Jumat, Juli 18, 2025

Menjadi Pelaku Karena Tak Ada Lagi Kehendak Bebas

Ahmad Bagus Sasongko
Ahmad Bagus Sasongko
Ahmad Bagus Sasongko adalah kriminolog dan peneliti independen dalam bidang kejahatan sistemik, korupsi, sastra dan kritik sosial. Ia menyelesaikan Magister Kriminologi di Universitas Indonesia, aktif menulis opini serta artikel reflektif di mocopat.com, dan memiliki ketertarikan mendalam pada kejahatan politik serta hakikat kemanusiaan dalam sistem hukum.
- Advertisement -

Di tengah dominasi tafsir kriminologi yang cenderung deterministik dan reduksionis—yang memandang kejahatan sebagai hasil mutlak dari struktur sosial atau patologi psikologis—kita kerap lupa satu hal yang paling mendasar: manusia bukan sekadar angka kriminalitas, melainkan makhluk eksistensial yang berjuang untuk merasa hidup.

Tidak semua kejahatan lahir dari perut yang lapar. Banyak di antaranya muncul dari jiwa yang kehilangan jalan untuk menjadi dirinya sendiri. Dan di sinilah pentingnya menengok pendekatan eksistensialisme dalam kriminologi: sebuah lensa yang membaca kejahatan bukan semata pelanggaran hukum, melainkan jeritan keberadaan yang tertolak dari semua arah. Tindakan kriminal, dalam sudut pandang ini, bisa menjadi panggung terakhir bagi manusia untuk berkata: “Aku ada.”

Antara Kebebasan dan Keterasingan

Eksistensialisme percaya bahwa manusia adalah makhluk bebas secara kodrati—bebas memilih, bebas bertindak, bahkan bebas menolak dunia. Jean-Paul Sartre menyebut manusia “dikutuk untuk bebas”, karena dalam kebebasan itulah tanggung jawab total ditaruh di pundaknya. Tapi di sinilah letak paradoksnya: ketika dunia menutup semua jalur untuk menjadi baik, apakah kebebasan itu tetap utuh?

Sebagian pelaku kejahatan tidak serta-merta “ingin berbuat jahat”. Mereka hanya tak melihat jalan lain untuk merasakan dirinya eksis. Tidak diterima di masyarakat, gagal dalam sistem pendidikan yang timpang, atau kehilangan ruang aktualisasi karena latar ekonomi—mereka akhirnya mengukir jejak eksistensinya di lorong sempit bernama kejahatan.

Lebih menyedihkan lagi, banyak dari mereka sebenarnya telah berulang kali mencoba hidup secara “normal”. Namun dunia yang memuja kelulusan, reputasi, dan kompetensi formal seringkali tidak memberi mereka ruang untuk bertumbuh. Ketika semua bentuk kebaikan tertutup oleh standar sistemik, maka kejahatan menjadi satu-satunya bentuk aktualisasi yang mungkin.

Kebebasan yang Tertuduh

Konsep “kebebasan yang tertuduh” lahir dari ironi itu. Manusia memang bebas secara fundamental—atas tubuh, tindakan, dan pilihan-pilihan yang ia buat. Namun ketika kebebasan itu melampaui batas norma dan merugikan orang lain, ia berubah dari ekspresi diri menjadi pelanggaran.

Banyak pelaku kriminal merasa “bebas” untuk melawan hukum, padahal mereka sedang diperbudak oleh luka masa lalu, keterasingan sosial, dan kekosongan eksistensial—yakni hilangnya rasa makna, tujuan, dan arah hidup, yang seringkali mendorong individu untuk mencari “ada” dengan cara apa pun, bahkan melalui tindakan destruktif.

Kekosongan eksistensial di sini bukan sekadar ketiadaan tujuan, melainkan perasaan bahwa keberadaan diri tidak berarti apa-apa bagi siapa pun. Tidak dihargai oleh keluarga, tidak berguna bagi masyarakat, dan tidak mampu menembus batas sosial yang ditentukan oleh kelas, jabatan, atau modal—mereka akhirnya melakukan tindakan ekstrem untuk menegaskan satu hal: “Aku ada.”

Studi Kasus: Mereka yang Tak Diberi Jalan untuk Menjadi Baik

Fenomena ini bukan teori kosong. Lihatlah kasus-kasus remaja di kawasan miskin urban, yang berulang kali gagal masuk dunia kerja, kehilangan akses pendidikan, dan ditolak oleh sistem karena identitas sosialnya. Setelah mencoba berbagai cara yang “resmi” namun tak kunjung berhasil, mereka akhirnya memilih jalur kriminal—bukan untuk kaya, tapi untuk diakui.

Seorang anak muda dari daerah padat di Jakarta Selatan, dalam wawancara lapangan, pernah berkata:

- Advertisement -

“Kalau saya jadi satpam aja ditolak, ngojek motor ditilang, yaudah sekalian aja saya ngerampok. Sekali-sekali pengen juga ditakutin.”

Pernyataan ini menyimpan luka, frustrasi, dan keterasingan sosial. Tapi lebih dari itu, ia juga menyimpan pencarian eksistensial: keinginan untuk sekadar dianggap ada di tengah dunia yang tidak memberi tempat untuk menjadi “baik”.

Sistem yang Menggilas, Jiwa yang Retak

Kita hidup dalam sistem yang, sayangnya, lebih cepat menghukum daripada memahami. Diskriminasi dalam pendidikan terjadi saat kualitas sekolah sangat bergantung pada lokasi dan status ekonomi. Di desa dan pinggiran kota, guru kurang, fasilitas minim, dan orientasi sistem lebih pada kelulusan daripada pemahaman. Sementara itu, ketimpangan ekonomi membuat anak-anak dari keluarga buruh atau pengangguran nyaris mustahil menembus seleksi perguruan tinggi atau dunia kerja formal.

Stereotip sosial memperburuknya. Anak dari lingkungan yang dicap “tinggi kriminalitas” sering diasosiasikan dengan bahaya. Ia ditolak bukan karena ia buruk, tapi karena stigma yang lebih dahulu datang daripada dirinya.

Sistem peradilan pun tak luput dari bias. Mereka yang miskin sulit mengakses pengacara yang layak. Mereka yang tidak berpendidikan, kerap tak paham hak-haknya sendiri. Di ruang-ruang sempit inilah, banyak dari mereka yang akhirnya memilih kejahatan bukan karena niat jahat, tapi karena sistem tak memberi mereka pilihan lain.

Menata Ulang Tafsir Kriminologi

Kriminologi eksistensial mengajak kita untuk melampaui data statistik dan pasal-pasal hukum. Ia mengajak kita untuk mendengar jeritan sunyi dari manusia yang ingin menjadi dirinya sendiri, namun tak diberi ruang. Bukan untuk membenarkan kejahatan, tapi untuk memahami agar kejahatan tak perlu terjadi lagi.

Pendekatan ini menuntut perubahan mendasar dalam sistem peradilan dan rehabilitasi. Jika kita memahami pelaku sebagai manusia yang sedang mengalami keterasingan eksistensial, maka rehabilitasi tidak hanya soal pelatihan kerja, tetapi juga soal pembangunan makna dan koneksi sosial. Program reintegrasi sosial harus lebih humanistik, memberi ruang untuk menemukan jati diri baru, bukan sekadar menyesuaikan diri dengan masyarakat yang sama-sama menolak.

Kita membutuhkan sistem yang bukan hanya adil dalam hukuman, tapi juga adil dalam kesempatan untuk tumbuh. Kita perlu membuka ruang aktualisasi yang sehat—agar manusia bisa menemukan dirinya dalam jalan yang bermartabat, bukan dalam keputusasaan.

Penutup: Antara Eksistensi dan Harapan

Dunia tidak boleh menjadi tempat yang hanya menghargai yang kuat dan sempurna. Karena bila tidak, akan semakin banyak manusia yang memilih kebebasan yang tertuduh—hanya agar keberadaannya diperhatikan.

Maka biarkan tafsir kriminologi yang kaku membuka dirinya: bahwa kejahatan tidak selalu lahir dari niat buruk, tapi seringkali dari dunia yang gagal memberi ruang untuk menjadi manusia yang utuh.

Dan tanggung jawab terbesar kita sebagai masyarakat, akademisi, bahkan negara, bukan hanya mencegah kejahatan, tapi juga menciptakan dunia di mana manusia bisa menjadi dirinya tanpa harus melewati jalan berdarah.

Ahmad Bagus Sasongko
Ahmad Bagus Sasongko
Ahmad Bagus Sasongko adalah kriminolog dan peneliti independen dalam bidang kejahatan sistemik, korupsi, sastra dan kritik sosial. Ia menyelesaikan Magister Kriminologi di Universitas Indonesia, aktif menulis opini serta artikel reflektif di mocopat.com, dan memiliki ketertarikan mendalam pada kejahatan politik serta hakikat kemanusiaan dalam sistem hukum.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.