Kementerian Hukum dan HAM sampai saat ini terus mensosialisasikan draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Seperti yang diketahui, pengesahan RKUHP sempat ditunda oleh Presiden Joko Widodo sekitar tahun 2018 lalu.
Hal itu disebabkan karena RKUHP tersebut mendapat banyak penolakan dari berbagai kalangan. Bahkan, para mahasiswa turun ke jalan menuntut agar RKUHP ditunda pengesahannya.
Tuntutan itu tidak terlepas dari beberapa pasal yang dianggap kontroversial. Sebut saja pasal tentang aborsi hingga pasal penghinaan presiden yang dianggap melanggar prinsip demokrasi.
Kini, dalam draf terbaru pasal penghinaan presiden ramai diperbincangkan kembali di publik. Beberapa kalangan menyebut pasal tersebut berpotensi merampas kebebasan berpendapat. Tidak sedikit juga yang mengatakan bahwa pemerintah antikritik.
Silang pendapat terus terjadi. Pihak yang pro maupun kontra mempunyai landasan tersendiri terkait ini. Saya mempunyai pandangan tersendiri terkait pasal penghinaan presiden teranyar ini.
Delik biasa dan delik aduan
Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam draf RKHUP Pasal 218 yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Untuk penghinaan di media sosial sendiri diatur dalam Pasal 219 yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau denda paling banyak kategori IV.
Lebih lanjut dalam Pasal 220 diatur sebagai berikut:
- Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan
- Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden
Perlu diketahui, dalam melihat suatu delik kita harus bisa membedakan mana itu delik biasa dan delik aduan.
Delik biasa adalah tindak pidana yang dapat diproses tanpa adanya aduan atau persetujuan laporan dari pihak korban atau pihak yang dirugikan. Meskipun kedua pihak damai, dalam delik ini proses hukum tetap berjalan.
Adapun delik biasa ini bersifat mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Jadi siapa saja dapat melaporkannya pada pihak berwajib. Contohnya pembunuhan, dalam kasus ini siapa saja tanpa persetujuan korban dapat melaporkan tindak pidana ini.
Tidak masuk akal jika korban yang harus melapor, bagaimana jika korban meninggal?Karena menyangkut kepentingan dan keamanan masyarakat, meskipun kedua pihak telah berdamai, maka proses hukum tetap berjalan.
Bayangkan saja jika seorang kriminal yang hobi membegal atau membunuh tidak lanjut pada proses hukum jika ditempuh dengan jalan damai, tentunya akan meresahkan masyarakat.
Delik kedua yang harus diketahui adalah delik aduan. Berbeda dengan delik biasa, delik aduan adalah suatu tindak pidana yang dapat diproses oleh penegak hukum apabila ada pengaduan dari korban.
Oleh sebab itu, dalam delik ini penegak hukum tidak dapat meproses ke jalur hukum tanpa adanya laporan dari pihak yang dirugikan alias korban. Berbeda dengan delik biasa, dalam delik aduan jika kedua pihak sepakat untuk berdamai dan mencabut laporan, maka proses hukum juga harus berhentikan.
Hal tersebut karena delik aduan tidak mengancam ketertiban umum, karena pada dasarnya delik ini lebih pada konflik individu dengan indvidu.
Pasal penghinaan presiden masuk dalam delik aduan
Jika melihat uraian singkat di atas, maka sudah dipastikan bahwa pasal penghinaan presiden merupakan delik aduan. Hal itu dengan tegas dicantumkan dalam Pasal 220 ayat 2.
Dalam hal ini, kepolisian tidak dapat memproses ke jalur hukum apabila Presiden atau Wakil Presiden tidak melapor sendiri.
Pasal penghinaan presiden ini berbeda dengan pasal yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Delik dalam pasal tersebut adalah delik umum, jadi siapa saja tanpa persetujuan korban pihak penegak hukum dapat memproses ke jalur hukum.
Adanya pergeseran dari delik biasa ke delik umum adalah untuk menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan pasal ini. Jika pasal ini masuk dalam delik biasa, maka tidak menutup kemungkinan akan seperti pasal karet yang ada di UU ITE.
Presidennya minta dikritik, tapi pendukungnya yang kebakaran jenggot. Selain itu, jika ingin benar-benar agar pasal ini tidak karet, delik aduan dalam pasal ini harus menjadi delik aduan absolut.
Itu artinya, proses hukum harus benar-benar terjadi apabila Presiden atau Wakil Presiden yang melapor sendiri, tidak diwakilkan oleh pihak manapun.
Substansi dalam pasal ini juga harus jelas, tidak boleh menimbulkan penafsiran abu-abu, terutama untuk mendefinisikan menghina atau merendahkan martabat.
Oleh sebab itu, penafsiran dari menghina itu sendiri sepenuhnya dikembalikan kepada korban dalam hal ini Presiden atau Wakil Presiden.
Jika itu dalam koridor yang benar, maka menurut hemat saya pasal ini tidak akan menjadi pasal karet. Lantas apakah dengan berubahnya dari delik biasa menjadi delik aduan menjadikan pemerintah antikritik?
Pada prinsipnya, setiap orang berhak menjaga martabatnya masing-masing. Bagi saya pasal ini tidak menjadikan pemerintah antikritik, selama masih dalam prinsip hukum yang benar. Berubahnya menjadi delik aduan adalah salah satu cara agar terhindar dari stereotip pasal karet dan antikritik.
Sebagai pribadi, tentunya setiap orang baik rakyat biasa maupun Presiden mempunyai hak untuk dihargai martabat dan kedudukannya sebagai manusia. Karena hal itu merupakan nilai universal yang harus dihargai.
Dalam hal ini, jika pun ada Presiden membuat laporan atas penghinaan terhadap dirinya harus mewakilkan individu dan melepaskan jabatannya sebagai pemimpin.
Meskipun pasal ini pada prinsipnya tidak menjadikan pemerintah antikritik, bagi saya setiap orang yang mengisi jabatan dalam pemerintahan harus siap dengan segala konsekuensi yang diterima termasuk kritik itu sendiri.
Masih ada pekerjaan lain yang harus dibenahi daripada memikirkan kritik semata. Alangkah lebih baik jika soal penghinaan maratabat seseorang masuk dalam ranah perdata, bukan ranah pidana.