Dewasa ini sering kita dengar kata “stoa” atau “stoikisme”. Namun sebenarnya apa sih arti dari kata kata itu? Mungkin diantara kalian ada yang sudah tahu juga ada yang masih bertanya tanya. Sedikit saya paparkan mengenai apa sebenarnya stoikisme. Stoikisme adalah sebuah aliran filsafat yang berusaha mengajak para pembacanya untuk mengontrol emosinya.
Sekilas informasi, pada 300 tahun sebelum masehi hidup seorang filsuf bernama Zeno. Ia adalah seorang pedagang kaya dari Siprus. Pada suatu hari ia hendak berdagang dari Phoenicia ke Peiraeus. Namun saat ditengah perjalanan kapal yang bermuatan pewarna textil berwarna ungu yang berasal dari siput laut itu karam. Harga yang ditawar oleh pewarna itu tidak main main karena biasanya ia hanya dimiliki oleh raja sebab dari harganya yang sangat mahal.
Karena kondisi inilah ia akhirnya terdampar di Athena. Kemudian ia pun pergi ke toko buku untuk mencari buku buku filsafat. Dari sana ia mulai banyak belajar mengenai filsafat hingga pada akhirnya ia mengajar filosofinya sendiri. Pada saat itu ia senang mengajar di teras berpilar, yang dalam bahasa Yunani bernama Stoa, ia terletak di sebelah utara Agora. Mulai dari situ pengikutnya dinamai sebagai kaum stoa.
Pada dasarnya setiap manusia tidak akan pernah terlepas dari yang namanya musibah atau hal negatif lainnya. Ajaran stoikisme menekankan pada bagaimana seharusnya kita merespon dan mengelola perasaan perasaan negatif yang muncul.
Dalam dikotomi kendali terdapat dua hal yang ada pada diri kita yakni faktor eskternal dan faktor internal. Faktor eksternal misalnya opini orang lain, tindakan orang lain, kondisi alam, dan kondisi ketika kita lahir. Hal hal ini tidak dapat kita kendalikan. Adapun faktor internal berupa opini dan persepsi kita, keinginan dan tujuan kita, tindakan dan segala pikiran kita, semua hal ini sejatinya berada pada penguasaan kita.
Dalam stoikisme kita diajarkan untuk senantiasa berfokus pada hal hal yang bisa kita kendalikan. Menurut pandangan stoik apabila kita mampu mengendalikan hal hal internal yang ada pada diri kita disanalah akan dapat berjumpa kita dengan virtue (kebajikan). Adapun prinsip utama dari stoisisme adalah hidup selaras dengan alam. Yakni hidup dengan mempergunakan nalar, rasio, dan akal sehat dengan sebaik mungkin karena hal itulah yang membedakan kita dengan makhluk hidup lainnya.
Umumnya ketika kita menghadapi sebuah masalah ada sebuah penilaian otomatis yang munncul, penilaian ini bisa saja tidak rasional maka hal inilah yang memicu timbulnya emosi negatif. Dalam praktiknya kita memiliki kuasa atas diri kita untuk tidak mengikuti penilaian otomatis tersebut. Kita diberi wewenang dan kemampuan untuk bisa menimbang dan menganalisis sebuah peristiwa dengan rasio. Khususnya untuk memisahkan antara opini dan fakta yang objektif.
Adapun cara yang dapat ditempuh yakni dengan berhenti sejenak dan tidak berlarut ketika perasaan perasaan negatif itu mulai muncul. Setelah mampu menghentikannya kita dapat berpikir dan menilai sebuah masalah yang ada dengan lebih rasional. Memisahkan anatara fakta objektif dan interpretasi kita. Sebagai contoh terjebak dalam kemacetan, jika kita menuruti emosi mungkin sebagian dari kita akan marah dan memaki maki keadaan.
Namun, jika kita mampu untuk berhenti sejenak dan berpikir tidak akan terjadi tindakan marah dan memaki maki, karena sejatinya dengan marah dan memaki tidak dapat mengubah situasi. Kemacetan adalah hal yang berada di luar kendali kita, sementara pikiran dan asumsi berada di bawah kendali kita.
Ketika kita telah mampu berpikir dan emosi sudah sedikit turun, barulah kita dapat memutuskan respon seperti apa yang akan kita berikan. Respon dapat berupa kata dan perbuatan, yang notabenenya berasal dari pikiran jernih kita. Yang dimana hal ini jauh lebih baik daripada kita menuruti emosi negatif.
Adapun permediatio malorum, yakni sebuah kontemplasi derita untuk melatih kita agar lebih siap menghadapi kenyataan buruk. Mudahnya, permeditatio malorum ini adalah sebuah bentuk antisipasi kita terhadap hal hal buruk yang akan terjadi. Bukan berarti kita berharap hal buruk menimpa kita melainkan kita menyiapkan wadah dan teknik untuk mengatasinya. Untuk mempermudah mari kita simak pernyataan Booker T. Seorang pengelola sekolah, penasihat poltisi, aktivis, dan pembicara yang tersohor di Amerika yang hidup pada tahun 1856 – 1915. Ia pernah berkata
“Ketika saya akan mulai bekerja di pagi hari, saya tentu mengharapkan hari ini akan menyenangkan. Tetapi saya juga menyiapkan diri saya apabila ada berita buruk yang harus saya dengar hari ini, misalnya gedung sekolah saya terbakar, atau terjadi kecelakaan yang melukai saya, atau seseorang mempermalukan saya di hadapan publik.” Adapun seorang filsuf Seneca pernah berkata “Musibah terasa paling berat bagi mereka yang hanya mengharapkan keberuntungan.” (Pandiangan,2021) Latihan Permeditatio Malorum ini bertujuan untuk melatih mental manusia agar ia tak mudah terpuruk dalam menjalani lika liku kehidupan.
Satu lagi yang akan kita pelajari dan bukan merupakan akhir dari pembahasan stoikisme ini adalah amor fati. Amor fati adalah bahasa latin yang jika diterjemahkan adalah “mencintai takdir.” Dalam hidup ini tentu saja berada pada tiga masa yakni masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Dalam tiga masa tersebut tentu seorang manusia pernah mengalami hal hal menyakitkan dalam hidupnya. Disinilah stoisisme mengajarkan kepada kita untuk tidak sekadar menerima bahkan mencintai sebuah musibah.
Ada sebuah ungkapan dari Epictetus “Jangan menuntut peristiwa terjadi sesuai keinginanmu, tetapi justru inginkan agar hidup terjadi seperti apa adanya, dan jalanmu akan baik adanya” sebagai contoh, ketika kita kehilangan sebuah sepeda motor kita tidak cukup hanya sekadar menerimanya, melainkan kita musti mencintainya dengan sepenuh hati.
Dalam contoh kehilangan sebuah sepeda motor sebenarnya kita bisa menginterpretasi hal ini adalah ujian kesabaran. Atau ini bisa jadi kesempatan membeli motor baru, mengurus masalah surat menyurat kehilangan benda berharga, yang nantinya mungkin akan bisa bermanfaat bagi orang lain. Mungkin ini terdengar sebagai delusi terencana, namun yang perlu dicatat bahwasannya dikatakan delusi apabila ia bertentangan dengan realitas. Seperti halnya kalah dalam pertandingan sepak bola tetapi ngotot mengaku menang. Di sini Epictetus tidak berusaha mengubah realitas yang ada melainkan mengubah pemaknaan atau narasi yang kita berikan atas sebuah peristiwa.