Indonesia merupakan suatu rumah yang dibangun oleh berbagai unsur kebangsaan; agama, etnisitas, kelas sosial, dan ideologi politik. Sebagai rumah, Indonesia bukan hanya suatu deretan tempat geografis yang materiil semata. Lebih dari itu, Indonesia merupakan suatu mozaik ruang publik yang berjiwa yang lahir dari rajutan kebhinekaan itu.
Singkatnya, Indonesia bukan hanya rumah fisik (house) tetapi ia merupakan rumah jiwa (home). Toleransi terhadap kebhinekaan merupakan syarat mutlak untuk menjaga rumah jiwa bernama Indonesia itu. Dalam konteks semacam itu, intoleransi terhadap kebhinekaan merupakan ancaman serius terhadap kedamaian Indonesia sebagai rumah jiwa kita.
Salah satu perkembangan yang memprihatinkan kita akhir-akhir ini adalah maraknya berbagai tindakan intoleransi yang terjadi di tengah masyarakat. Dalam bentuknya yang kongkret, kita mencatat beberapa tindakan sepihak yang dilancarkan oleh organisasi kemasyarakatan tertentu untuk memaksa membatalkan atau menutup suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi kemasyarakatan yang lain.
Aksi sepihak yang cenderung intimidatif ini sulit dibenarkan karena telah mencederai kebebasan berekspresi dan berserikat yang merupakan hak dasar masyarakat dalam ruang publik. Hilangnya atau terancamnya hak dasar untuk berekspresi ini dalam jangka panjang dapat mengancam kedamaian dan bisa jadi menciptakan tindakan kekerasan yang berujung pada konflik horisontal.
Tahun lalu kita membaca berita pemaksaan pembatalan acara pentas teater monolog Tan Malaka berjudul “Saya Rusa Berbulu Merah” yang diselenggarakan oleh kelompok Maenteater di Bandung (Tribun Jabar, 23/3/2016) dan pembatalan aksi pantomim Wanggi Hoediyanto saat memperingati Hari Tubuh Internasional (27/3/2016). Juga terjadi intimidasi yang sama terhadap acara seni “Lady Fast” yang diselenggarakan oleh Kolektif Betina di Yogyakarta (3/4/2016) dan acara diskusi “Batas Arus” yang digelar oleh Jaringan Filsafat Islam (Jakfi) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Pekanbaru (1/4/2016).
Tahun lalu juga, kita mencatat terjadi pemaksaan pembatalan acara diskusi dan pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” karya Rahung Nasution di Goethe-Institut Jakarta (16/3/2016). Penolakan terhadap diputarnya film ini juga terjadi pada acara puncak perhelatan Festival Film Purbalingga (FFP) ke-10 yang sedianya akan memutar dan mendiskusikan film tersebut (25/52016). Padahal rencananya film tersebut akan dibedah secara ilmiah oleh akademisi-akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman.
Tahun ini kita tidak juga berhenti membaca berita senada. Yang paling menyita perhatian kita barangkali penyerbuan diskusi atau aksi seni yang diadakan oleh LBH Jakarta oleh sekelompok ormas pada bulan September yang lalu. Massa penyerbu menuduh acara LBH Jakarta sebagai “acara PKI”, suatu tuduhan yang sangat tidak berdasar.
Pada bulan Juli, terjadi juga pembatalan pemberian ijin oleh pihak kepolisian atas diskusi buku “Enny Arrow” yang sedianya diadakan oleh lembaga terhormat, Komite Dewan Kesenian Semarang. Diduga pembatalan tersebut atas desakan sekelompok ormas tertentu dengan tuduhan menyebarkan pornografi meski diskusi akan menghadirkan seorang akademisi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dipenegoro sebagai pembicara.
Di Solo pada bulan Mei, juga terdapat penolakan serupa atas bedah buku karya Haidar Bagir berjudul Islam Tuhan Islam Manusia terbitan Mizan dimana Bagir sendiri yang menjadi salah satu pembicaranya dan pembicara lain dari tuan rumah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta.
Alasan penolakan sekelompok ormas tersebut adalah keberatan terhadap beberapa isi yang terdapat dalam buku Bagir dan terlebih karena Bagir adalah tokoh syiah. Dan masih banyak lagi berita-berita pembatalan atau penolakan yang tidak terekam dalam tulisan ini. Pendekatan intoleran yang tidak menggunakan kacamata konstitusi tetapi sekadar suka atau tidak suka semacam itu sangat berbahaya jika dibiarkan berkembang karena telah mengancam secara serius kedamaian kita sebagai bangsa.
Dari beberapa peristiwa di atas, terdapat beberapa makna yang dapat kita baca. Pertama, beberapa acara di atas merupakan kegiatan intelektual yang memiliki tujuan mulia memberikan narasi-narasi alternatif tentang Indonesia yang lebih baik, antara lain teater, pantomim, film, musik, seminar dan diskusi.
Acara-acara di atas merupakan usaha sekelompok anggota masyarakat yang berusaha membangun wacana atau narasi pengetahuan tentang Indonesia yang lebih baik berdasarkan ideologinya masing-masing. Di tengah masyarakat, khususnya kelas menengah yang apatis terhadap persoalan bangsa, kehadiran kelompok-kelompok masyarakat tersebut mestinya disambut gembira dan bahkan seharusnya didukung dan dilindungi oleh negara.
Jika pun kegiatan-kegiatan tersebut justru dianggap melanggar ketertiban umum, maka satu-satunya yang berhak memutuskan pelanggaran terhadap ketertiban umum itu adalah aparat keamanan yang menjadikan konstitusi sebagai pijakan, bukan atas dukungan atau tekanan sekelompok masyarakat tertentu.
Kedua, adanya upaya penodaan terhadap ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Beberapa acara di atas merupakan upaya sadar anggota masyarakat untuk melakukan pengembangan dan penyebaran pemikiran, pengetahuan dan kesenian melalui cara-cara damai dan humanis. Jika kegiatan yang damai dan humanis ditolak, maka dengan cara apa kita bisa bersepakat mengelola perbedaan sebagai rahmat kemanusiaan?
Cara-cara anarkis hanya akan membawa kita kembali kepada zaman kegelapan dan barbar. Demokrasi yang dibajak oleh kaum intoleran dan tidak dijaga oleh negara sangat berpotensi menyebar benih-benih bencana kemanusiaan yang mengerikan di masa depan.
Ketegasan Negara
Dalam perspektif kajian budaya, ideologi sebagai bentuk ide ideal yang dicita-citakan sekelompok manusia atas suatu masyarakat merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan bersama. Ideologi bukan suatu yang terberi (taken for granted) melainkan suatu yang dibentuk (constructed).
Ide-ide kita tidaklah tiba-tiba menjadi milik kita, tetapi ide-ide tersebut kita pelajari di sekolah, di keluarga, di media yang kita konsumsi, di buku yang kita baca, di kajian dan pengajian yang kita ikuti dan seterusnya. Pemberangusan terhadap ideologi berarti pemberangusan terhadap hak dasar manusia untuk berpikir, mencari kebenaran dan menyebarkan kebenaran yang diyakininya.
Dengan kata lain, pemberangusan tersebut juga berarti penolakan terhadap sekolah, buku, media, kajian, pengajian dan segala bentuk pencarian dan penyebaran ilmu pengetahuan.
Pencarian dan penyebaran ideologi tergelar dalam suatu pasar bebas ide-ide (free trade of ideas) yang dilindungi konstitusi. Dus, apakah pasar bebas ide ini berjalan bebas mutlak tanpa aturan? Pada titik inilah, negara demokratis hadir sebagai satu-satunya pengatur lalu lintas perdagangan ide yang sah yang memastikan bahwa perdagangan ide ini berjalan secara damai, humanis dan tidak melanggar konstitusi.
Ruang publik Indonesia harus dirawat sebagai rumah bersama. Dan, demokrasi kita hari ini harus berguna untuk memajukan kemanusiaan kita, bukan justru malah dibiarkan dibajak oleh kelompok-kelompok intoleran.