cepat daripada agama lain. Pertumbuhan global religion saja 32 persen, Islam 70 persen, dan Kristen 34 persen. Walau sebetulnya data itu tidak mencerminkan keseluruhan. Karena hanya berdasar angka kelahiran dan kematian. Tapi tetap lebih dari cukup untuk menggambarkan Muslim di hari depan. Lantas pertanyaanya, bagaimana kualitasnya, akankah juga biq quality?
Pertanyaan ini patut dijawab dengan objektif. Sebelum itu kita pasti ingat substansi hadits Rasulullah Saw. Suatu saat Muslim akan sangat banyak jumlahnya, sehingga menjadi santapan berbagai kaum. Dipermainkan pelbagai friksi agama maupun ideologi, ironi.
Fakta memang begitu. Kualitas Muslim jauh tertinggal. Baik ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi. Sederhana saja, misalnya bidang ilmu pengetahun. Banyak non-muslim jauh lebih tahu tentang Islam. Sebut saja Karen Armstrong. Seorang mantan biarawati katolik asal London yang banyak menulis buku tentang Islam. The Prophet Muhammad dan The History of Islam adalah sederet karyanya. Kemudian John L. Espocito dengan berbagai karyanya tentang dunia Islam, dan masih banyak lagi. Tak bisa disangkal, kesemua karya mereka tentu merangsang wacana intelektual di dunia Islam.
Itu baru satu sisi, bagaimana sisi lain, ekonomi misalnya. Jelas, Muslim jadi permainan pasar para konglomerat yang umumnya bukan Muslim. Seorang Muslim hanya berada dibawah bayang-bayang adidaya Amerika dan China. Timur Tengah saja dengan rezeki minyaknya, justru hanya menjadi budak di negara sendiri. Menjadi area pertarungan dan pasar senjata yang potensial bagi Amerika dan Rusia.
Sadar Diri
Untuk itu, Muslim kini harus sadar diri dan bergegas memperbaiki rumah. Pew Research Center (2017) juga memperingatkan melalui riset lainnya, “Global Public More Upbeat about the Economy, But many are pessimistic about children’s future”. Pokoknya, riset itu menyatakan rasa pesimistik atas finansial dan ekonomi anak-anak masa depan. Angka keyakinanya hanya 34 persen. Meskipun riset itu tidak menunjukkan spesifikasi agama, tapi sudah cukup menggambarkan kondisi manusia di hari depan.
Jika berdasar itu, maka banyak hal penting yang harus disiapkan sedari dini. Pertama, reformasi pendidikan. Reformasi pendidikan jadi hal penting karena kunci dasar perbaikan kualitas sumberdaya manusia. Selama ini, nalar kritis pendidikan di mayoritas negara berpenduduk Muslim jauh tertinggal dengan yang dikembangkan oleh Barat (Eropa dan Amerika Serikat). Buktinya, berapa hasil penelitian yang bisa dihasilkan oleh negara mayoritas Muslim tiap tahunnya? sangat jauh tertinggal dengan Barat.
Untuk itu reformasi pendidikan harus diarahkan pada penguatan basis nalar intelektual-kritis. Yang mana riset adalah tumpuan utamanya. Perguruan tinggi harus jadi prioritas reformasi. Sebab lumbung utama dekonstruksi keilmuan adalah pada Perguruan Tinggi. Dalam pada ini,pengarahan mahasiswa untuk lebih giat melakukan riset adalah satu prioritas yang harus digalakkan. Sebab tanpa riset kerja intelektual akan sia-sia.
Kedua, reformasi berfikir. Muslim sekarang kurang bisa bersyukur. Mereka tidak menggunakan Al-Quran sebagai teks pedoman melangkah. Padahal umat lain yang sudah jauh melangkah tidak memiliki teks asli berasal dari zat yang dianggap Tuhan. Teks mereka sudah terkamuflase oleh kepentingan kelompok, sehingga tidak lagi murni.
Kondisi ini berbeda dengan Muslim. Sekarang tinggal bagaimana teks itu diturunkan menjadi langkah-langkah optimis. Ma’arif (2009) mengingatkan, jangan takut berfikir inovatif, bahkan visioner. Harus berani melangkah, berfikir terbuka, dan menjadi manusia independen dibawah ketaqwaan Tuhan.
Itulah hal yang harus jadi fokus kerja Muslim kini dan hari esok. Bila dilakukan dengan sungguh-sungguh, tulus, dan jujur. Optimis, kedepan, bejibun Muslim tahun 2060 akan jadi ulangan golden age of Islam. Bukan lagi buih di lepas pantai.