Minggu, Oktober 6, 2024

Menjernihkan Kembali Kebebasan Berpendapat di Indonesia

Andi Novriansyah Saputra
Andi Novriansyah Saputra
Penulis, Murid di Kader Pemikiran Islam Indonesia Batch 2.

Menjelang akhir bulan oktober 2020, Lembaga survei indikator politik telah mengeluarkan hasil penelitian terkait indeks demokrasi dan kebebasan berpendapat masyarakat selama satu tahun periode kepemimpinan Joko widodo dan KH. Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia.

Salah satu hasil survei memperlihatkan bahwa begitu banyak responden yang mengatakan “setuju” akan ketakutan mereka mengeluarkan pendapat di era pemerintahan saat ini. Angka mereka yang sangat setuju menunjukkan sebanyak 21,9 persen, agak setuju sebanyak 47,7 persen, yang mengatakan kurang setuju 22,0 persen dan yang tidak setuju sama sekali sebanyak 3,6 persen (Sumber dari Suara Merdeka.com). Data tersebut tentu menjadi peringatan bagi pemerintah untuk senantiasa memperhatikan kebebasan berpendapat rakyatnya.

https://statik.tempo.co/data/2019/09/24/id_875142/875142_720.jpg

Hal ini dapat terlihat jelas di lapangan serta video-video yang beredar ketika kelompok demonstran mendapat tindakan yang begitu represif dari para aparat keamanan saat menyampaikan aspirasinya. Bahkan gelombang penolakan dari para kelompok buruh, aktivis dan ahli terkait pengesahan UU Cipta Kerja, yang disinyalir oleh anggota dewan yang menolak undang-undang tersebut sebagai “hanya ketok palu saja” juga tidak didengar oleh penguasa.

Belum lagi dengan kasus-kasus yang berasal dari postingan media sosial, dimana pengguna akun merasa menggunakan haknya untuk memberikan kritik bagi pemerintah tapi harus dilaporkan pada pihak berwajib karena dianggap melakukan ujaran kebencian. Maka wajar begitu banyak responden dari penelitian tersebut yang setuju adanya ketakutan mengeluarkan pendapat.

Mereka yang Mengeluarkan Pendapat

Pada konteks demokrasi partisipatoris di Indonesia, sepantasnya setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara mengeluarkan pendapatnya baik itu pro atau kontra terhadap penguasa, dihadapan demokrasi semua mendapat tempat yang sama. Mereka yang memangku jabatan (baca: pemerintah) tentu diharapkan dapat menampung setiap aspirasi dari rakyatnya agar dapat menjadi bahan pertimbangan dalam membuat suatu kebijakan. Untuk itu diperlukan tidak hanya sekedar pujian tapi juga kritikan yang membangun dan bertujuan untuk kemaslahatan bersama.

Namun apakah mereka yang selama ini terjerat hukum karena argumentasinya terdapat ujaran kebencian yang merusak persatuan bangsa? Tidak sedikit diantara mereka mengatakan bahwa kritik yang dilontarkan masih sangat wajar dan bertujuan untuk kebaikan pemerintah itu sendiri. Pada masa kampanye pilpres 2019 kemarin misalnya cukup banyak penangkapan yang dilakukan terhadap pihak lawan politik petahana akibat kritik yang dipublikasikan dinilai mengandung ujaran kebencian. Bentuk represifitas pemerintah dianggap pihak kontra tidak normal dalam tatanan sistem demokrasi yang melindungi kebebasan berpendapat seluruh warganya.

Walaupun begitu, tindakan hukum yang diberikan kepada mereka yang disebut telah mengeluarkan ujaran kebencian juga tidak dapat dikatakan tindakan semena-mena. Tentu saja ada landasan hukum yang digunakan oleh pihak berwenang dalam memproses setiap laporan. Apakah dalil hukum yang ditegakkan sesuai dengan fakta di lapangan? Itu kembali lagi pada mereka yang mengerti dan mengkaji praktek hukum di Indonesia. Pada dasarnya hak bersuara atau menyampaikan pendapat setiap warga negara telah dilindungi oleh hukum, salah satunya terdapat dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28 E ayat 3.

Kebebasan Berpendapat dalam Demokrasi

Kebebasan dapat digambarkan bahwa setiap orang mampu melakukan apapun sesuai dengan keinginan hatinya dan tentu saja bertanggung jawab. Mereka yang mendapat kebebasan perlu untuk memikirkan segala sesuatunya secara matang sebelum bertindak. Tanggung jawab menjadi sangat penting karena itu yang akan memberikan makna dari perilaku yang diperbuat atas dasar kebebasan. Franz Magnis-Suseno bahkan membagi kebebasan manusia menjadi dua, yakni kebebasan eksistensial yang berasal dari intuisi individu itu sendiri dan kebebasan sosial yang dibatasi oleh aturan-aturan hukum yang jelas.

Jika dilihat pada konteks kenegaraan, maka kebebasan sosial yang sesuai untuk dibahas. Apalagi jika melihat kembali manfaat dari sistem demokrasi yang sudah sepantasnya memberikan setiap orang hak yang sama sebagai suatu dasar kebebasan. Untuk hal ini terdapat kebebasan dalam menentukan pilihan politik, kemerdekaan berbicara, berpikir, kebebasan nurani, berkumpul dan sebagainya untuk menciptakan keadilan agar seluruh masyarakat memiliki kedudukan yang sama. Kemerdekaan berpendapat serta menyampaikan aspirasi di muka umum merupakan perwujudan demokrasi menurut tatanan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hal ini juga berlaku di Indonesia yang menganut sistem demokrasi dari buah yang dihasilkan era reformasi. Tidak hanya ketika bersuara, tapi juga dapat melalui tulisan bahkan saat ini menggunakan teknologi yang canggih sehingga langsung tersalurkan pada pihak pemerintah.

Lalu ada pula organisasi masyarakat yang berperan sebagai wadah dalam menampung aspirasi masyarakat. Selanjutnya, organisasi tersebut akan menjadi jembatan penghubung dalam menyampaikan pandangan-pandangan tersebut kepada pembuat kebijakan publik. Lalu bagaimana dengan mereka yang ditangkap oleh pemerintah karena pendapat yang dikeluarkan? Apakah di satu sisi negara bersikap anti kritik sehingga melanggar kebebasan berpendapat masyarakat?

Perlu diingat kembali bahwa Negara Indonesia tidak hanya sebagai negara yang demokratis tapi juga dikenal sebagai negara hukum, maka apapun tindakan yang dilakukan harus sesuai dengan hukum yang telah disepakati termasuk kebebasan berpendapat. Walaupun tidak ada masalah dengan siapapun yang ingin mengeluarkan pendapatnya atau menyampaikan aspirasi, tapi dengan catatan tidak boleh menyakiti dan merugikan orang lain.

Indonesia menganut kebebasan yang bertanggung jawab oleh setiap warga negara sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satunya yang terdapat pada UU no.9 tahun 1998 pasal 4 yang tertulis bahwa penyampaian pendapat harus mewujudkan kebebasan bertanggung jawab. Kebebasan yang dimaksud adalah dengan memperhatikan norma yang berlaku.

Sudah sepantasnya dalam ruang demokrasi tidak hanya mementingkan pendapat sendiri tapi juga mendengarkan pendapat orang lain yang memiliki niat kebaikan yang sama. Pada situasi yang lain adakalanya masyarakat harus bijak dan kritis terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, jika itu dinilai kurang memberikan manfaat secara umum. Menunjukkan sikap civil courage untuk berani menyatakan pendirian secara publik yang beriorientasi kebaikan bersama. Sikap ini penting untuk ditanamkan pada setiap warga negara agar tidak ada lagi diantaranya yang tinggal sebagai penonton dan semua berani mengasah empati, keberpihakan kepada yang lemah, meningkatkan tanggung jawab moral dan rasa keadilan. Sehingga check and balance  terhadap setiap kebijakan penguasa akan tetap dapat diperhatikan dengan akal sehat.

Andi Novriansyah Saputra
Andi Novriansyah Saputra
Penulis, Murid di Kader Pemikiran Islam Indonesia Batch 2.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.