Minggu, April 27, 2025

Menjadi Bebas Melalui Pendidikan: Refleksi Historis Indonesia

Alfandy Oliver
Alfandy Oliver
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional. Mencoba untuk memulai kiprah di dunia ini dengan kontribusi tulisan dan pikiran. Liberte!
- Advertisement -

Pendidikan tidak merubah dunia, tetapi pendidikan merubah orang lalu oranglah yang mengubah dunia. Paulo Freire dalam buku “Pedagogy of the opressed” menuliskan “those who have been completely marginalized are so radically transformed, they are no longer willing to be mere objects, responding to changes occurring around them; they are more likely to decide to take upon themselves the struggle to change the structures of society”.

Ini kemudian nyata dalam realitas sosial yang terjadi di indonesia pada masa pergerakan kemerdekaan awal saat masih bernama hindia belanda, dimana pada awalnya mereka diam dalam ketidaktahuan dan tunduk karena kelemahan tetapi bergerak dengan berbagai cara setelah bangkit dari ketidaktahuan karena pendidikan datang memerdekakan mereka.

Contohnya adalah Dr. Cipto Mangoenkusumo. Baginya, STOVIA adalah tempat untuk menemukan dirinya dalam hal kebebasan berpikir, lepas dari tradisi keluarga yang kuat, dan berkenalan dengan lingkungan baru yang berkontradiksi diantara inovasi baru zaman dan diskriminatif masa lampau.

Dr. Cipto Mangoenkusumo adalah produk dari School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Sekolah kedokteran yang didirikan Belanda untuk mencetak tenaga medis pribumi murah. Namun, ironisnya malah STOVIA menjadi tempat “benih pergerakan organisasi” muncul.

Di sinilah pemuda-pemuda pribumi seperti Cipto, Soetomo, dan Wahidin Soedirohoesodo tidak hanya belajar ilmu kedokteran tetapi juga menyerap gagasan dan pemikiran seperti liberal Eropa, nasionalisme, dan kesadaran akan ketidakadilan kolonial yang tumbuh dan berkembang pada masa itu. Mereka terpapar dengan ide-ide baru yang memicu api pengetahuan menyebar luas diseluruh dunia.

Kita melihat tulisan Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1968) menyebutkan fenomena ini sebagai timbulnya kesadaran kritis. Saat kaum tertindas mulai mempertanyakan struktur sosial yang menindas mereka, tidak lagi mau untuk menjadi bisu dan patuh pada pihak yang berkuasa secara berlebih. STOVIA di masa itu dengan atmosfer intelektualnya, menjadi ladang bagi lahirnya benih kesadaran bahwa penyakit sesungguhnya yang menggerogoti kaum bumiputra adalah penjajahan itu sendiri.

Melalui Pendidikan: Dari Pasif menjadi Subjek Sejarah

Paulo Freire dalam pemikirannya menekankan bahwa pendidikan yang membebaskan harus mengubah kaum tertindas dari objek pasif menjadi subjek yang bertindak. Hal ini tercermin dalam transformasi drastis Dr. Cipto, Dari “Priyayi Jawa” ke “Radikal Revolusioner”.

Meski lahir dari keluarga priyayi Jawa yang dekat dengan Belanda, Dr. Cipto menolak untuk tetap bisu terhadap realita dengan melakukan berbagai aksi yang ekspresif dan berani sehingga menjadi simbol perlawanan dirinya terhadap feodalisme Jawa dan pemerintah kolonial saat itu. Dr. Cipto tidak hanya mengobati penyakit fisik, tetapi juga “mendiagnosis” penyakit sosial.

Ia mengawali pergerakannya dengan mendirikan Indische Partij (1912) bersama Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara, membuat mereka dijuluki Tiga Serangkai. Partai ini terang-terangan menuntut kemerdekaan Hindia Belanda. Rentetan aksi pergerakan tersebut menjadi esensi pendidikan yang terlihat diadvokasi Freire, dimana Pendidikan berfungsi sebagai alat pembebasan.

Efek Pendidikan: Kebangkitan Nasional sebagai Gerakan Kolektif

Kisah Dr. Cipto bukanlah kasus tersendiri tetapi justru menjadi keran air segar yang mengalir keluar dari pendidikan kolonial — yang bertujuan awal untuk menciptakan pribumi yang berguna bagi Belanda — tetapi justru melahirkan generasi kritis yang membaca buku Eropa untuk melawan struktur kolonial.

- Advertisement -

Sekolah-sekolah Belanda mengajarkan kesetaraan dan HAM tetapi praktik kolonial justru menindas. Kontradiksi inilah yang memicu kesadaran para pemuda pribumi. Bahasa Belanda — alat untuk birokrasi kolonial — justru dipakai kaum intelektual pribumi untuk menulis kritik di surat kabar seperti De Express, De Locomotief, dan Het Tijdschrift. Pendidikan itu, dalam bentuk yang terkekang tetap mampu menjadi alat pembebasan yang melahirkan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan.Banyak yang bergerak lewat tulisan dan aksi politik. Seperti:

1. Tan Malaka, lulusan sekolah guru Belanda yang kemudian menjadi teoris Marxis dan proklamator revolusi Asia dan terkenal dengan pergerakan radikalnya dalam melawan kolonialisme. 2. Sjahrir dan Hatta, dimana pendidikan barat yang keduanya terima justru menjadi nutrisi yang mempertajam pemikiran mereka tentang ketimpangan global.

Freire menyebut hal ini sebagai proses humanisasi ketika kaum tertindas menggunakan pendidikan tersebut untuk merebut kembali kemanusiaannya yang dirampas, dalam konteks indonesia di masa awal pergerakan kemerdekaan saat pendidikan yang diterima dari barat digunakan untuk menghancurkan bentuk-bentuk hierarki feodal yang mengkerdilkan para bumiputra.

Refleksi Kritis: Pendidikan Indonesia Kini 

Jika dulu pendidikan melahirkan pejuang seperti Cipto, Dekker, Suwardi, Malaka, Hatta, dll. Bagaimana dengan sekarang?

Praktek pendidikan yang terkomersialisasi dan jomplang satu sama lain berisiko melahirkan generasi yang acuh dan pragmatis, bukan pejuang keadilan. Hal ini dapat berujung pada Kesadaran Palsu (False Consciousness) yang dapat lahir jika pendidikan itu terlalu berorientasi pada pasar kerja tetapi tidak dibarengi dengan pembangunan kesadaran berpikir kritis karena akan berujung jadi alat reproduksi ketimpangan, alih-alih alat pembebasan.

Apalagi era saat ini yang marak banjir informasi dan kebohongan lebih cepat menyebar karena sensasi dan emosi maka pendidikan pun harus mengajarkan literasi kritis (critical literacy) bukan hanya sekadar membaca dan memahami teks, tetapi juga membaca realitas.

Dr. Cipto Mangoenkusumo dan para founding fathers yang nyatanya tercipta sebagai produk pendidikan kolonial pun mengajarkan bahwa pendidikan dalam bentuk terkekang sekalipun adalah senjata paling aktif sekaligus paling mematikan. Hari ini, Kita harus tetap mendorong pendidikan menjadi ruang untuk bertanya bukan hanya menjawab.

Sekolah adalah ruang untuk gerakan berpikir yang bebas tetap eksis, bukan pabrik pencetak tenaga kerja murah.

Alfandy Oliver
Alfandy Oliver
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional. Mencoba untuk memulai kiprah di dunia ini dengan kontribusi tulisan dan pikiran. Liberte!
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.