Jumat, Maret 29, 2024

Menilik Tentang Neurodivergent, Si Genius yang Sering Diremehkan

Ashilla Fildza Thorifa
Ashilla Fildza Thorifa
Mahasiswi S1 Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Di Indonesia, stigma dan stereotip negatif tentang penyandang disabilitas atau yang sering disebut dengan difabel (Differently Abled  People) masih merajalela. Terbukti dengan masih banyak masyarakat yang melabeli penyandang disabilitas adalah “Orang cacat”. Stigma dan stereotip negatif tersebut melahirkan perilaku ableism.

Ableism menurut Wolbring dalam Rizky (2021) adalah menjadikan non-difabel prioritas atau favoritisme kepada non-difabel. Adanya ableism ini juga membuat aksesibilitas difabel terhambat, seperti kurangnya fasilitas umum ramah difabel, tidak adanya jalur khusus tunanetra dan lain-lain. Hal ini tentunya tidak selaras dengan hak asasi manusia.

Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Seperti yang dijelaskan dalam UU tersebut, disabilitas itu tidak hanya fisik dan disabilitas sensorik, tetapi juga disabiilitas mental dan disabilitas intelektual. Ada suatu istilah yang sering berkaitan dengan disabilitas mental dan intelektual namun masih jarang didengar oleh masyarakat awam, yaitu neurodiversity.

Apa itu neurodiversity?

Neurodiversity atau bisa diterjemahkan sebagai keragaman saraf dalam bahasa Indonesia adalah konsep ilmiah yang muncul dari pencitraan otak, di mana otak berpikir, belajar, dan memproses informasi secara berbeda dari yang lain. Individu dengan neurodiversity disebut juga dengan neurodivergent.

Sebaliknya, ada neurotypical yang berarti seseorang yang otaknya bekerja sesuai dengan standar “normal” di masyarakat. Istilah neurodivergent pertama kali dicetuskan oleh Judy Singer, seorang sosiolog dan mengidentifikasikan dirinya berada dalam spektrum autis pada tahun 1990 an. Judy Singer berpendapat bahwa cara kerja otak neurodivergent hanya berbeda dengan cara kerja otak neurotypical, dan tidak ada yang salah dengan perbedaan itu. Perbedaaan tersebut dapat menjadi gangguan atau hambatan yang bisa dibilang memunculkan disabilitas.

Jenis-jenis Neurodiversity

Neurodiversity sering dikaitkan dengan autisme, namun sebenarnya neurodiversity itu ada banyak jenisnya. Berikut adalah contoh dari neurodiversity menurut American Psychologist Association (APA):

  • Autism Spectrum Disorder (ASD)

Autism Spectrum Disorder atau yang familiar kita sebut dengan autis ditandai dengan kekurangan terus-menerus dalam komunikasi sosial dan interaksi sosial di berbagai konteks, termasuk defisit dalam timbal balik sosial, perilaku komunikatif nonverbal yang digunakan untuk interaksi sosial, dan keterampilan dalam mengembangkan, mempertahankan, dan memahami hubungan. Selain defisit komunikasi sosial, diagnosis gangguan spektrum autisme memerlukan adanya pola perilaku, minat, atau aktivitas yang terbatas dan berulang.

  • Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD)

ADHD adalah gangguan perkembangan saraf yang ditandai dengan penurunan tingkat kurangnya perhatian, disorganisasi, dan/atau hiperaktivitas-impulsif. Kurangnya perhatian dan disorganisasi menyebabkan ketidakmampuan untuk tetap pada tugas, tampak tidak mendengarkan, dan kehilangan materi, yang tidak sesuai dengan usia atau tingkat perkembangan. Hiperaktivitas-impulsif mencakup aktivitas yang berlebihan, gelisah, ketidakmampuan untuk tetap duduk, mengganggu aktivitas orang lain, dan ketidakmampuan untuk menunggu. Di masa kanak-kanak, ADHD sering tumpang tindih dengan oppositional defiant disorder (ODD) dan conduct disorder (CD).

  • Disleksia

Disleksia adalah istilah alternatif yang digunakan untuk merujuk pada pola kesulitan belajar ditandai dengan masalah dengan pengenalan kata yang lancar namun decoding yang buruk, dan kemampuan mengeja yang buruk, dengan kata lain kesulitan membaca.

  • Dispraksia

Dispraksia adalah gangguan kemampuan untuk melakukan gerakan yang terampil dan terkoordinasi yang didasarkan pada kelainan neurologis dan bukan karena cacat otot atau sensorik.

  • Sindrom Tourette

Sindrom Tourette didiagnosis ketika individu memiliki beberapa tics motorik dan vokal yang telah diderita setidaknya selama 1 tahun dan yang memiliki gejala waxing-waning. Individu dengan sindrom tourette memiliki risiko untuk self-injury atau melukai diri sendiri akibat ticsnya seperti memukul wajah sendiri.

  • Dan lainnya.

Bagaimana pandangan masyarakat Indonesia tentang neurodivergent?

Di Indonesia, masih banyak stigma dan stereotip negatif yang berkembang di masyarakat tentang difabel. Tak jarang mereka mendapatkan perlakuan diskriminatif dari lingkungannya. Hal ini menyebabkan difabel tidak bisa berkembang dan mendapatkan hidup yang sejahtera.

Padahal dalam UU No.8 Tahun 2016 Pasal 7 jelas tercantum bahwa penyandang disabilitas mempunyai hak bebas dari stigma meliputi hak bebas dari pelecehan, penghinaan, dan pelabelan negatif terkait kondisi disabilitasnya. Kurangnya edukasi dan kesadaran masyarakat harus dibenahi agar dapat merealisasikan UU tersebut.

Neurodivergent sering kali tidak diterima di masyarakat karena dinilai pemikiran mereka “berbeda” dari yang lain, padahal perbedaan tersebut dapat menjadi jalan keluar dari suatu masalah karena pola pikir mereka yang out of the box. “Bodoh” “Tidak normal” “Aneh”, mungkin menjadi santapan rutin bagi neurodivergent, namun tanpa disadari banyak tokoh inspirasional yang merupakan seorang neurodivergent, seperti Albert Einstein, Mozart, dan Henry Ford. Jadi, mempunyai neurodiversity bukanlah hambatan yang menghancurkan masa depan, kita sebagai makhluk sosial harus bisa merangkul perbedaan tersebut dan menjadikannya kekuatan.

Bagaimana membuat lingkungan kerja yang ramah neurodivergent?

  • Tawarkan penyesuaian kecil ke ruang kerja karyawan untuk mengakomodasi kebutuhan sensorik apa pun, seperti
    • Sensitivitas suara: Tawarkan ruang istirahat yang tenang, komunikasikan suara keras yang diharapkan (seperti latihan kebakaran), tawarkan headphone peredam bising.
    • Taktil: Memungkinkan modifikasi pada seragam kerja biasa.
    • Gerakan: Izinkan penggunaan mainan gelisah, izinkan istirahat gerakan ekstra, tawarkan tempat duduk yang fleksibel.
    • Gunakan gaya komunikasi yang jelas: Hindari sarkasme, eufemisme, dan pesan tersirat.
    • Berikan instruksi lisan dan tertulis singkat untuk tugas, dan bagi tugas menjadi langkah-langkah kecil.
  • Memberi tahu orang-orang tentang tempat kerja/etiket sosial, dan jangan berasumsi bahwa seseorang dengan sengaja melanggar aturan atau bersikap kasar.
  • Memberikan pemberitahuan terlebih dahulu jika ada rencana yang berubah, dan berikan alasan untuk perubahan tersebut.
  • Jangan membuat asumsi — tanyakan pendapat seseorang preferensi individu, kebutuhan, dan tujuan.
  • Bersikap baik, bersabar.
Ashilla Fildza Thorifa
Ashilla Fildza Thorifa
Mahasiswi S1 Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.