Pendidikan sejatinya adalah ruang yang dirancang untuk membentuk karakter, memperluas wawasan, dan mengasah kemampuan berpikir kritis siswa. Dalam dunia pendidikan, siswa diajarkan untuk memahami beragam sudut pandang, mengevaluasi informasi secara objektif, dan mengemukakan gagasan secara konstruktif.
Namun, menjadi ironi ketika siswa yang berupaya mengembangkan nalar kritis justru menghadapi ancaman dan sanksi dari pihak sekolah. Fenomena ini merupakan gambaran suram dari dunia pendidikan yang tidak menghargai suara generasi muda.
Salah satu contoh nyata dari masalah ini terjadi di SMK Negeri 2 Palu. Dimana seorang siswi di sekolah tersebut diberhentikan sebagai ketua Osis setelah ikut serta dalam aksi demonstrasi yang memprotes pungutan biaya kursus Bahasa Inggris sebesar Rp250.000. Aksi protes ini melibatkan ratusan siswa lainnya dan dilaksanakan secara terbuka di depan kantor DPRD Sulawesi Tengah.
Tindakan tersebut merupakan bentuk keberanian siswa dalam menyuarakan aspirasi kolektif, mencerminkan kesadaran sosial serta keberanian menyampaikan pendapat. Namun, pihak sekolah merespons aksi tersebut secara kontraproduktif dengan memberikan sanksi ancaman pemberhentian kepada siswi tersebut.
Mungkin masih banyak siswa yang menghadapi situasi serupa ketika mencoba menyuarakan pendapat kritis mereka terhadap kebijakan sekolah atau hal lain yang dianggap sebagai bentuk melawan sekolah. Padahal, sekolah seharusnya menjadi ruang yang kondusif untuk mengembangkan kemampuan kritis dan keberanian berpendapat. Sayangnya, tindakan pihak sekolah yang anti-kritik malah menciptakan lingkungan pendidikan yang represif, bertentangan dengan tujuan utamanya.
Tindakan represif terhadap siswa yang kritis memiliki dampak jangka panjang yang tidak dapat diabaikan. Pertama, hal ini menciptakan ketakutan di kalangan siswa untuk mengemukakan pendapat mereka, yang pada akhirnya membentuk generasi pasif dan tidak berani menyuarakan kebenaran. Kedua, lingkungan pendidikan yang tidak mendukung dialog kritis justru menghambat terciptanya masyarakat yang demokratis dan inklusif. Ketiga, sekolah yang bersikap anti-kritik kehilangan esensinya sebagai lembaga yang mendidik individu menjadi warga negara yang berintegritas dan bertanggung jawab.
Padahal, pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang mendorong siswa untuk menjadi individu yang kritis, kreatif, dan berani mengambil sikap. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang memfasilitasi diskusi, mendukung keberagaman gagasan, serta membantu siswa memahami bagaimana menyampaikan pendapat secara etis dan konstruktif. Dalam konteks ini, pihak sekolah memiliki tanggung jawab untuk menjadi fasilitator dialog yang sehat antara siswa, guru, dan pemangku kepentingan lainnya.
Untuk menciptakan ruang dialog yang sehat, sekolah perlu mengadopsi pendekatan yang lebih terbuka dan mendidik. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah membangun mekanisme pengaduan dan diskusi yang memungkinkan siswa menyampaikan aspirasi mereka secara resmi. Selain itu kepala sekolah perlu dilatih untuk memahami pentingnya keberagaman gagasan dan bagaimana merespons kritik secara bijaksana. Sikap keterbukaan ini tidak hanya memperkuat rasa percaya siswa terhadap lembaga pendidikan, tetapi juga mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan dunia nyata.
Dunia kerja dan masyarakat saat ini membutuhkan individu yang mampu berpikir kritis, menyelesaikan konflik secara bijaksana, dan menyuarakan ide-ide mereka untuk menciptakan perubahan positif. Oleh karena itu, tindakan represif yang mengekang kebebasan berpikir siswa menjadi hambatan dalam mencapai tujuan ini. Sebaliknya, lingkungan pendidikan yang inklusif dan mendukung dialog kritis akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga tangguh dalam menghadapi berbagai kompleksitas kehidupan.
Refleksi Terhadap Tujuan Pendidikan
Jika kita kembali kepada tujuan pendidikan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, jelas disebutkan bahwa pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan potensi peserta didik, serta membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat. Dalam konteks ini, kebijakan yang menindas kebebasan berpikir siswa jelas bertentangan dengan semangat undang-undang tersebut.
Selain itu, tindakan sekolah yang mengancam memberhentikan siswa karena kritik juga bertolak belakang dengan prinsip-prinsip “Merdeka Belajar” yang sedang digalakkan oleh pemerintah. Program Merdeka Belajar bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada siswa dan pendidik dalam mengeksplorasi pembelajaran yang relevan dan bermakna. Namun, bagaimana kebebasan belajar dapat tercapai jika kritik yang membangun justru dianggap sebagai ancaman? Dengan demikian, sekolah yang bersikap represif terhadap suara siswa secara tidak langsung menghilangkan esensi dari program tersebut.
Dalam pandangan Paulo Freire, pendidikan tidak seharusnya menjadikan siswa sebagai “bejana kosong” yang hanya diisi oleh pendidik. Sebaliknya, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mendorong peserta didik untuk mengembangkan kesadaran kritis (critical consciousness). Dengan kesadaran ini, siswa mampu menganalisis realitas sosial di sekitarnya dan berkontribusi pada perubahan yang lebih baik.
Sayangnya, pendekatan pendidikan yang represif justru menghambat perkembangan kesadaran kritis tersebut. Ketika siswa dihukum karena menyuarakan kritik, pesan yang diterima adalah bahwa berpikir kritis adalah tindakan yang salah atau berbahaya. Hal ini tidak hanya merugikan siswa secara individu tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Generasi muda yang takut berbicara tidak akan mampu membawa perubahan positif di masa depan.
Sistem pendidikan harus beradaptasi dengan kebutuhan zaman yang semakin menuntut keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, dan komunikasi yang efektif. Untuk mencapai hal ini, diperlukan upaya bersama dari semua pihak, termasuk pemerintah, pendidik, siswa, dan orang tua.