Para menteri perdagangan negara-negara anggota Asean telah menandatangani dua perjanjian penting yaitu Asean Trade in Services Agreement (ATISA) dan protokol keempat amandemen Asean Comprehensive Investment Agreement (ACIA). Penandatanganan di lakukan dalam pertemuan 25th Asean Economic Minister’s Retreat (AEM Retreat) di Thailand, Selasa (23/4/2019).
Penandatanganan perjanjian ATISA diharapkan dapat meningkatkan standar dan transparansi, sekaligus mengurangi hambatan dagang di bidang jasa antarnegara Asean. Dan perjanjian ATISA mulai berlaku 180 hari sejak dilakukan penandatanganan, dimana negara-negara anggota Asean diwajibkan untuk mempublikasikan aturan dan regulasi investasinya di bidang perdagangan jasa untuk memberikan informasi serta memberikan peluang sesama negara anggota Asean untuk membuat proyeksi investasi pada bidang-bidang tertentu.
Publikasi tersebut khususnya menyangkut dengan realisasi investasi, peluang investasi, termasuk peraturan dan persyaratan dalam melakukan investasi. Dan ATISA memberikan waktu hingga 5 tahun bagi setiap negara Asean untuk mempertimbangkan regulasi perdagangan jasa yang akan dipertahankan pasca perjanjian ini berlaku secara efektif.
Sementara, ACIA bertujuan mendorong investasi di kawasan Asean. Salah satu komitmen tambahan yang diatur dalam ACIA adalah mengenai pelarangan terhadap pengenaan persyaratan kinerja bagi investor.
Hal ini dianggap penting bagi investor untuk memetik keuntungan dari investasi mereka tanpa adanya hambatan yang tidak beralasan. Harapannya kondisi ini dapat meningkatkan kepercayaan investor dan memperkuat aliran investasi wilayah regional Asia Tenggara.
Berdasarkan data Sekretariat Asean, nilai ekspor jasa di kawasan Asean terus mengalami peningkatan, seiring dengan pemberlkukan Masyarakat EKonomi Asean (MEA). Eksport jasa pada tahun 2005 diketahui sebesar US$ 113,4 miliar dan meningkat tiga kali lipar menjadi US$ 360,5 miliar pada 2017. Dalam periode yang sama, impor jasa Asean menyentuh US$ 342,7 miliar pada 2017, dari sebelumnya senilai US$ 140,8 miliar pada 2005.
Sampai dengan tahun 2017, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia adalah sekitar US$ 1 triliun atau sekitar Rp 15 ribu triliun, dengan kurs Rp 15 ribu/dolar Amerika Serikat. Perekonomian Indonesia ini merupakan yang terbesar dibanding dengan negara-negara kawasan Asia Tenggara lainnya.
Thailand tercatat sebagai negara ASEAN dengan PDB terbesar kedua dengan nilai perekonomian mencapai US$ 455 miliar atau separuh dari perekonomian Indonesia. Di urutan ketiga adalah Singapura dengan PDB US$ 324 miliar atau sepertiga dari Indonesia. PDB nasional Indonesia berkontribusi lebih dari 36 persen dari perekonomian negara-negara kawasan Asia Tenggara.
Berdasarkan fakta tersebut, maka Indonesia tampil sebagai “juara” bagi kekuatan ekonomi di kawasan regional Asean. Hal ini sekaligus menjawab kekhawatiran banyak pihak, dimana dengan pemberlakukan MEA Indonesia diperkirakan hanya akan dimanfaatkan sebagai aspek pasar saja, sementara peran dan kontribusinya tidak optimal. Namun data PDB tersebut memberikan fakta bahwa Idonesia berkontribusi 36 persen terhadap perekonomian kawasan Asean.
Kondisi yang demikian menjadi modal dasar bagi Indonesia terkait dengan implementasi ATISA dan ACIA, dimana ; pertama, penandatanganan tersebut sekaligus wujud nyata dari peran pemerintah untuk untuk membuka membuka perluasan akses pasar terhadap semua pelaku ekonomi khususnya industri manufaktur di dalam negeri, melalui perjanjian perdagangan yang mengikat dan jangka panjang. Langkah ini penting, pasalnya hambatan regulasi antar negara seringkali menjadi kendala perdagangan dan kerjasama antara pelaku ekonomi sektor swasta.
Kedua, melalui ATISA dan ACIA diharapkan juga dapat menfasilitasi konektifitas dan keterkaitan industri dalam negeri dengan rantai manufaktur antar negara di kawasan Asean, mulai dari suplay chain management, costum clearence, tekhnologi dan mesin-mesin industri sampai dengan pemasaran dan permodalan.
Ketiga, ATISA dan ACIA juga harus menjadi momentum untuk memperbaiki kinerja ekspor. Diketahui, sepanjang tahun 2018 neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar US$ 8,57 miliar. Meskipun pada periode kuartal I/2019 neraca perdagangan surplus, namun perbaikan kinerja ekspor harus tetap dilakukan.
Sebagaimana diketahui, kinerja perekonomian yang cukup baik sepanjang kuartal I/2019. Indikatornya antara lain adalah surplus neraca perdagangan. Sebagaimana diketahui Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus US$ 0,54 miliar atau sekitar US$ 540 juta pada Maret 2019.
Surplus ini berasal dari ekspor sebesar US$ 14,03 miliar dan impor sebesar US$ 13,49 miliar. Dari sisi impor, Indonesia pada Maret 2019 mencatatkan impor sebesar USD 13,49 miliar. Angka ini naik jika dibandingkan dengan bulan Februari 2019 sebesar US$ 10,31 miliar.
Dengan demikian, agar perjanjian ATISA dan ACIA juga bisa direspon positif oleh pelaku ekonomi di dalam negeri, sinegi harus dilakukan antara (1) Kementerian Perdagangan dengan Kementerian Perindustrian. Pasalnya dua kementerian ini memiliki leading sector yang berbeda tetapi memiliki irisan yang besar.
Regulasi perdagangan antar negara dan perjanjian perdagangan menjadi kewenangan Kementerian Perdagangan, yang harus linier dengan regulasi perindustrian terkait dengan penguatan industri nasional yang berorientasi ekspor.
(2) antara pemerintah dengan pelaku industri dalam negeri. Hal ini penting untuk memberikan regulasi, insentif dan kemudahan-kemudahan bagi industri nasional agar dapat bersaing di pasar global dan Asean, sehingga indutri nasional benar-benar mampu memberikan nilai tambah perekonomian khususnya dari sisi peningkatan kapasitas ekspor.
Jika perbaikan yang didukung dengan sinergitas peran, tugas dan kewenangannya antara sektor industri manufaktur dengan pemerintah sebagaimana yang sudah disebutkan tersebut diatas dapat berjalan, bisa dipastikan bahwa sektor manufaktur dapat menjadi andalan dalam membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih kuat, berkelanjutan, berimbang, dan inklusif.
Dan terakhir, perjanjian ATISA dan ACIA bukan hanya menjadi seremonial belaka, namun bisa diimplementasikan bagi peluang penguatan ekonomi nasional.