Isu peralihan kepala negara (presiden) tahta tertinggi di Indonesia menjelang Pemilu 2024 menjadi hal yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan oleh berbagai elemen masyarakat. Belum lama setelah bergulirnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak enam perkara gugatan ketentuan presidential threshold, kabar lain datang dari munculnya isu usulan penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Setidaknya terdapat tiga pimpinan parpol dikoalisi Jokowi yang menyetujui hal tersebut. Ketum PKB Muhaimin Iskandar (aktor pengusul), Ketum PAN Zulkifli Hasan, dan Ketum Golkar Airlangga Hertanto meski masih belum secara tegas mendukung penundaan. Mereka menilai kondisi perekonomian Indonesia saat ini belum stabil akibat Covid-19, sehingga pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat masih perlu melakukan pemulihan untuk kembali bangkit dan belum siap menghadapi Pemilu.
Selain itu, mereka mengklaim bahwa dengan survei kinerja jokowi yang mencapai 78 persen membuat banyak masyarakat merasa puas dan menginginkan agar masa jabatan Jokowi diperpanjang. Diluar benar atau tidaknya hal itu, alasan yang dikemukakan pihak terkait seakan memperlihatkan gambaran besar ketidaksiapan para pimpinan partai politik dalam menjajaki perhelatan pemilu yang akan datang. Jika benar begitu, berarti ada hal lain dibalik wacana mengapa diusulkannya penundaan pemilu. Dilingkup gerakan mahasiswa, hal ini dinamakan taktik memperpanjang waktu konsolidasi untuk guna mengait massa aksi yang lebih banyak lagi.
Secara yuridis, sebenarnya terkait penundaan Pemilu telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihaan Umum, khususnya pada pasal 431 dan 432. Terdapat dua jenis penundaan pemilu dalam aturan ini, yaitu pemilu lanjutan dan susulan. Dalam penjabarannya, pasal 431 tentang Pemilu lanjutan menyebutkan bahwa; (1)“Dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan dalam Pemilu lanjutan”. (2) “Pelaksanaan Pemilu lanjutan sebagaimana dimaksud ayat (1) dimulai dari tahap Penyelenggaraan Pemilu yang terhenti”.
Adapun pasal 432 tentang pemilu susulan dijelaskan bahwa: (1) “Dalam hal di sebagian atau seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan”. (2) “Pelaksanaan Pemilu susulan dilakukan untuk seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu”. Selanjutnya dipasal 433 aturan yang sama ditegaskan bahwa Pemilu lanjutan dan susulan bisa dilaksanakan setelah ada penetapan penundaan oleh KPU. sedangkan KPU sebagai lembaga independen diurusan Pemilu, pada pasal 14 huruf (a) diwajibkan untuk taat melaksanakan semua tahapan Penyelenggaraan Pemilu secara tepat waktu.
Merujuk pada aturan diatas, Jika pernyataan para petinggi parpol koalisi jokowi yang mengindahkan penundaan Pemilu dengan dalih ekonomi negara belum pulih didasarkan pada ketentuan Pasal 431 dan 432, maka tentulah hal itu tidak dapat dibenarkan. Karena pada dasarnya baik pemilihan lanjutan maupun susulan secara terminologi tidak mengenal penundaan dengan alasan semacam itu.
Perihal penundaan telah terjelaskan secara gamblang dalam aturan diatas, yaitu kecuali terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian atau seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan.
Selain itu, Meskipun nantinya frasa “gangguan lainnya” sebagaimana yang termaktub dikedua rumusan pasal terkesan bisa dijadikan sebagai alat untuk membenarkan penundaan pemilu dengan cara menyesatkan maknanya, namun hal itu tidak lantas memberikan keabsahan yang cukup bagi pemerintah untuk melakukan penundaan.
Karena pada prinsipnya telah menjadi kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dalam menyediakan anggaran yang cukup untuk pesta demokrasi (pemilu) lima tahunan yang merupakan amanat konstitusi. Pasal 22E UUD Ayat 1945 (1) secara imperative menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
Berkaitan dengan isu perpanjangan jabatan presiden, Pasal 7 UUD 1945 yang merupakan anak kandung reformasi telah terang mengamanatkan bahwa presiden dan wakil presiden menjabat selama lima tahun dan hanya bisa diperpanjang sebanyak satu kali. singkatnya, perpanjangan jabatan Jokowi merupakan hal yang Inkonstitusional.
Dengan demikian, dapat simpulkan bahwa dalam sistem hukum positif di Indonesia tidak ada legitimasi yang dapat membenarkan pemerintah untuk bisa melakukan penundaan pemilu dan perpanjangan jabatan presiden. dan jika pun ada, tentulah harus ada perombakan atau penambahan rumusan UUD 1945 agar hal itu bisa diberlakukan. Namun satu hal yang pasti, Ketika cara ini memang benar-benar dilakukan, maka Indonesia bukan lagi menjadi negara hukum, melainkan negara kekuasaan.