Bangsa Indonesia tengah dikejutkan dengan serangkaian serangan terorisme seperti ledakan bom di Gereja Makassar dan serangan ke Mabes Polri. Terorisme setidaknya telah merenggut 21.000 nyawa tiap tahunnya dan membuat publik memiliki tekanan tersendiri di mana mereka takut menjadi korban.
Hal ini sesuai dengan semantik dari ‘terorisme’ sebagai mereka yang memberikan ketakutan dan marabahaya publik sehingga kata ini bisa dieja ulang sebagai ‘teror-is-me’. Berbagai narasi pun bermunculan untuk menjelaskan fenomena terorisme ini, di antaranya adalah terorisme merupakan produk dari evolusi kultural.
Evolusi kultural merupakan teori evolusi dari sebuah perubahan sosial. Evolusi kultural dapat didefinisikan sebagai serangkaian proses penyaluran informasi yang kapabel untuk memengaruhi perilaku individu yang didapatkan dari individu lain melalui proses pembelajaran, imitasi, dan bentuk lain dari transmisi sosial. Lantas, bagaimana evolusi kultural ini dapat menjelaskan fenomena terorisme?.
Manusia merupakan makhluk hidup yang sangat bergantung atas kultur dan budaya. Konsep evolusi kultural ini menjelaskan sifat rumit dari terorisme yang tidak cukup dijelaskan dengan mekanisme evolusi genetik saja. Terorisme sendiri berkaitan erat dengan situasi sosial dan politik dan selalu melibatkan pesan politis maupun agama. Hal ini memberikan konklusi bahwa terorisme itu sendiri berada pada realitas evolusi kultural bahwa penyebaran identitas budaya seperti ide dan kepercayaan melalui indoktrinasi dan pembelajaran sosial.
Dalam konteks terorisme ini, beberapa motif yang mendorong tersangka untuk melakukan aksi bunuh diri ini dapat terdiri atas motif historis, kultural, politik, maupun agama. Aspek kultural dalam memandang kehidupan, kematian, dan pengorbanan diri untuk komunitas dapat memengaruhi individu dan sikap mereka terhadap aksi terorisme ini. Ambil contoh kasus pilot Kamikaze yang terdiri atas orang-orang Jepang, hal ini terjadi karena secara kultural mereka didorong untuk mengorbankan diri mereka untuk negara.
Kasus lain terjadi di Palestina, teroris yang melakukan aksi bunuh diri biasa dilakukan selebrasi dan dikenal sebagai pahlawan dan petarung yang pemberani oleh keluarga dan komunitas mereka. Dalam hal ini, evolusi kultural memberikan pengaruh dalam pengambilan keputusan individu melalui proses indoktrinisasi untuk memengaruhi suatu individu. Aksi terorisme dan bom bunuh diri ini menjadi cara yang efektif bagi mereka untuk menyebarkan paham dan ide mereka.
Meme dan Evolusi Kultural
Richard Dawkins, dalam bukunya The Selfish Gene menjabarkan sebuah konsep yang dinamakan “meme”. Sekarang, meme merupakan suatu hal yang sangat umum dikonsumsi massa di media sosial dan internet. Konsep meme ini merepresentasikan sebuah ide yang dapat bereproduksi dan bereplikasi melalui proses transfer pikiran ke pikiran antar individu via imitasi, yang merupakan analog dari gen pada manusia. Meme ini menggambarkan sebuah “unit kultural” yang dapat berupa sebuah ide, kepercayaan, dan suatu sikap yang menyebar antar populasi manusia.
Dalam konteks terorisme ini, mereka yang bertindak sebagai teroris berharap bahwa mereka dapat menyebarkan ide mereka dan mendapat reaksi tertentu dari publik dan media sebagai sasaran mereka Variasi dan seleksi adaptif ini menjelaskan bagaimana sebuah evolusi kultural dapat bertahan, dan beberapa tidak dapat bertahan. Dalam buku The Selfish Gene ini, dijelaskan bahwa meme bersifat “egois” karena hanya “tertarik” pada keberhasilan mereka sendiri. Akibatnya, pandangan evolusi kultural dalam meme ini menjelaskan ciri-ciri budaya dan ide tertentu yang telah berkembang, seperti terorisme dan aksi bunuh diri, yang berhasil menyebarkan ide dan kepercayaan mereka, tetapi berakibat fatal bagi tuan rumah mereka dan seringkali kepada orang lain.
Terorisme ini mengakar kuat disebabkan oleh berbagai faktor. Premis-premis yang acapkali muncul di masyarakat adalah terorisme berakar pada suatu dampak tunggal. Pencarian untuk satu sebab tunggal dari terorisme merupakan sebuah miskonsepsi. Faktor-faktor yang mempengaruhi terorisme berakar dari campuran berbagai faktor seperti sejarah, ekonomi, politik, budaya, motivasi, dan teknologi. Contohnya, di Indonesia sekarang, akar tunggal yang bertanggung jawab atas terorisme ini sering dikaitkan dengan agama. Agama dianggap satu-satunya kausalitas yang menyebabkan paham radikal berujung aksi teror.
Menurut Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan, ia menjelaskan konsep state of nature di mana pada dasarnya, manusia akan cenderung bersifat jahat dan egois. Hal ini serupa dengan konsep dari natural selection bahwa mereka yang adaptif dan kuat yang akan keluar sebagai pemenangnya. Maka dari itu, peradaban manusia yang modern sekarang mengembangkan social contract theory yang berisi nilai moral, etika, hukum, dan pranata sosial agar untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan kehidupan manusia.
Maka dari itu, apabila agama merupakan root of causes dari terorisme, maka seharusnya pembantaian antara homo sapiens kepada neandhertal itu didasarkan atas nama agama apabila merujuk ke konsep state of nature tadi. Faktanya, agama merupakan suatu hal yang baru apabila dibandingkan dengan eksistensi homo sapiens yang telah ada sejak 200.000 tahun yang lalu.
Dapat kita simpulkan bahwa evolusi kultural ini menjelaskan kenapa beberapa orang bersumbu pendek berpikir untuk meledakkan diri mereka demi imbalan 72 bidadari surga yang siap melayani mereka. Kultur ini hadir di tengah masyarakat yang hilang arah dan tidak tau ke mana mereka harus berpijak di tengah konflik kemiskinan, ketidakadilan, dan kesejahteraan. Meme dan ide dari terorisme ini hadir kepada mereka yang berada di ambang hilangnya identitas diri mereka. Mereka mencoba menyebarkan paham dan ide mereka mengenai utopisme dunia dan bagaimana seharusnya masyarakat dibentuk secara ideal.