Dr. Djaja Surya Atmaja yang biasa dipanggil Dr. Djaja atau Dr. Atmaja sempat menempati puncak trending di twitter beberapa waktu lalu, karena mengungkap sederet fakta forensik dibalik kematian mendiang Mirna Salihin, korban kasus pembunuhan kopi sianida pada tahun 2016.
Diketahui Dr. Djaja merupakan salah satu saksi ahli yang dihadirkan pihak terdakwa pada kasus sianida waktu itu. Kesaksiannya di beberapa podcast seperti di channel youtube dr. Richard Lee dan Fenni Rose kemarin lalu cukup mencengangkan publik, sebab ia menerangkan bahwa visum (laporan ahli mengenai pemeriksaan terhadap korban) tidak sesuai dengan orang yang meninggal karena sianida. Adapun saat itu ternyata korban tidak dilakukan autopsi dan hanya diambil sampel beberapa bagian organ.
Dr. Djaja Surya Atmaja adalah dokter dan ahli Patologi forensik, serta merupakan dokter forensik pertama di Indonesia. Ia juga ahli analisis DNA forensik, paham hukum, memiliki pengalaman sebagai anggota Dewan Penasihat Ilmiah Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag, Belanda. Dengan pengalaman dan keprofesionalitasannyalah, ia menjadi dokter forensik yang diakui secara internasional.
Jauh sebelum kasus sianida Jessica-Mirna 2016, dr. Djaja juga pernah menangani kasus kriminal sebagai saksi ahli DNA Forensik, salah satunya kasus Wartawan Udin Bernas. Seperti dalam podcastnya bersama Fenni Rose, Fenni bertanya terkait pengalaman dr. Djaja ketika mendapat ancaman saat menangani kasus.
“Oke dok, sebagai ahli patologi forensik DNA, banyak pengalaman terdapat resiko-resiko ancaman dan lain sebagainya, yang dokter ingat deh, pernah ada kasus ancaman apa?”, tanya Fenni.
Dr. Djaja pun menjawab dan menyebut kasus wartawan udin tahun 1996 silam sebagai kasus yang cukup janggal dan beresiko baginya. Kejanggalan terjadi karena ia diminta untuk mengatakan sesuatu saat di persidangan. “Perselingkuhan adalah kasus yang biasa, tetapi pernah kejadian, satu kasus dimana mereka mau saya mengatakan sesuatu, pada kasus wartawan Syarifuddin”, katanya.
Siapa Wartawan Udin?
Wartawan Udin merupakan seorang Jurnalis Harian Bernas dengan nama lengkap Fuad Muhammad Syafruddin. Udin meninggal dunia di RS Bethesda, Yogyakarta, sebab koma 3 hari setelah dianiaya oleh pria tak dikenal di depan rumahnya di dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis KM 13, Bantul, Yogyakarta.
Hasil Investigasi dan Alat Bukti
Hasil investigasi wartawan Bernas yang bergabung dalam Tim Kijang Putih dan Tim Pencari Fakta dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta ditemukan petunjuk bahwa Udin dibunuh karena tulisan-tulisan dan kritikannya terkait kasus korupsi proyek Parangtritis di Bantul.
Tiga alat bukti yang ditemukan pada saat itu yaitu pertama baju Udin yang basah dengan darah, kedua baju tersangka “Iwik” yang disita juga bersimbah darah, ketiga alat pukul yang diduga sebagai alat pembunuhan juga terdapat darah. Hasil tes DNA yang dilakukan hingga ke Inggris menemukan bahwa ketiganya memiliki DNA darah yang sama.
Dr. Djaja menjadi Saksi Ahli DNA Forensik dan 20 Orang Tidak dikenal
Akibat sulitnya prosedur untuk mendatangkan saksi ahli dari Inggris, maka dipilihlah saksi ahli DNA yang berasal dari Indonesia. Singkat cerita, terpilihlah dr. Djaja sebagai saksi ahli. Dr. Djaja yang pada saat itu telah menjadi dokter DNA Forensik terpilih untuk menjadi saksi ahli. Meski ada suatu instruksi yang diterimanya untuk mengatakan di persidangan bahwa DNA pada ketiga alat bukti itu sama, ia tak lantas mengiyakan, namun memeriksa ulang sendiri ketiga alat bukti.
Setelah diperiksa ulang dan hasilnya sama seperti hasil tes di Inggris, ia bergegas dipanggil untuk menghadiri persidangan di Pengadilan Negeri Bantul, dan ia ditempatkan di hotel yang cukup jauh dari lokasi. Dr. Djaja menerangkan, saat di hotel ada sekitar 20 orang tidak dikenal yang siap mengerumuninya.
Orang-orang tersebut berpesan kepada dr. Djaja untuk mengatakan sesuatu guna menghubungkan antara hasil tes DNA darah dengan tersangka, “Mereka bilang, tolong besok dokter bilang ‘berdasarkan hasil DNA itu, membuktikan bahwa memang betul si Iwik memukul Udin dengan pentungan tersebut’ “. Meski sendiri, dr. Djaja bersikap tegas dan menolak untuk mengatakannya.
Dr. Djaja yang notabenenya juga paham tentang hukum berkata “Dokter forensik hanya tahu faktanya, fakta menunjukkan bahwa DNA pada baju Udin, baju Iwik, dan pentungan berasal dari orang yang sama. Tetapi bagaimana darah tersebut bisa ada pada ketiga alat itu bukan urusan saya, saya tidak tahu karena itu adalah kewenangan saksi mata”, terangnya.
Orang-orang tersebut tetap membujuk dr. Djaja untuk mengatakan hal itu dengan tujuan untuk meyakinkan hakim. Sampai akhirnya, mereka diskusi bersama mengatur pertanyaan-pertanyaan yang boleh dan tidak boleh dijawab sesuai kewenangan dr. Djaja hingga jam 5 pagi.
Dr. Djaja waktu itu juga tetap memperingati “Mohon maaf pak, tapi kalau ada para pihak yang bertanya pertanyaan yang tidak boleh saya jawab, saya akan menjawab apa yang harus saya jawab”, tegasnya. Kemudian, kesepatan dengan orang-orang tersebut berhasil dilakukan.
Hari Kesaksian
Cerita dr. Djaja berlanjut, keesokan harinya, saat persidangan berlangsung, ternyata hakimlah yang bertanya pertanyaan yang tidak boleh dijawab. Pertanyaan-pertanyaan itu diantaranya: ‘Jika hasil tes DNA sama, apakah membuktikan bahwa terdakwa memukul korban?’ ‘Apakah terlihat kapan simbah darah tersebut ditaruh pada alat bukti?’ ‘Bisa tidak darah pada alat bukti direkayasa?’.
Kesaksian dr. Djaja kala itu yang tidak bisa membuktikan bahwa terdakwa adalah pelaku, membuat kehebohan di persidangan. Sama seperti kasus Jessica-Mirna, orang-orang yang berbondong-bondong datang mengikuti persidangan ramai dan meminta kejelasan. Akhirnya, selang beberapa waktu, terdakwa Iwik dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan. Tidak sejalan dengan kebebasan terdakwa, nyatanya hingga kini, kasus ini pun masih menjadi misteri karena belum terungkap siapa dalang/pelaku dibalik pembunuhan wartawan Udin.