Mental serba instan yang menjangkiti bangsa ini tak dapat dipungkiri turut menjalari kaum akademisi. Sementara para pengajar lebih sibuk memburu keuntungan-keuntungan ekonomis-politis di luar kampus. Di sisi lain, para pelajar lebih berorientasi mengejar gelar akademik hanya demi tujuan tertentu ketimbang memikirkan kualitas keilmuan mereka.
Gambaran ini sangat disayangkan mengingat kaum akademisi seharusnya lebih banyak menghabiskan waktu untuk bergelut dalam bidang keilmuan yang mereka tekuni. Mereka seharusnya terus menerus mengasah, mendalami, dan memperkaya pengetahuan untuk memantapkan martabat mereka sebagai kaum terpelajar. Apalagi, di tangan merekalah ilmu pengetahuan mesti terus dipertanyakan, digugat, dan direkonstruksi, untuk menelurkan ilmu pengetahuan baru yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Kasus dugaan doktor bodong yang terjadi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang terungkap beberapa waktu lalu, adalah satu contoh. Sebagaimana pemberitaan di pelbagai media massa, disebutkan bahwa terdapat penyimpangan akademik berupa pemberian gelar doktor (S3) kepada mahasiswa dengan disertasi hasil plagiat (jiplakan).
Ironisnya, kecurangan itu bahkan diduga melibatkan Rektor UNJ nonaktif, Profesor Dr H Djaali. Belakangan, dari hasil penyelidikan Tim Independen yang dibentuk oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), diketahui bahwa setidaknya ada tiga doktor lulusan UNJ yang melakukan plagiarisme.
Ketiganya berasal dari Sulawesi Tenggara, yakni Nur Alam (Gubernur Nonaktif), Sarifuddin Safaa (Kepala Bappeda), dan Nur Endang Abbas (Assisten I Sekretariat Daerah). Tiga pejabat tersebut merupakan mahasiswa Program Doktor Ilmu Sumber Daya Manajemen Manusia Pascsarjana UNJ.
Apa yang terkuak di UNJ itu menunjukkan, bahwa kaum akademisi sekalipun, orang-orang berpendidikan tinggi, manusia yang dipandang adiluhung dan merupakan tonggak peradaban manusia, ternyata juga tidak imun terhadap penyakit serbainstan itu.
Kesulitan dalam Menulis
Sebagai orang yang kebetulan juga bernaung di lingkungan universitas, saya berkesempatan mengamati laku-laku mental serba instan itu sehari-hari. Utamanya, di kalangan pelajar, baik itu S1, S2, maupun S3, terdapat kecenderungan untuk mendapatkan sesuatu dengan mudah dan praktis. Para pelajar cenderung lebih suka mengungkapkan pemikiran secara verbal-lisan ketimbang menuangkannya ke dalam bentuk aksara-tulisan, entah itu sekadar esai ringan, makalah pendek, atau penelitian ilmiah.
Demikian juga halnya dalam mencerap ilmu; mayoritas pelajar cenderung lebih suka mendengarkan penuturan lisan dari dosen daripada berjibaku membaca buku. Pada gilirannya, pelajar hanya akan menulis ketika diberi tugas. Saya kira, dari situlah banalitas intelektual itu bermula.
Hemat saya, orang yang tidak biasa menulis, sekalipun dia berpendidikan tinggi, akan kesulitan ketika dihadapkan pada tantangan untuk menulis. Sehingga, saat tiba waktunya dia harus menulis (tesis atau disertai, misalnya) agar bisa menamatkan studinya, yang terjadi adalah upaya-upaya praktis yang cenderung mengarah kepada kecurangan, seperti plagiarisme dan/atau menggunakan jasa pembuatan karya ilmiah. Yang disebutkan terakhir ini belakangan menjamur di Yogyakarta dan beberapa kota lain, dan iklannya bahkan disebar tanpa tedeng aling-aling; di tiang listrik, di pohon, di tembok kampus, dan lain-lain.
Hal yang tak jauh berbeda juga terjadi di kalangan dosen/pengajar, di mana terdapat kecenderungan, mereka hanya menulis ketika hendak mengincar kenaikan pangkat atau golongan, atau ketika ada proyek-proyek tertentu yang menjanjikan fulus. Dari sinilah kemudian muncul istilah “dosen asongan” yang sudah sering kita dengar di lingkungan kampus. Dosen yang masuk dalam kategori ini biasanya lebih sibuk mencari pendapatan di luar kampus, dan bahkan menjadikan kewajibannya di kampus seakan kerja sampingan belaka.
Akibatnya apa? Dosen yang demikian biasanya akan mempercepat jam mengajar mereka di kelas. Yang seharusnya tiga SKS dengan durasi dua setengah jam, misalnya, bisa menjadi hanya satu jam atau bahkan tidak hadir sama sekali dengan berbagai alasan. Ironisnya, para mahasiswa senang pula dengan yang demikian. Presensi (kehadiran) pun lantas diakal-akali atas kesepakatan bersama dosen dan mahasiswa. Saat kebiasaan itu terus berlanjut, yang terjadi adalah degradasi kualitas pendidikan. Lalu, jika mengajar saja pun sudah malas, bagaimana dengan menulis? Akhirnya hanya dosen-dosen tertentu saja yang bisa kita nikmati buah pikirannya di media massa.
Kangkangi Permenristekdikti
Paparan di atas pada akhirnya persis dengan apa yang terungkap di UNJ. Antara lain seperti adanya manipulasi jumlah kehadiran, waktu kuliah yang tak sesuai (lebih cepat dari) beban KRS yang diberikan, serta dosen promotor yang bisa membimbing hingga lebih dari sepuluh mahasiswa calon doktor. Semua itu mestinya tidak boleh terjadi. Sebab, sudah ada Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, yang telah mengatur seluruh ketentuan dari pelanggaran tersebut.
Misalnya, terkait SKS, mahasiswa program doktor harus menyelesaikan 42 SKS dalam jangka waktu maksimal tujuh tahun. Kemudian, seorang promotor, menurut peraturan tersebut, maksimal hanya dapat membimbing sepuluh mahasiswa. Tidak lebih!
Terungkapnya pelanggaran-pelanggaran seperti di UNJ tersebut menunjukkan bahwa Peraturan Menristekdikti tersebut sangat mudah dikangkangi. Bisa jadi, selama ini memang tidak ada pengawasan ketat terkait penerapan peraturan tersebut. Aturan tersebut dibuat di atas kertas tapi dalam realitas penerapannya kerap dikelabui demi kepentingan-kepentingan yang serbainstan.
Jika benar peraturan tersebut mudah dilanggar, tanpa bermaksud berburuk sangka, apa yang terungkap di UNJ bisa jadi juga terjadi atau tengah berlangsung di kampus-kampus plat merah lainnya di Indonesia. Atas dugaan itu, Kemenristekdikti dirasa sangat perlu memeriksa seluruh perguruan tinggi negeri yang ada. Guna menemukan kemungkinan terjadi persoalan yang sama, sebaiknya pemeriksaan dilakukan secepat mungkin dan tidak diulur-ulur.
Sebagai bahan refleksi untuk perbaikan pendidikan dan peradaban di bangsa ini, kasus di UNJ itu harus dijadikan sebagai titik tolak untuk mengubah mental kita bersama. Mental yang dimaksud tak lain adalah mental serba instan, mental yang menginginkan segalanya diperoleh secara praktis, mudah, dan cepat. Kaum akademisi punya tanggungjawab terbesar dalam hal ini.