Insiden diplomatik antara Amerika Serikat dan Indonesia terjadi hari Sabtu lalu, (21/10/2017) di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Kejadiannya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dicekal untuk bepergian ke AS atas undangan Panglima Angkatan Bersenjata AS Jenderal Joseph F Durford dalam acara Chiefs of Defence Conference on Countering Violent Extremist Organzation pada 23-24 Oktober di Washington DC.
Pencekalan terjadi menjelang Panglima Gatot bertolak ke AS pada Pukul 17.00 WIB Sabtu sore melalui maskapai penerbangan Emirates dengan nomor penerbangan EK 0357. Penolakannya begitu mendadak, saat Gatot hendak akan check in di Bandara.
Insiden ini begitu misterius. Negara sekelas Amerika yang notabene sangat canggih kemampuan intelijennya tiba-tiba mencekal seorang petinggi militer Indonesia yang jelas-jelas telah mengantongi visa keberangkatan ke AS.
Daya tangkal, antisipasi, serta kontra informasi intelijen AS memang tak diragukan kecanggihannya. Semua informasi yang terkait dengan keamanan AS pastinya bisa ditelisik serta ditangkal lebih cepat oleh dinas intelijen Amerika. Namun, mengapa Panglima Gatot yang praktis tak ada masalah dengannya mendadak dicekal? Apatah lagi, kehadiran Gatot Nurmantyo ke AS tersebut atas undangan resmi dari Panglima Bersenjata Amerika.
Jenderal Gatot pun telah beberapa melakukan perjalanan ke negeri Paman Sam. Terakhir kali, Gatot mengunjungi negeri adidaya itu pada Februari 2016 lalu. Lantas, mengapa kali ini ia ditolak secara tak elegan di bandara?
Itulah tanda tanya kita pada insiden diplomatik tersebut. Jawaban atas teka teki itu bisa terungkap setelah perwakilan resmi Amerika sendiri memberikan penjelasan atau klarifikasi yang jelas terhadap insiden pencekalan Jenderal Gatot. Sayangnya, sejauh ini, hingga Senin 23 Oktober 2017, Duta Besar AS untuk Indonesia, Joseph Donovan baru menyampaikan permohonan maaf atas kejadian itu.
Padahal, penjelasan soal kenapa Jenderal Gatot sempat dicekal penting dilakukan oleh pihak otoritas AS untuk menghindari munculnya beragam spekulasi. Meskipun pada akhirnya Jenderal Gatot diijinkan memasuki wilayah Amerika, namun ketiadaan penjelasan yang serius dari pihak berwenang AS atas pencekalan tersebut bisa memicu ketegangan baru antara Indonesia dan AS.
Bagi pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri Indonesia, meminta klarifikasi dan penjelasan dari otoritas AS itu sudah cukup dan tepat. Pemerintah merasa tak punya alasan kuat untuk membuat nota protes diplomatik kepada pihak Kementerian Luar Negeri AS. Hal itu untuk menjaga hubungan Indonesia dan Amerika agar tetap mesra. Apalagi keduanya telah menjalin hubungan kemitraan komprehensif sejak tahun 2010.
Kerja sama komprehensif Indonesia-AS dalam bidang politik dan keamanan, ekonomi dan pembangunan, sosial budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi ini penting dijaga, dan bahkan bisa dikembangkan menjadi kemitraan komprehensif strategis. Dalam bidang politik dan keamanan, misalnya, Indonesia sangat membutuhkan Amerika untuk mengimbangi kebijakan ekspansif China di kawasan Asia Tenggara. Dimana China berlaga makin agresif di kawasan Laut China Selatan.
Wilayah Laut China Selatan memang lagi memanas, menyusul belum jelasnya garis perbatasan antara wilayah kedaulatan China dengan sejumlah negara ASEAN, termasuk Indonesia di kepulauan Natuna. Sehingga hubungan RI-AS penting dipelihara untuk mengkaunter kebijakan luar negeri China yang ekspansif dan agresif di wilayah regional ASEAN.
Selain itu, kerja sama keamanan dan militer Indonesia-AS masih sangat diperlukan di tengah mencuatnya isu terorisme dan keamanan nasional. Sebagai contoh, Indonesia masih membutuhkan latihan-latihan kemiliteran yang diikuti oleh anggota militer Indonesia di negeri Paman Sam demi memperkuat kapasitas, profesionalitas tenaga militer dan pertahanan nasional kita. Belanja Alutsista (alat utama sistem persenjataan) Indonesia ke Amerika juga masih dilakukan, selain juga membuka kerja sama dengan Rusia di bidang militer dan keamanan.
Karenanya, masalah insiden pencekalan Jenderal Gatot di bandar udara Soekarno-Hatta diprediksi tak akan membuat pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah yang bisa merusak hubungan diplomatiknya dengan Amerika Serikat. Terlebih, politik luar negeri Indonesia pada masa pasca reformasi, sikap konfrontasi nyaris tidak pernah ditunjukkan oleh pemerintah kepada negara manapun. Bahkan, di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia menganut prinsip zero enemy thousand friends. Di masa pemerintahan Jokowi-JK, prinsip tersebut masih dipegang namun ditekankan pada penguatan diplomasi ekonomi dan peran Indonesia di berbagai forum internasional,
Politik Luar Negeri yang Ramah dan Santun
Argumentasi inilah yang barangkali menjadi alasan mengapa Indonesia bersikap dingin menghadapi pencekalan Jenderal Gatot. Pemerintah pun akhirnya cenderung tidak ngotot untuk mendesak AS memberikan penjelasan motif di balik pencekalan Jenderal Gatot.
Pemerintah Indonesia tampaknya merasa cukup hanya dengan permintaan maaf dari Kedutaan Besar Amerika di Indonesia atau dari Kementerian Luar Negeri AS di Washington DC. Sikap Indonesia dalam menghadapi negara mitra memang selalu ramah dan santun. Apalagi mitra sekelas AS yang adidaya. Pemerintah tentu tak bernyali untuk berkeras kepada AS.
Padahal, jika ditilik lebih jauh, posisi tawar Indonesia di mata AS sebenarnya lebih kuat. Amerika-lah yang sangat berkepentingan besar dengan Indonesia. Sekali pun pemerintah keukeuh meminta penjelasan soal pencekalan Jenderal Gatot, AS tak akan keberatan dengan hal itu. AS pastinya tidak rela merusak hubungannya dengan Indonesia. Ingat, negeri ini adalah negara muslim terbesar di dunia. Indonesia juga negara demokrasi ketiga sesudah AS dan India. Indonesia juga adalah negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia, setelah, China, India, dan AS sendiri. Indonesia juga adalah negeri yang punya sumber kekayaan alam melimpah yang di dalamnya banyak bercokol perusahan-perusahan multinasional asal Amerika Serikat.
Namun, dalam banyak kesempatan, pemerintah amat jarang menunjukkan posisi tawarnya. Sehingga, ketegasannya di mata negara-negara besar, seperti Amerika Serikat selalu urung. Indonesia seolah-olah negara yang lemah, tak punya wibawa, dan kehormatan untuk “unjuk gigi.”
Karena itu, berharap tegas pada Amerika soal motif mengapa Jenderal Gatot dicekal barangkali tak masuk di akal. Negeri jiran, Malaysia, saja yang barangkali kekuatan militernya di bawah kita, pemerintah selalu bersikap ramah dan santun atas tindakan mereka yang kerap memandang remeh serta merendahkan Indonesia.
Inilah sikap politik luar negeri Indonesia yang selalu ramah, santun, dan baik hati kepada sesama negara mitra.