Mereka yang punya pilihan berbeda dianggap sebagai musuh bersama. Mereka yang sama pilihannya dibela sepenuh hati. Menyongsong tahun-tahun politik yang akan menentukan masa depan bangsa Indonesia mulai memanas.
Suhu yang kian panas tak hanya dipertontonkan oleh elit politik ketika tampil di hadapan media. Para elit yang biasa tampil dari satu media ke media yang lain, menunjukkan kehebatan dalam beretorika sampai berdebat entah debat kusir atau debat yang rada ilmiah.
Perdebatan elit yang ditunjukkan di media, baik yang memposisikan diri sebagai sang pembela pemerintah atau mereka yang menjadi oposan pemerintah. Menjadi konsumsi publik di hari-hari menjelang tahun politik. Publik yang dijejali dengan silang pendabat dua kubu, ditambah dengan bumbu-bumbu di dalamnya. Membuat mereka melihat wajah politik kita yang menyesakkan dada.
Elit yang menjadi panutan pendukungnya, bahkan bisa jadi apa yang dilakukan elit akan langsung diamini oleh pendukungnya. Membuat politik kita hari ini yang kian hari mulai membara suhunya. Akan terus memanas sampai mencapai klimaksnya pada 2019 ketika perhelatan politik nasional di gelar.
Para pendukung juga tak mau ketinggalan dengan elitnya. Mereka berlomba-lomba untuk memviralkan setiap berita yang dirasa mendukung apa yang menjadi keyakinannya. Tak jarang pula, kita bakal diperlihatkan debat-debat dalam kolom komentar yang menjurus ke debat kusir disertai dengan caci maki antar kubu.
Fakta itu di dukung oleh pekerjaan baru yang bakal memberikan tambahan pekerjaan paling menarik menjelang tahun politik yakni sebagai buzzer politik. Mereka yang menjadi buzzer politik bergabung bersama-sama dengan pendukung untuk memuluskan framing bahwa calon yang mereka usung, memang dikehendaki oleh rakyat Indonesia.
Perang tagar, antara ke dua kubu juga lazim dilakukan oleh masing-masing pendukung. Mereka memainkan tagar, yang dipopulerkan oleh elit mereka. Dengan tagar itu, mereka ingin menunjukkan kepada dunia maya, bahwa mereka bisa berkuasa atas tagar yang diusungnya.
Tagar tersebut yang dijadikan salah satu indikator keberhasilan menguasasi trending topik dalam dunia maya. Siapa yang berkuasa atas tagar, maka mereka akan menobatkan diri sebagai penguasa jagad maya.
Tak tanggung-tanggung para elit ketika debat, kadang menggunakan tagar itu untuk menunjukkan bahwa gerakan yang diusung ternyata diterima oleh mereka yang bermain-main di dunia maya. Tak mau ketinggalan, tagar tandingan juga diluncurkan oleh lawan mereka. Saling counter tagar, strategi, isu, dan metode menjadi makanan sehari-hari di belantika dunia maya negeri kita.
Pergolakan yang terjadi di dunia maya itu, kini sudah mulai merambah dunia yang sesungguhnya alias dunia nyata. Kejadian yang terbaru adalah tatkala kegiatan car free day dilakukan diseputan Bundaran Hotel Indonesia.
Mereka yang datang ke car free day sebagian besar tapi tidak sepenuhnya, ingin mencoba menunjukkan bahwa gerakan mereka yang viral seantero jagat dunia maya. Ternyata juga ada dan nyata adanya dalam dunia maya.
Mereka sama-sama menggunakan kaos yang didepannya terpampang tagar sebagai identitas. Jika pada awal 1960an politik identitas di representasikan dengan ideologi masing-masing golongan, dengan nasakom sebagai panglimanya. Maka politik jaman now menggunakan kaos bertagar sebagai identitasnya. Inilah realita hari ini, beda jaman, beda pula pendekatannya.
Pada 1959, ketika sistem demokrasi di Indonesia menggunakan demokrasi terpimpin. Identitas politik waktu itu di representasikan oleh tiga golongan besar yang mencerminkan bangsa Indonesia yaitu nasionalis, agamis, dan komunis. Ketiga golongan yang bersatu padu, membangun sebuah harmoni untuk membangun bangsa dan negara Indonesia.
Namun sayang seribu sayang. Politik identitas kaos itu di cederai oleh salah satu kubu yang mengintimidasi kubu sebelahnya. Bahkan dalam video yang viral itu, anak-anak menjadi korban intimidasi tersebut. Ini lah yang patut kita sayangkan. Pesta demokrasi yang seyogyanya harus memberikan kebahagian bagi semua golongan, tercoreng oleh orang-orang yang melakukan intimidasi.
Intimidasi
Mereka yang menjadi korban intimidasi adalah ibu dan anaknya. Dua orang yang seharusnya mendapatkan perlindungan, malah dicibir habis karena beda pendapat. Mereka ditekan dengan berbagai pertanyaan oleh mereka yang tidak sepemahaman. Sampai-sampai sang anak menangis sendu, karena di rundung takut oleh bullying yang diterima bersama ibunya.
Beda kaos saja mendapatkan bullying. Apalagi beda pilihan bisa jadi akan di caci maki. Inilah salah satu potret suram menjelang tahun politik di negeri ini. Proses politik yang kekanak-kanakan seperti itu harus di antisipasi.
Jika dibiarkan saja, apalagi elit politik juga tutup mata dan telinga, maka hal ini akan dianggap lumrah oleh para pendukung mereka. Kalau sudah begitu, kejadian di car free day akan ada dan terus tumbuh bak jamur di musim hujan merembet ke kantong-kantong masyarakat lainnya.
Harapannya para elit harus memberikan pemahaman saat tampil di media. Mereka harus menekankan bahwa politik tidak sepantasnya di cederai oleh aksi bullying dan intimidatif, apalagi jika sudah berkembang menjadi SARA.
Kita semua harus mahfum, bahwa kejadian itu merupakan alarm bagi semua pihak. Pesta demokrasi wajib dimaknai sebagai proses pendidikan politik bagi masyarakat. Melemahnya pendidikan politik di negeri ini, menjadi salah satu sebab yang mengakibatkan masyarakat mudah di pecah belah dengan berbagai macam isu.
Pendidikan politik tidak mungkin hanya dibebankan pada Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Tapi, partai-partai politik juga harus memberikan pendidikan politik bagi masyarakatnya, terkhusus bagi pendukung mereka, agar waras dalam berpolitik.
Pendidikan politik ini lah yang wajib dilakukan menjelang tahun politik. Proses pencerdasan mengenai esensi dari politik sebagai medium membangun bangsa dan negara Indonesia menjadi salah satu program yang diwajibkan kepada semua partai.
Mereka yang memberikan pendidikan politik tentunya harus menekankan mengenai pentingnya membangun persatuan dan kesatuan antar golongan. Mereka juga perlu mengingatkan bahwa bangsa Indonesia berdiri dengan kebhinekaan yang menyertainya.
Diantara berbagai macam pilihan dalam politik, ada aku, kamu, dia, mereka, kalian yang semuanya menjadi kita. Beda pendapat boleh, apalagi beda pilihan juga tetap dianjurkan. Tapi ingat tetap menjadi manusia waras dalam pusaran politik kita.