Sabtu, April 20, 2024

Menjadi Indonesia

Ernesto Teredi
Ernesto Teredi
Peneliti di Lembaga Terranusa Indonesia

Menjadi Indonesia adalah menjadi politik. Sebab, Indonesia direbut secara politik. Dan dalam politik, kita selalu proses untuk menjadi. Proses kemenjadian dalam konteks sebagai warga negara, yakni sebagai satu komunitas politik.

Di dalam komunitas itu, ada ide, pikiran, tentang Indonesia. Ide dan pikiran itu bisa dikonkritisasikan dengan memperjuangkan melalui political demand. Ide-ide itu berjalan tanpa ada satu finalitas dan paripurna, karena dalam perjalanannya kita akan saling menemukan yang namanya perbedaan.

Ruang demokrasi memastikan perbedaan itu sebagai prasyarat mutlak bagi kita dalam hidup bernegara. Dalam demokrasi, tak ada pengecualian terhadap satu  ide dan pikiran politik. Pengecualian adalah watak dasar dari otoritarianisme.

Sehingga dalam demokrasi, apapun bentuk, ciri, warna dan sebagainya semua itu harus diletakan sebagai satu kesatuan yang saling menghidupkan. Itulah Indonesia, menghargai perbedaan itu, dengan menghargai perbedaan maka kita akan menjadi Indonesia.

Namun persoalan yang sering muncul dalam diskursus politik Indonesia akhir-akhir ini adalah mengenai identitas ke-Indonesia-an. Proses menjadi Indonesia sungguh menyenangkan sekaligus melelahkan, karena ada upaya untuk mendelegitimasi bahkan meniadakan kelompok tertentu.

Padahal aspek historis secara jelas bahwa, kita merupakan kumpulan dari material-material dengan berbagai partikular. Itulah identitas antropologis kita, dan ketika proses kemerdekaan makaIndonesia menjadi identitas universal. Namun tanpa mengabaikan dimensi partikular.

Saat ini, kita menyaksikan bahwa ada upaya-upaya dari berbagai partikularitas identitas untuk mendevenisikan Indonesia secara monopoli. Dalam konteks ini ada juga perlawanan dari kelompok lain untuk memberi dasar pikiran yang saling menegasikan.

Bukan menjadi hal baru, pelarangan ajaran Marxisme dan Leninisme, bahkan buku-buku yang berbau Marxisme ada yang dibakar. Sampai saat ini publik belum mendapatkan penjelasan akademik dari rezim mengenai pelarangan dan pembakaran dari buku-buku tersebut.

Selain itu persoalan yang seperti menjadi bola api juga yakni mengenai pelarangan organisasi yang tidak sesuai dengan aturan rezim yang sudah berlaku. Segala bentuk apapun yang tidak sesuai dengan cara berpikir rezim maka itu harus dihapuskan. Kasus-kasus ini pun berlaku di pasar sosial pada saat politik elektoral.

Sampai saat ini tak ada alasan yang ilmiah dalam pelarangan misalnya mengeluarkan alasan bahwa organisasi dan ajarannya tidak kontekstual, koheren.

kendati demikian kita hanya disuguhkan alasan yang sangat terbatas pada kalimat; mengamankan dan menormalkan situasi bangsa. Jujur saja di belakang logika menormalkan situasi bangsa sebenarnya karena kencangnya dari efeknya pikiran Pancasila sebagai sesuatu yang final.

Dalam konteks ini, tafsir terhadap Pancasila ada pada otoritas rezim. Sehingga Pancasila akhirnya menjadi satu pemandu untuk mendrive publik. Siapapun yang tidak masuk dalam registrasi Pancasila versi rezim maka akan ditolak dan ditiadakan. Sebaliknya yang sesuai dengan versi rezim maka itu akan diakomodasi. Sungguh upaya penyeragaman yang mendangkalkan cara berpikir publik.

Dalam konteks inilah Pancasila sebagai pengatur bukan penuntun, Gerung (2018:40-48). Alih-alih menjadi dasar untuk menghargai setiap partikular, ternyata dimensi kepengaturan ini sangat problematik dilaksanakan. Kepengaturan ini dibelakangnya terdapat setumpuk nalar pikiran yang sangat otoriter.

Belajar dari Pengalaman

Sebenarnya situasi ini mengajak kita untuk membuka percakapan politik secara serius. Proses menjadi Indonesia adalah dengan saling menghargai perbedaan yang ada, bukan saling meniadakan sesama perbedaan, apalagi kalau meniadakan itu dilakukan oleh rezim. Rezim bertugas untuk menuntun, konflik-konflik yang ada dari partikular. Bahkan rezim memastikan supaya konflik itu muncul secara serius dan diperdebatkan. Bukan meniadakan konflik.

Demokrasi memberi ruang kontestasi untuk berkonflik dari partikularitas, konflik muncul karena relasi dominasi. Konflik sebagai jalan untuk menerapkan relasi kesetaraan. Seperti Mouffe bilang: Radical democratic interpretation will emphasize the numerous social relations where relations of domination exist and must be challenged if the principles of liberty and equality are to apply, Mouffe (1992, 28-32).

Dengan kata lain, jika ada gerakan politik dalam konteks apapun, harusnya diberi ruang, bukang langsung ditiadakan. Dalam ruang demokrasi, kontestasi dari partikularitas harus terus berlangsung. Kendati demikain, tetap harus terbuka antara setiap partikular. Perbedaan menjadi poin pentingnya, relasi setara harus dimunculkan, dominasi harus dipertentangkan, karena disitulah perdebatan muncul, konflik hingga mencapai apa yang namanya oleh Mouffe dan Laclau sebut sebagai rantai persamaan.

Kira-kira itulah yang membuat Indonesia merdeka. Karena menghargai konflik, menentang relasi dominasi, namun tidak sampai meniadakan yang lain. Indonesia dibentuk karena partikularitasnya, menyatu karena politik. Kita harus belajar dari pengalaman historis ketika konflik dituntun dan dirawat sebaik mungkin.

Melalui perdebatan Soekarno, Hatta, Sjarir, Natsir, etc. Perdebatan mereka benar-benar hasil dari refleksi mereka dan sangat representatif. Soekarno dkk, berdebat dengan Natsir dalam konteks agama sampai habis-habisan. Namun pada akhirnya dapat dirumuskan Pancasila.

Kendati demikian bagi pendiri bangsa Pancasila sebagai ide keratif. Karena itulah Pancasila harus dibicarakan, diperdebatkan dengan konfrontasi pikiran bukan difinalkan.

Itulah sejarah politik Indonesia, lahir dari perdebatan, saling terbuka, ada relasi persamaan. Bukan meniadakan kelompok lain. Untuk itulah situasi politik saat ini tak perlu ditakut-takuti berlebihan.

Ketakutan adalah bentuk mental dasar tidak menerima satu tantangan. Sehingga menjadi Indonesia berarti memastikan diri tidak pernah utuh, fixed, paripurna. Sehingga menjadi Indonesia hanya dengan proses ke-menjadi-an. Itulah keberadaan kita sebagai entitas politik.

Dalam proses ke-menjadi-an kita harus belajar dari Soekarno, dalam setiap pidato Agustusnya selalu membicarakan revolusi belum selesai. Bahkan pada saat pidato kemerdekaan di Jogjakarta 1946 Soekarno menjelaskan: Revolusi kita telah membangkitkan banyak sekali tenaga-tenaga konstruktif. Revolusi kita ini telah membangunkan, dengan cara yang mengagumkan, tenaga-tenaga yang positif, yang berguna, yang menyusun, yang membangun. 

Inti dari pemikiran Soekarno bahwa bangsa yang besar harus selalu berproses dan revolusi secara terus menerus, karena dengan itu akan menghadirkan dan menjadi Indonesia yang hegemonik terhadap politik dan peradaban dunia.

Dengan demikian, menjadi Indonesia bukan saling meniadakan yang lain. Namun dalam perbedaan itu justru yang diprioritaskan memastikan tuntutan politik itu tetap terjaga. Dan memastikan lawan itu tetap eksis sehingga tuntutan politik antara kawan lawan bisa dibicarakan.

Ernesto Teredi
Ernesto Teredi
Peneliti di Lembaga Terranusa Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.