Minggu, Oktober 13, 2024

Meninjau Kembali Apakah Teroris Punya Agama?

rosi islamiyati
rosi islamiyati
Mahasiswi Magister Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga

“Terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan tidak ada kaitannya dengan agama apa pun, Semua ajaran agama menolak terorisme apa pun alasannya. Seluruh aparat negara tak akan membiarkan tindakan terorisme semacam ini dan saya meminta masyarakat tetap tenang menjalankan ibadah” (Joko Widodo)

Begitulah kira-kira pernyataan Jokowi ketika konferensi pers virtual pada 28 Maret 2021. Pernyataan tersebut mengundang perdebatan lagi apakah teroris (pelaku teror) memiliki agama atau tidak. Alissa Wahid, Imam Shamsi Ali, BEM SI, bahkan AHY masuk ke dalam perdebatan apakah teroris memiliki agama. Tidak hanya perdebatan dalam negeri, dunia internasional juga gencar memperdebatkan kaitan agama dengan teroris. Austria sebagai negara sekuler juga telah memberikan tanggapannya terkait apakah terorisme memiliki agama? Perdebatan ini masih sangat gencar menyebar di media sosial.

Kelompok pertama mendasarkan bahwa teroris memiliki agama dan kelompok kedua mendasarkan teroris tidak memiliki agama. Lalu yang benar yang mana? Kedua kelompok tersebut tentu memiliki premisnya sendiri-sendiri hingga sampai pada kesimpulan.

Kelompok pertama, menyatakan teroris memiliki agama. Dengan mengambil contoh teror yang terjadi di Gereja Katredal Makassar pada 28 Maret 2021 yang lalu. Sepasang suami istri yang melakukan aksi teror tersebut memberikan pesan tertulis yang menyatakan keinginannya untuk mati syahid. Artinya apa? Mereka tergiur dengan iming-iming kehidupan setelah mati, yakni sungai susu, madu, dan lain sebagainya yang mengalir di bawa singgasana mereka. Bahkan mereka tergiur dengan nikmatnya senyum-senyum dan pelukan bidadari padahal di dunia ia sudah memiliki istri yang ia pilih karena kecantikannya. Tapi mereka tidak juga bersyukur atas nikmat yang dimiliki. Bahkan ia juga tergiur kehidupan surga yang kekal sesuai dengan pemahamannya akan janji Tuhan.

Lantas mana mungkin orang yang tidak memiliki agama bisa yakin akan kehidupan setelah mati? Hanya orang-orang beragama yang yakin tentang konsep kehidupan setelah mati. Dan hanya orang-orang yang putus asa akan kehidupanlah yang memberanikan diri untuk bunuh diri. Lalu apakah mereka sedang putus asa? Saya pikir tidak.

Selanjutnya Alisa Wahid juga memberikan argumennya. Ia menilai justru akan menjadi masalah apabila menilai terorisme tidak dilabelkan pada satu agama tertentu. Menurutnya para teroris hanya mengaplikasikan pemahaman keagamaan versi mereka.. Lalu masalahnya ada di mana? Ada direspon. Ketika kita tidak melabeli teroris memiliki satu agama tertentu, maka kita tidak bisa merespon secara konkret. Jika tidak, kita hanya bisa addressing di sebuah isu tanpa bisa merespon situasi dan menyelesaikannya. Faktanya ketika kita menyelesaikan problematika terorisme masih membutuhkan narasi-narasi agama apalagi diperkuat dengan terbitnya buku “moderasi beragama” karya Kementerian Agama sebagai counter pemahaman agama yang radikal.

Mari kita lihat lagi argumen ketiga. Jika teroris diargumentasikan sebagai orang yang tidak memiliki agama, lalu mengapa ketika ia melakukan aksi terornya menggunakan simbol-simbol yang mengindikasikan ia beragama, seperti cadar (sebagai bagian dari alat penutup aurat), jilbab, sorban, dan lain sebagainya. Bahkan Zakiah Aini yang melakukan teror di Mabes Polri juga menyatakan bahwa “ia menempuh jalan rasul Allah untuk selamatkan Zakiah dan dengan izin Allah bisa memberi syafaat untuk mama dan keluarga di akhirat.” Ini artinya bahwa tidak ada orang yang tidak beragama mempercayai adanya syafaat sebagai pembantu seseorang untuk selamat di kehidupan setelah mati. Saya pikir argumen pertama cukup bisa diterima. Mari lanjut pada argumen kedua.

Kelompok kedua, mereka berargumen teroris tidak memiliki agama. Hal ini didasarkan atas perilaku mereka yang tidak memiliki kesabaran padahal agama telah mengajarkan mereka untuk berlaku sabar. Termasuk sabar menunggu kehidupan setelah mati tanpa harus membuatnya terburu-buru untuk mati. Semua agama menyuruh umatnya untuk menikmati hidup dunia sembari menebar kebaikan. Sikap terburu-buru ini tidak identik dengan ajaran agama.

Di sisi yang sama, taggar #Islambukanteroris memenuhi laman tweeter dan di susul AHY dan Imam Shamsi Ali menyatakan jika teroris tidak memiliki agama terorism has not religion. Ia mendasarkan argumennya karena terorisme itu kekerasan, pengrusakan, penghilangan nyawa. Sedangkan agama itu rahmah (kasih sayang) dan cinta kasih (love), membawa kebaikan dan menjaga kehidupan. Sehingga ia diartikan sebagai antithesis agama yang harus dilawan bersama-sama dan manjadikan terorisme ragam ketidakadilan sebagai musuh kemanusiaan.

Saya mengira, bisa jadi argumen AHY dan Imam Shamsi Ali ada baiknya. Mengapa? Ia tidak melakukan labelisasi satu agama tertentu sebagai sebab dari teroris sehingga tidak memunculkan “phobia” terhadap satu agama tertentu. Nyatanya masih banyak orang yang kemudian menyamaratakan satu orang dengan yang lainnya hanya karena ia menganut satu agama tertentu sebagai teroris. Penyamarataan ini disebabkan oleh labelisasi agama dalam pelaku teror, dampaknya lambat laun perpecahan atas nama agama juga akan terjadi di Indonesia bahkan dunia.

Argumen lain yang diungkap Sarie Febriane, dalam tulisannya “Perempuan Letal dalam Jejaring Terorisme”. Ia menyinggung perempuan Libanon yang menjadi teroris berdimensi agama. Pada kenyataannya keseharian mereka jauh dari nuansa agama dan penampilan religius. Bahkan menurut penelitian Pape, hanya 43 pelaku teror ini tergolong religius dan sementara 57 persennya tergolong sekuler.

Tidak hanya Indonesia, dunia internasional juga sedang menyoroti terorisme. Misalnya Austria. Mereka tidak setuju jika teroris dilabelkan pada satu agama tertentu. Karena pada kenyataannya, bom bunuh diri juga terjadi di Afghanistan saat peringatan Maulid nabi di Gedung telah menewaskan 50 orang dan melukai banyak orang.

Atau dunia internasional yang menyoroti pembantaian yang terjadi pada umat muslim (etnis Uighur) Myanmar. Erdogan (Presiden Turki) dalam pidatonya menyatakan jika pembantaian ini tidak dikaitkan dengan satu agama tertentu, padahal hal ini terjadi pada kelompok umat Islam. Ia juga mengungkapkan bahwa ada ketidakadilan pada satu agama tertentu dengan berkata “jika bukan muslim, maka agamanya tidak akan disebut”. Pada akhirnya, dunia internasional dan nasional akan menyamakan antara terorisme dan Islam dengan semboyan “tidak semua Muslim adalah teroris, tapi setiap teroris adalah muslim” sehingga tidak bisa menarik diri dari perbedaan di antara keduanya.

Lalu bagaimana dengan teroris yang selama ini membahayakan? Dan bagaimana kita dapat menyimpulkan apakah teroris memiliki agama? Agaknya argumen dari dua kelompok ini harus dikaji kembali agar menemukan formulasi yang tepat. Sehingga bisa menemui titik kesimpulan yang bisa dijadikan dasar untuk merespon terorisme. Jika tidak ada keputusan akan hal ini, kita sebagai masyarakat awam tidak akan bisa membedakan teroris dengan salah satu agama. Peran berbagai pihak yakni pemerintah, masyarakat, agamawan, dan akademisi diperlukan untuk duduk bersama dalam sebuah forum.

rosi islamiyati
rosi islamiyati
Mahasiswi Magister Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.